Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Media yang Meliyankan Perempuan

Wahyu Eka Styawan

2 min read

Diskriminasi gender adalah salah satu persoalan utama media-media saat ini. Diskriminasi gender oleh media yang sering terjadi adalah framing atau pembingkaian yang memuat stereotip, seksualitas dan seksisme.

Sebelum lanjut membahas tentang diskriminasi gender oleh media, penting untuk memahami secara tepat apa yang dimaksud dengan gender. Menurut Mansour Fakih dalam Analisis Gender & Transformasi Sosial (2016), gender adalah konstruksi sosial yang menyematkan peran dan identitas sosial tertentu bagi laki-laki dan perempuan. Peran dan identitas sosial ini dibangun berdasarkan budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Baca juga:

Secara khusus, diskriminasi gender adalah diskriminasi berdasarkan kelamin maupun identitas gender yang mengarah ke perbedaan perlakuan, akses dan hak. Sebagai konsekuensinya, akan ada kelompok jenis kelamin atau identitas gender tertentu yang beroleh perlakuan istimewa atau privilese dari masyarakat. Sebaliknya, akan ada pula kelompok jenis kelamin atau identitas gender yang diperlakukan tidak adil, bahkan dipinggirkan oleh masyarakat, termasuk oleh media.

Media melakukan diskriminasi gender, baik itu di lingkungan kerja maupun dalam informasi dan konten yang mereka publikasikan. Laki-laki lebih sering dikutip dalam pemberitaan daripada perempuan, terutama pada liputan-liputan tentang topik yang dianggap “serius” atau “berat” seperti politik, hukum, dan bisnis. Selain itu, ketika mewawancara warga, wartawan berbagai media kerap menanyakan pertanyaan yang bersifat emosional kepada warga perempuan. Sementara itu, warga laki-lakilah yang banyak ditanyai pertanyaan yang lebih kontekstual dengan asumsi penjawabnya memiliki wawasan yang luas.

Berita tentang situasi ekonomi seperti kelangkaan minyak goreng tempo hari cukup mengekspos diskriminasi gender yang dilakukan oleh media. Isu kelangkaan minyak goreng identik dengan para ibu rumah tangga yang diasumsikan sebagai pembeli setia minyak goreng. Pemberitaan tentang isu minyak goreng dibingkai secara emosional melalui pertanyaan-pertanyaan yang emosional pula.

Narasumber perempuan dalam berita isu kelangkaan minyak goreng ditanyai pertanyaan-pertanyaan semacam “bagaimana perasaan Anda, apakah sedih?” atau “bagaimana kondisi rumah tangga Anda?”. Selain itu, judul dan isi berita banyak menggunakan sebutan emak-emak yang merupakan bentuk stereotip gender. Penerima berita seakan diarahkan untuk memliki pemikiran bahwa perempuan yang dikatakan sebagai “emak-emak” erat kaitannya dengan kondisi-kondisi seperti rebutan, keramaian, ingin menang sendiri, dan sejenisnya.

Edy Prihantoro dan Tri Wahyu Retnoningsih dalam Stereotip Perempuan Dalam Wacana Media menjelaskan bahwa stereotip perempuan dalam pemberitaan kerap memosisikan perempuan sebagai liyan atau manusia kelas kedua. Stereotip ini terlihat pada penggunaan sebutan-sebutan seperti pelakor, janda, cantik, seksi, lemah, atau bahkan emak-emak dalam pemberitaan. Tak jarang pula, pemberitaan memuat mitos seksis seperti “perempuan Sunda atau Jawa lebih setia” atau “perempuan berkumis, perempuan membungkuk bernafsu besar”.

Persoalan lain adalah bahasan seputar seksualitas yang lekat dengan objektifikasi perempuan. Media massa beriringan dengan media sosial adalah pendorong terjadinya diskriminasi berbasis gender, khususnya dalam konteks objektifikasi perempuan. Seperti yang dituliskan oleh Rebecca Collins dalam Content Analysis of Gender Roles in Media: Where Are We Now and Where Should We Go? (2011), gambar dan harapan peran gender dikonstruksi dan dikukuhkan melalui berbagai platform dan sumber seperti struktur bahasa, kegiatan, media, pengaturan sekolah, penceritaan sejarah, karya seni, serta lingkungan tempat kerja.

Media massa sering menarik traffic pembaca dengan menjual pemberitaan yang tak tepat, bahkan merendahkan tentang seksualitas perempuan. Platform ini membingkai perempuan sedemikian rupa; menyoroti secara berlebihan hal-hal seperti cara perempuan berpakaian, menggambarkan perempuan selalu di bawah laki-laki, hingga mendoktrin apa-apa saja yang menjadi tolok ukur harga diri perempuan. Kesemua hal ini dapat berimbas pada perburukan kesejahteraan emosional perempuan.

Tak jarang, pemberitaan tentang perempuan juga memuat ujaran body shaming. Misalnya, sorotan berlebihan terhadap fitur tubuh perempuan seperti seksi, kurus, gendut, dan sebagainya. Yang lebih fatal,

Kondisi di atas dapat ditemukan dalam beberapa contoh narasi berita, seperti pelabelan pada perempuan, misalnya penggunaan kata “perempuan seksi, perempuan kurus, perempuan gendut” yang mengarah pada bentuk tubuh seseorang dan cenderung mengarah ke body shaming.  Narasi-narasi body shaming serupa juga kerap digunakan dalam pemberitaan yang menyalahkan korban kekerasan seksual,

Menurut Silvia Galdi, Anne Maas, dan Mara Cadinu dalam Objectifying Media: Their Effect on Gender Role Norms and Sexual Harassment of Women (2013), objektifikasi perempuan ditransmisikan secara verbal dan nonverbal, serta secara langsung dan tidak langsung. Objektifikasi tidak hanya visual, tetapi juga dapat diungkapkan secara halus dengan mengomentari penampilan perempuan dengan cara yang lucu, membuat seolah-olah itu lelucon, serta menggunakan makna ganda, seakan-akan itu normal dan sengaja dinormalisasi.

Baca juga:

Pewajaran objektifikasi perempuan oleh media berkontribusi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, baik itu daring maupun luring. Secara lebih luas, diskriminasi gender oleh media yang juga meliputi objektifikasi turut andil merenggut hak-hak perempuan atas perlakuan yang setara dan ruang aman. Maraknya praktik diskriminasi gender oleh media yang belum kelihatan akan berhenti dalam waktu dekat juga merupakan penanda bahwa budaya patriarki telah mendarah daging.

Membicarakan diskriminasi gender, khususnya yang merugikan perempuan, berarti membicarakan salah satu bagian dari rantai panjang eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Media mengeksploitasi perempuan demi traffic, demi mendulang klik. Padahal, media semestinya menjadi pionir dalam hal membuka cakrawala pengetahuan dan memantik diskusi massa yang berperspektif gender.

 

Editor: Emma Amelia

Wahyu Eka Styawan
Wahyu Eka Styawan Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email