Kajian maskulinitas sepertinya masih belum terlalu familiar di Indonesia. Manakala pembahasan gender menyeruak ke permukaan, kita mafhum mendengar topik yang berkisar di ranah perempuan dan feminisme. Isu ketidaksetaraan gender yang masih menjadi permasalahan ramai diikuti dengan pembahasan feminisme sebagai salah satu jalan keluarnya.
Berbagai lembaga, baik yang institutional maupun tidak, sedemikian gencar menggaungkan pentingnya semangat berkeadilan gender, serta terus berupaya mengenyahkan ketidaksetaraan gender dan kekerasan dalam masyarakat kita, terutama terhadap perempuan. Soal ini, kita diingatkan kalau undang-undang yang mendukung upaya kesetaraan gender dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan belum lama disahkan, dan itu menjadi salah satu pencapaian dari perjuangan yang berlangsung menahun.
Namun, bagaimana kita melihat dari sisi laki-laki sendiri? Apa peran mereka dalam perjuangan ini?
Baca juga:
Dalam konstruksi masyarakat yang patriarkis, laki-laki memegang posisi superior yang membuat mereka memiliki beberapa keunggulan dan menjadi yang diutamakan. Dengan kata lain, mereka adalah gender nomor satu. Sementara itu, perempuan, meminjam istilah dari Simone de Beauvoir, merupakan the second sex atau gender kedua. Perempuan juga dipandang sebagai mereka yang liyan—the others—yang terpinggirkan dalam kontruksi masyarakat patriarkis sehingga apa-apa yang ada pada diri mereka dikesampingkan. Bahkan, perempuan dianggap tidak lebih sebagai barang, pemuas nafsu semata, yang suaranya tidak diperhitungkan.
Perempuan kerap menjadi korban diskriminasi laki-laki, baik dalam keluarga ataupun masyarakat secara umum. Tata masyarakat patriarkis membuat perempuan berada di kubu tertindas; sementara laki-laki dikontruksikan untuk menjadi penindas (hal. 6). Namun, siapa yang menyangka kalau posisi superior laki-laki ini sebenarnya tidak melulu menguntungkan laki-laki sendiri? Siapa yang menyangka kalau diperlukan paradigma baru dalam memandang maskulinitas, khususnya dalam masyarakat patriarkis?
Nur Hasyim mencoba membedah hal itu dalam bukunya yang berjudul Good Boys Doing Feminism: Maskulinitas dan Masa Depan Laki-Laki Baru terbitan EA Books tahun 2020. Mulanya, ia menjelaskan kedudukan laki-laki. Benar bahwa laki-laki memiliki sejumlah privilese dan kekuasaan dalam sistem masyarakat yang patriarkis. Kendati begitu, hal ini tidak selalu baik bagi laki-laki. Sebab, masyarakat patriarkis menempatkan mereka dalam sebuah kotak berlabel “laki-laki ideal”.
Standar itu harus selalu terpenuhi sebagai prasyarat menjadi seorang laki-laki. Dikesankan, laki-laki yang superior identik dengan kekuasaan dan kekuatan. Konsekuensinya, laki-laki dibatasi dalam hal berekspresi atau menunjukkan kelemahan mereka. Laki-laki dalam konteks masyarakat patriarki tidak diperkenankan menangis atau mengungkapkan sisi lemah mereka karena hal itu bertentangan dengan standar “laki-laki ideal” yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Standar “laki-laki ideal” ini memang tidak selalu dikesankan secara terang-terangan. Seringnya, standar ini dikukuhkan secara turun-temurun atau pengaruh lingkungan yang efeknya tidak disadari oleh laki-laki sendiri. Dalam konteks inilah, tak jarang kita mengesankan standar-standar itu sebagai maskulinitas hegemonik—atau bisa juga disebut sebagai toxic masculinity.
Seturut hal itu, Nur Hasyim menjelaskan kalau kita perlu mengubah paradigma ini. Laki-laki mesti sadar posisi mereka di masyarakat, juga kemungkinan posisi mereka bisa merugikan diri dan orang lain, terutama perempuan.
Baca juga:
Paradigma baru yang menegaskan kesetaraan gender perlu disadari tidak hanya oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki. Dengan paradigma baru tersebut, setiap tindakan manusia, khususnya laki-laki, diharapkan bisa berorientasi keadilan gender. Laki-laki tidak lagi melulu menikmati keuntungan yang didapat dari konstruksi masyarakat patriarkis karena mereka sadar bahwa itu merugikan kaum lainnya. Lebih lanjut, privilese ini justru bisa mereka gunakan untuk andil dalam perjuangan keadilan gender.
Dalam pembahasan selanjutnya, Nur Hasyim sering menyebut organisasi yang ia dirikan bersama temannya: Gerakan Laki-Laki Baru. Organisasi ini membawa semangat berkeadilan gender dan meyakinkan diri bahwa paradigma yang mereka miliki sama sekali berbeda dengan laki-laki lama yang masih terpengaruh oleh konstruksi patriarkis. Mereka menyebut diri sebagai “laki-laki feminis”. Singkatnya, gerakan ini berlandaskan perjuangan gender dan berkeinginan memberantas kekerasan terhadap perempuan dengan pelibatan laki-laki secara keseluruhan.
Dalam pelaksanaannya, organisasi ini menuai pro dan kontra. Bagi yang sepenuhnya mendukung, mereka percaya kalau gerakan ini bisa membawa angin segar bagi perjuangan gender di sekitar kita. Sementara itu, bagi yang masih menolaknya, gerakan ini dipandang sebagai perpanjangan eksklusivitas yang nantinya kembali ke sisi laki-laki sendiri. Sebab, perjuangan yang dilakukan perempuan seolah-olah dipisahkan dan berpotensi tidak dihargai.
Nur Hasyim menyadari bahwa pro dan kontra itu tidak bisa dinafikan. Sebab, dalam beberapa kasus perjuangan gender yang dilakukan dengan melibatkan laki-laki, perempuan kerap merasa dikhianati oleh laki-laki. Kita masih kerap menjumpai ada laki-laki yang semangat memperjuangkan keadilan gender, tapi menjilat ludahnya sendiri dengan melakukan pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan. Dari situ, timbul kesangsian terhadap gerakan-gerakan “feminis” yang diinisiasi oleh laki-laki.
Namun, Nur Hasyim berusaha untuk meyakinkan pembaca kalau tidak semua laki-laki seperti itu. Ia juga membeberkan beberapa fase yang mesti dilakukan manakala laki-laki berkomitmen di jalan ini. Urutan fase-fase tersebut antara lain fase penyadaran posisi, fase mempraktikkan kesadaran tersebut, fase menguatkan akuntabilitas diri, dan fase terus berkomitmen dalam gerakan sehingga tidak merugikan perempuan dan gerakan berkeadilan gender secara umum.
Baca juga:
Sayangnya, penyampaian Nur Hasyim terkesan narsistik, terutama pada bahasan yang berhubungan dengan Gerakan Laki-Laki Baru yang digagasnya. Paparan itu sering diulang-ulang; tidak ada informasi baru yang disampaikan dalam paparannya. Hal lainnya, ia tampaknya lupa kalau ada kata “boys” atau “anak laki-laki” dalam pemilihan judul buku ini. Tidak ada satu pun pemaparan terkait upaya seperti apa untuk mendidik anak laki-laki supaya memahami feminisme dan keadilan gender dalam buku ini.
Kedua kekurangan itu lantas dipungkasi dengan dua esai terakhir yang tampak keluar jalur dan dimasukkan hanya sebagai penambah jumlah halaman. Relevansi atas tulisan-tulisan sebelumnya tidak dipertimbangkan secara baik. Namun, dengan segala kekurangan di dalamnya, bukan berarti buku ini tidak layak dibaca. Hanya saja, pembaca perlu menyimak buku ini dengan kepala kritis sehingga tidak dengan mudah menganggukkan kepala atas penjelasan-penjelasan di dalamnya. Akhir kata, buku ini layak diapresiasi atas perannya menyemarakkan kajian maskulinitas di Indonesia.
Editor: Emma Amelia