Sebagai seorang Sarjana Studi Islam, saya sering merasa pakewuh atau tidak enak hati menjawab pertanyaan seputar orientasi seksual seseorang dan identitas gendernya. Saya harus memisahkan pendapat pribadi saya, dengan pendapat yang saya pelajari dan pahami dalam literatur Islam. Ketika ada yang bertanya bagaimana Islam menanggapi LGBTQ+ dan apakah Islam anti terhadap hal itu, saya selalu memulai jawaban dengan pernyataan ini: jangankan begitu, dalam Islam yang saya pahami, bahkan aktivitas seksual antar lawan jenis saja dilarang di luar nikah. Islam hanya melegalkan hubungan seksual sebatas dalam pernikahan, jadi jika kamu muslim dan hanya menikah sekali dengan seorang perempuan atau laki-laki, kamu dituntut hanya berhubungan seksual dengan satu pasanganmu itu saja sampai kalian bercerai, atau salah satu di antara kalian mati.
Baca juga: Agama Cinta Perekat Umat
Dari pembukaan tadi, saya ingin menggambarkan bahwa Islam, sebagai agama, tentu saja memiliki batasan-batasannya sendiri, mulai dari makanan sampai hubungan seksual. Islam memiliki hukum yang bersumber dari wahyu Ilahi untuk membatasi pemeluknya, maka kita akan sering mendengar dalam Al-Qur’an, bahwa orang-orang yang melanggar hukum sama dengan melewati batas. Terkadang, batasan itu terasa sangat menyakitkan bagi sebagian orang, yang membuat hukum Islam terasa tidak adil. Namun, sebagai hukum yang sumber asalnya tidak mengalami perubahan lagi sejak Nabi Muhammad wafat, batasan-batasan yang bagi sebagian orang tidak adil itu tetap ada di sana, semenyakitkan apa pun. Dari yang saya pelajari, dan sangat mungkin saya keliru memahaminya, batasan itu juga mencangkup masalah gender dan aktivitas seksual.
Gender dalam Islam
Tradisi Islam klasik menilai gender hanya berdasarkan aspek biologis, tanpa mempertimbangkan aspek psikologis, sebab hal itu yang dianggap faktual. Islam tidak mengenal istilah dysphoria gender, atau kondisi di mana identitas gender tidak sesuai dengan genitalia. Sehingga, pada dasarnya dalam keyakinan Islam seseorang dilahirkan dengan gender yang sudah ditentukan, entah itu laki-laki atau perempuan (Al-Hujurat: 13).
Selain dua gender utama itu, Islam juga mengakui adanya gender ketiga, yaitu seseorang yang terlahir dengan dua jenis kelamin (interseks), yang dalam istilah fikih dikenal sebagai khuntsa (istilah ini terdapat dalam atsar atau riwayat sahabat Nabi). Lagi-lagi, gender ini diakui berdasarkan aspek biologis. Di kemudian hari, gender seorang khuntsa ditentukan berdasarkan genitalianya yang paling dominan. Barulah ketika kedua genitalia sama-sama berfungsi dengan baik, ia bisa memilih identitas gendernya sendiri. Dalam pengertian tadi, khuntsa bukanlah seorang transgender, karena sejak lahir ia memiliki dua jenis kelamin. Selain ketiga gender di atas, pandangan fikih klasik belum mengakomodir adanya gender melalui perubahan kelamin asal seperti transpuan atau transpria.
Ketika membaca literatur fikih klasik, kita juga akan menemukan istilah mukhannats, atau lelaki yang sikap dan penampilannya menyerupai lawan jenisnya, tetapi ia tak sampai mengubah jenis kelaminnya. Sebaliknya (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki) disebut dengan mutarajjilah. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa muslimah hendaknya tidak mengumbar kecantikan dan keindahan tubuhnya kecuali kepada beberapa golongan saja, salah satunya adalah ghair ulil irbah min ar-rijal atau laki-laki yang tidak tertarik kepada perempuan (An-Nur: 31). Dalam beberapa riwayat, laki-laki yang tidak punya hasrat seksual kepada perempuan itu digunakan sebagai pengertian mukhannats.
Baca juga:
Orientasi Seksual dan Aktivitas Seksual
Sejauh pembacaan saya, Islam tidak pernah melarang kecenderungan seksual kepada siapa pun. Yang dilarang dalam Islam adalah aktivitas seksualnya yang melewati batas. Islam mengangkat tangan kepada apa pun yang belum berwujud dalam tindakan, seperti niat. Jadi, seseorang yang berniat berbuat jahat terbebas dari hukum sampai ia melakukan kejahatan tersebut. Begitu pula Islam berlepas diri dari orang yang mencintai dan memiliki orientasi seksual kepada orang lain, sampai ia melakukan aksi berdasarkan orientasi tersebut yang melanggar batasan-batasan Islam.
Dalam khazanah Islam klasik, sebagaimana gender yang hanya ditentukan sebatas dari aspek biologis, hubungan seksual juga dipandang sebagai aktivitas biologis yang berfungsi untuk reproduksi atau melahirkan keturunan. Hukum asal inilah yang kemudian digunakan ahli fikih untuk menetapkan hukum Islam terkait aktivitas seksual.
Berdasarkan hal tersebut, Islam membatasi manusia dan hanya memperbolehkan mereka berhubungan seksual jika memenuhi dua kondisi umum. Pertama, adanya ikatan pernikahan yang sah. Adapun pernikahan dianggap sah dalam Islam jika dilakukan oleh pasangan lawan jenis. Maka, kondisi kedua yang memperbolehkan aktivitas seksual dalam Islam adalah dilakukan antar laki-laki dan perempuan, bukan sesama jenis.
Jika salah satu saja dari kedua kondisi tersebut gugur, maka Islam melarang aktivitas seksual dan menganggapnya melampaui batas atau perzinaan, yaitu aktivitas seksual di luar nikah, dan aktivitas seksual yang dilakukan dengan pasangan sesama jenis (antara laki-laki dan laki-laki, atau perempuan dan perempuan). Aktivitas seksual sesama jenis kerap dinisbatkan kepada penduduk Sodom, kaum Nabi Luth. Dalam Al-Qur’an, Allah menceritakan bahwa Nabi Luth berdakwah kepada kaumnya untuk meninggalkan perbuatan keji yang mereka lakukan, yaitu mendatangi laki-laki untuk melampiaskan syahwat, bukan kepada perempuan (Al-A’raf: 81).
Tentu yang saya sampaikan di atas adalah pandangan Islam klasik yang masih banyak dianut oleh mayoritas muslim hari ini. Namun, bukan berarti Islam melegalkan diskriminasi terhadap orang-orang yang memilih identitas gender atau orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan orang. Alih-alih begitu, Islam yang saya baca justru berusaha melindungi hak hidup minoritas ini dalam masyarakat.
Pidana Perzinaan
Pelanggaran hukum dalam Islam sebagian dicatat sebagai tindak pidana, sebagian lain tidak bisa ditindak pidana atau dibawa ke pengadilan, dan sanksinya diserahkan kepada Pencipta hukum, yaitu Allah. Suatu pelanggaran dianggap tindak pidana ketika berakibat buruk pada orang lain. Jika tidak, maka pelanggaran tersebut dihitung sebagai bentuk ketidaktaatan hukum saja. Misalnya, tidak mengerjakan kewajiban syariat berupa ibadah langsung kepada Allah seperti puasa, maka pelakunya hanya dianggap berdosa tanpa bisa dibawa ke pengadilan hukum.
Perzinaan masuk ke dalam tindak pidana karena Islam menjelaskan perincian hukumnya berikut sanksi yang diberikan. Perzinaan, seperti saya sebut sebelumnya, adalah aktivitas seksual di luar hubungan pernikahan. Itu bisa terjadi baik kepada orang yang belum menikah maupun sudah, dengan hukuman yang berbeda. Pelaku zina yang belum menikah dapat dituntut hukuman cambuk dan pengasingan selama satu tahun, sedangkan pelaku zina yang sudah menikah dapat dituntut hukuman mati berupa rajam. Hukuman berat itu menunjukkan seberapa besar luka yang ditimbulkan dari pengkhianatan seorang suami atau istri kepada pasangannya. Dan zina secara umum dapat menimbulkan kerancuan nasab seseorang. Ketika seorang anak tidak mengetahui siapa orang tuanya, ada kemungkinan ia akan menikahi saudara kandungnya sendiri dan berakhir dengan hubungan inses tanpa ia sadari.
Aktivitas seksual antar sesama jenis dalam pandangan Islam klasik disamakan dengan perzinaan. Beberapa ulama memberikan sanksi yang sama seperti pelaku zina, yang lainnya seperti Abu Hanifah berpendapat sanksi bagi gay dan lesbian adalah ta’zir atau diberi peringatan saat kali pertama mereka ketahuan melakukannya. Kita mungkin ngeri membayangkan berbagai hukuman pidana perzinaan dalam Islam, tetapi yang sering kita lupakan adalah, dari sekian banyak tindak pidana, perzinaan adalah yang paling sulit dibawa ke pengadilan karena syarat pembuktiannya nyaris mustahil.
Seseorang baru dikatakan berzina ketika ada empat orang saksi adil yang menyaksikan langsung perbuatan zina tersebut, ketika dalam hal lain biasanya hanya membutuhkan dua orang saksi. Dan jika ada yang menuduh orang lain berbuat zina, tetapi tidak dapat mendatangkan keempat saksi tersebut, maka sang penuduh yang dikenakan hukuman cambuk karena dianggap menyebarkan tuduhan palsu (An-Nur: 4). Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, seseorang baru bisa dibawa ke pengadilan Islam atas dasar perzinaan dengan pengakuannya sendiri. Memperhatikan syarat yang ketat ini, saya seperti membaca bahwa Sang Pencipta hukum itu sendiri ingin agar sanksi tersebut dihindari dan digunakan sebagai bahan pengingat agar mawas diri.
Bahkan di zaman Nabi Muhammad masih hidup pun, hukuman mati bagi pelaku zina bisa dihitung jari, dan itu pun atas pengakuan dan permintaan sang pelaku sendiri. Yang patut untuk digarisbawahi adalah, bahwa Nabi Muhammad ketika didatangi oleh sahabatnya yang mengakui perbuatan zinanya dan pantas dirajam, beliau cenderung enggan memberikan sanksi dan memberi isyarat agar mereka bertobat dari perbuatannya dengan penyesalan yang teramat sangat, alih-alih menyerahkan diri. Baca saja misalnya kisah sahabat Ma’iz yang sampai bolak-balik empat kali menghadap Nabi agar dihukum rajam. Setelah kematian Ma’iz ditetapkan, beliau bahkan mendatangi Hazzal, sahabat yang menyarankan Ma’iz untuk melaporkan perbuatannya, dan bilang, “Seandainya kamu menutupi aibnya dengan kainmu, maka itu lebih baik bagimu.”
Tak jauh berbeda dengan itu, Nabi Muhammad juga melindungi seorang mukhannats atau waria dari kemungkinan akan dibunuh. Suatu hari, orang-orang mendatangkan seorang mukhannats dengan henna menghiasi tangan dan kakinya kepada Nabi Muhammad. Lalu beliau memilih mengungsikannya ke daerah bernama An-Naqi’. “Mengapa kita tidak membunuhnya?” tanya mereka. “Aku dilarang membunuh orang yang salat,” jawabnya.
Untuk melihat bagaimana sikap Islam terhadap pilihan identitas gender atau orientasi seksual seseorang, saya rasa kita tidak cukup hanya dengan berhenti pada hukum yang tercantum pada teks-teks agama saja, tetapi bagaimana sikap Nabi Muhammad dalam penerapan hukum tersebut. Maka, ketika saya ditanya lagi bagaimana sikap Islam terhadap LGBTQ+? Saya akan menjawab begini: Islam menganggap perbuatan itu melewati batas, tapi Islam menjamin perlindungan terhadap hak-hak hidup mereka.
Jakarta, 2022
kak agus boleh minta dicantumkan periwayat dari kisah” yang disebut tdi
Untuk riwayat tentang sahabat Ma’iz, ada dari sahabat Abu Hurairah dan sahabat Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i (bisa dilihat di antaranya dalam kitab Shahih Abu Dawud atau Sunan Kubra Tirmidzi).
Kisah tentang Mukhannats yang diasingkan ke Naqi’ dan tidak dibunuh juga diriwayatkan sahabat Abu Hurairah (bisa dibaca di kitab Shahih Abu Dawud).