Peneliti dan Tutor Hubungan Internasional.

Orang-Orang Asia dalam Pemikiran Sosial Kita Hari Ini

Ahmad Umar

5 min read

Banyak yang membicarakan Rishi Sunak yang menjabat Perdana Menteri Inggris pertama yang berasal dari keturunan Asia. Tentu tidak salah. Rishi Sunak adalah generasi ketiga keturunan India yang pindah ke Inggris, dari orangtuanya yang awalnya bermukim di Kenya dan Tanzania. Kepemimpinannya—betapa pun kontroversialnya—menunjukkan peran politik warga Inggris yang berasal dari Asia.

Sebetulnya, ada banyak tokoh keturunan Asia yang bersinar di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di dunia Barat. Bukan hanya di politik, bisnis, atau industri teknologi informasi, tapi juga di dunia akademik dan pemikiran sosial. Hari ini, banyak intelektual Asia yang bekerja sebagai akademisi di banyak belahan dunia dan tentu berkontribusi terhadap perkembangan pemikiran sosial-politik kontemporer.

Baca juga:

Tulisan ini mengulas beberapa intelektual keturunan Asia yang punya kontribusi besar dalam perdebatan pemikiran kontemporer. Di antara mereka ada Amia Srinivasan, K. Sabeel Rahman, Afifi Al-Akiti, Ruth Chang dan Sara Ahmad. Kontribusi akademik dan pemikiran mereka mewarnai perdebatan akademik di dunia Barat. Penting untuk mengenal mereka supaya pemahaman kita tentang pemikiran sosial dan politik tidak melulu didominasi oleh laki-laki berkulit putih yang pemikiran-pemikirannya sudah banyak didiskusikan di Indonesia selama ini.

Amia Srinivasan

Yang pertama adalah seorang filsuf muda Oxford, Amia Srinivasan. Ia adalah Profesor Chichele untuk Pemikiran Sosial-Politik di Universitas Oxford. Srinivasan lahir di Bahrain dari orangtua berkebangsaan India dan bersekolah di Yale dan Oxford. Pada tahun 2019, di usia 35 tahun, ia terpilih sebagai Profesor menggantikan Jeremy Waldron yang pindah ke New York 6 tahun sebelumnya. Srinivasan lulus PhD di Asrama All Souls Universitas Oxford dengan tesis berjudul Istana yang Rapuh: Esai tentang Luminositas, Normativitas, dan Metafilsafat di bawah bimbingan John Hawthorne dan Timothy Williamson. Srinivasan menggabungkan filsafat analitik dan feminisme. Selain menulis esai filsafat, Srinivasan aktif menulis di Ulasan Buku London (LRB) dan majalah populer.

Beliau mendapat apresiasi meriah atas bukunya yang baru terbit tahun lalu, Hak untuk Seks (2021). Buku Hak untuk Seks mendiskusikan beberapa isu terkait seksualitas dan feminisme kontemporer yang dikemas dan dikerangkai dengan bahasa populer. Di buku tersebut, Srinivasan menantang para feminis untuk memahami ulang interseksionalitas, “hasrat”, dan relasi-relasi seksual yang timpang hari ini. Misalnya, bagaimana hubungan seksual antara dosen dan mahasiswa bisa dipahami dengan kerangka “etika” tertentu?

Bahasa Srinivasan yang populer tanpa menghilangkan kedalaman pemikirannya—sebagai filsuf analitis—membuatnya dipuji banyak orang, salah satunya tokoh feminis Judith Butler. Srinivasan cukup kritis terhadap beberapa feminis Amerika Serikat yang punya kecenderungan legalis seperti Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon.

Kazi Sabeel Rahman

Sabeel Rahman adalah pemikir muda Amerika Serikat yang terkenal dengan kajian-kajiannya tentang demokrasi ekonomi. Beliau lulus PhD di Universitas Harvard dengan tesis berjudul Mengelola Ekonomi: Pakar, Pasar, dan Warga Negara di bawah bimbingan Michael Sandel. Tesisnya kemudian diterbitkan oleh Penerbit Universitas Oxford dengan judul Demokrasi melawan Dominasi (2017). Buku keduanya yang ditulis bersama Hollie Russon Gilman diterbitkan oleh Penerbit Universitas Cambridge dengan judul Kebajikan Warga Negara.

Buku dan risetnya mengembangkan perspektif yang kita kenal sebagai neorepublikanisme, yang juga dikembangkan oleh pembimbingnya, Michael Sandel dan Phillip Pettit di Universitas Princeton. Menurut Sabeel Rahman, ekonomi tidak hanya soal problem untung-rugi, melainkan juga soal bagaimana melawan dominasi di masyarakat kapitalis kontemporer. Kazi mengkritik pemikir-pemikir ekonomi utilitarian dan liberatarianisme kanan yang menyerahkan masyarakat sepenuhnya pada mekanisme pasar. Menurutnya, kebijakan ekonomi semacam ini tidak sesuai dengan semangat republikan Amerika Serikat yang berfondasi pada kebebasan dan anti penindasan. Perspektif pemikiran ini, yang bertumpu pada asumsi tentang kebebasan sebagai perlawanan terhadap dominasi dan penindasan, dikenal sebagai perspektif republikanisme dan berakar dari para pemikir republikan klasik zaman Romawi serta para pendiri Amerika Serikat.

Sabeel Rahman terlibat di beberapa aktivitas sosial dan politik sebagai Staf Ahli Wakil Walikota New York dan mengajar di Sekolah Hukum Brooklyn di New York. Selain itu, beliau juga menjadi Ketua Umum lembaga think-tank Demos di New York. Mas Kazi kini sedang cuti di luar tanggungan negara untuk menjadi staf khusus di Kantor Staf Presiden Amerika Serikat, membantu Presiden Joe Biden.

Baca juga:

Afifi Al-Akiti

Ada seorang pemikir muslim Asia Tenggara juga di antara para pemikir ini. Afifi Al-Akiti adalah seorang intelektual muslim asal Malaysia. Setelah menyelesaikan sekolah pesantren di Malaysia, beliau melanjutkan sekolah di Universitas Ratu Belfast dan menyelesaikan PhD di Universitas Oxford dalam bidang Kajian Islam Abad Pertengahan. Beliau menulis tesis tentang pemikiran klasik Imam Al-Ghazali berjudul Madnun Al-Ghazali: Penyuntingan Kritis terhadap Naskah-Naskah Madnun yang Belum Terbit dari Imam AlGhazali dengan Diskusi Filosofisnya. Dr. Afifi Al-Akiti banyak mengkaji manuskrip-manuskrip Al-Ghazali dan mengembangkan pemikiran filsafat dan hukumnya.

Ketika masih menjadi mahasiswa PhD di Universitas Oxford, beliau menulis satu manuskrip berjudul Mudafi’ al-Mazlum bi-Radd al-Muhamil ‘ala Qital Man La Yuqatil yang mendiskusikan perlindungan terhadap warga sipil dalam hukum Islam. Manuskrip ini berisi fatwa yang menolak pengeboman dan pembunuhan warga sipil dengan melihat argumen-argumen ulama klasik. Bagi Syeikh Afifi, argumen kaum Jihadis yang membunuh warga sipil melanggar hukum Islam dan tidak bisa diterima. Manuskrip ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan cukup popular di masanya.

Syeikh Afifi kini menjadi pengajar di Fakultas Teologi Universitas Oxford sembari menjadi peneliti di Pusat Studi Islam Oxford (OXCIS). Beliau juga sering memberikan kuliah di Malaysia dan baru-baru ini mengedit satu buku berjudul Islam dan Biomedis bersama Aasim Padela, diterbitkan oleh Springer tahun 2022.

Ruth Chang

Ruth Chang adalah Guru Besar bidang Ilmu Hukum di Universitas Oxford, menggantikan beberapa sesepuh seperti H. L. A. Hart, Ronald Dworkin, dan John Gardner. Beliau menyelesaikan PhD di bidang Filsafat di Universitas Oxford dan Juris Doctor di Universitas Harvard. Di Oxford, beliau menuntaskan studi di bawah bimbingan Derek Parfit. Kombinasi keahlian ini membuat beliau menjadi kandidat yang dianggap mumpuni ketika Universitas Oxford mencari Guru Besar Ilmu Hukum (Professor of Jurisprudence) ketika pemegang posisi yang lama, John Gardner, mundur.

Dr. Ruth Chang mula-mula berkontribusi dalam Filsafat. Bukunya yang terkenal, disarikan dari tesisnya, berjudul Inkomensurabilitas, Inkomparabilitas, dan Nalar Praktis dan diterbitkan oleh Penerbit Universitas Harvard. Kajian-kajian filosofisnya banyak mengembangkan tradisi filsafat hukum dari perspektif nalar praktis. Lebih jauh pendekatan yang dikembangkannya banyak menyoal positivisme hukum dan pendekatan nalar praktis yang disusun oleh pendahulunya, seperti Hart, Raz, dan Gardner.

Jabatan yang diemban oleh Ruth Chang adalah salah satu posisi paling prestisius dalam kajian Hukum di Universitas Oxford. Tiga orang pendahulunya, H. L. A. Hart, Ronald Dworkin, dan John Gardner, adalah pionir di kajian common law, terutama Hart dan Dworkin, yang dua pendekatannya banyak diperbincangkan di kalangan ahli hukum Inggris dan Amerika Serikat di tahun 1980-an. Chang meneruskan dan memperkaya perdebatan ini dengan teori-teorinya tentang nalar praktis dan perbandingan dalam hukum. Ia berargumen bahwa dalam nalar praktis, sesungguhnya nilai yang dipegang oleh agen—yang berinteraksi dalam struktur tertentu—bisa diperbandingkan dan dianalisis secara komparatif.

Sara Ahmed

Sara Ahmed bisa dibilang sebagai intelektual feminis paling prolific hari ini, setidaknya di Inggris. Beliau lahir dari seorang ayah keturunan Pakistan dan ibu seorang berkebangsaan Inggris, menamatkan Pendidikan S1 di Universitas Adelaide di Australia, serta lulus PhD di Universitas Cardiff. Buku pertamanya, Perbedaan yang Penting: Teori Feminisme dan Postmodernisme (1998), mendiskusikan dialog antara teori-teori feminisme dengan posmodernisme. Ahmed mendorong feminisme untuk mengevaluasi cara pandang posmodernisme dalam konsepsi mereka tentang gender, hak, perempuan, etika, subjektivitas, bahkan film dan metafiksi.

Kontribusinya yang terkenal adalah buku ketiganya, Politik Kultural Emosi yang diterbitkan oleh Penerbit Universitas Edinburgh tahun 2004. Buku ini membangun konseptualisasi feminis tentang emosi. Ahmed berargumen bahwa emosi adalah produk kultural, dalam arti ia dibentuk oleh interaksi manusia yang dimediasi oleh artefak-artefak kebudayaan, alih-alih problem psikologis semata. Ia membangun teorinya dengan memperlihatkan peran penting tubuh dan respons emosionalnya terhadap perubahan sosial dan budaya, serta peran patriarki dan penindasan atas tubuh perempuan dalam membentuk emosi.

Ahmed juga dikenal karena aktivisme yang kuat di dunia akademik. Sebagai contoh, beliau mundur dari Asrama Goldsmith di Universitas London sebagai protes terhadap kekerasan seksual di sana. Ahmed banyak berkontribusi dalam perdebatan teori-teori feminisme kontemporer, salah satunya adalah apa yang beliau sebut sebagai feminist killjoy—feminis yang tak berhenti membawa pertanyaan, bahkan jika pertanyaan itu tidak nyaman bagi sebagian di antara kita.

Baca juga:

Tentu saja banyak ahli politik dan filsuf-filsuf muda keturunan Asia lain yang mengajar di dunia Barat. Mereka memberikan warna intelektual menarik dalam wacana ilmu-ilmu sosial sekaligus memperlihatkan bahwa tradisi pemikiran intelektual “yang berat-berat”—seperti sering dibahas oleh aktivis mahasiswa, termasuk saya sendiri dulu—bukan hanya produk orang-orang Barat berkulit putih. Ada juga peran para intelektual keturunan Asia di sana yang dalam banyak hal sangat kritis terhadap rasisme dan seksisme di dunia akademik hari ini—tidak hanya di Barat, tapi juga di Asia, tempat asal kakek dan nenek mereka.

 

Editor: Emma 

Ahmad Umar
Ahmad Umar Peneliti dan Tutor Hubungan Internasional.

One Reply to “Orang-Orang Asia dalam Pemikiran Sosial Kita Hari Ini”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email