Yandul yakin kalau yang ada di depannya itu adalah Jose Saramago, ketika ia menemukan tanda lahir di dahi kiri atas laki-laki itu, tepat ketika si penulis gaek itu menoleh ke arahnya. Mereka bertatapan sejenak.
Tapi laki-laki itu sudah mati!
Akal mencoba mengonfirmasi apa yang dilihat matanya dengan pengetahuan yang ia temukan dua belas tahun lalu di salah satu kiriman Basebook teman seangkatannya di Kampus Ungu.
Tapi laki-laki itu benar dia.
Ah, kau pasti sedang bermimpi. Tidak mungkin.
Mungkin saja. Dia bisa saja ‘kan memalsukan kematiannya.
Kau kebanyakan nonton Teflix.
Yandul geleng-geleng kepala. Ia mencubit lengannya sendiri. Sakit. Tidak yakin juga, dia menampar pipinya sendiri. Perih.
Hanya satu cara memastikan. Datangi saja dia.
Yandul melihat sekeliling. Aula tempat berlangsungnya acara utama pagi itu sudah cukup ramai. Akan tetapi, tampaknya, tak satu pun yang sadar dan mengenali Jose Saramago. Atau mungkin mereka sudah tahu kalau laki-laki itu memang bukan penulis cemerlang yang Yandul kenal. Seingatnya, di daftar pembicara tidak ada nama itu.
Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Yandul kembali membuka laman festival dengan terburu-buru, lalu mengarahkan telunjukknya ke menu Speakers. Dia memelototi satu per satu nama yang ada di sana, dan benar tidak ada nama Jose Saramago. Ah, apakah panitia ingin memberikan kejutan?
Sudah, datangi saja dia.
Tapi, biasanya orang asing tidak suka diganggu.
Heh, dia datang ke tempat yang ramai seperti ini. Dia sudah tahu risikonya.
Tapi, aku tidak bisa berbahasa Portugis.
Bahasa Inggris saja, tolol!
Kau tahu kan bahasa Inggrisku sama saja dengan bahasa Indonesiaku. Hancur!
Ah kau ini, katanya penulis. Masa tidak tahu berbahasa Indonesia.
Aku tahu, tapi….
Ah terserah kau saja.
Yandul geleng-geleng kepala lagi. Laki-laki itu terlihat sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya.
Ingat kata-kata Jose yang paling kau sukai sampai kau bikinkan stiker. We do not make decisions. Decisions make us.
Diam!
Semakin Yandul perhatikan, semakin yakin dia kalau laki-laki tua itu adalah Jose Saramago. Kacamata bulatnya, alis lebatnya, hidungnya, cara laki-laki itu mengancing kemejanya. Kalau laki-laki itu bukan Jose, dia mestilah seorang peniru ulung.
Ya, Yandul tahu segala perihal laki-laki itu. Ia membahas salah satu karya Jose dalam salah satu tugas mata kuliah Menulis Kreatif dua semester sebelumnya. Fanatik tidak juga. Terkadang, sesuatu memaksamu untuk tahu sesuatu, seperti ketika kau bertemu perempuan anggun yang ternyata simpanan tetanggamu saat mereka berdua keluar bergandengan tangan mesra dari warung pojok dekat rumah dosen pembimbingmu.
Hei, kau mulai melantur.
Pokoknya, Yandul tahu saja. Seperti karyanya, Jose paling mudah dikenali. Kau pasti tahu maksudku kalau kau pernah membaca karya-karyanya. Tapi, mari kita tidak usah berdebat. Lebih menarik kita saksikan perdebatan Yandul dengan dirinya sendiri.
Yandul kita ini masih sibuk mempertanyakan kenyataan yang kini dihadapinya. Ia bimbang di antara kewarasan dan kebenaran yang ia yakini.
Yandul hidup di zaman hiperealitas. Sulit untuk percaya, ketika mata melihat apa yang ingin ia lihat, telinga hanya mendengar apa yang ingin dia dengar. Yandul kembali mengingat, sebelum ia datang ke acara ini, ia tidak mengonsumsi yang aneh-aneh. Tentu saja, karena itu sebagaimana pagi-paginya yang biasa sebagai mahasiswa biasa yang nekat jadi penulis biasa (sesekali jadi penulis bayangan dosennya) dengan penghasilan biasa-timbul-biasa-tenggelam, cenderung suram dan muram sekelam masa depannya di dunia kepenulisan, setelah novel pertamanya dicaci maki segenap orang yang mengaku mencintai sastra dan merasa paling nyastra. Yandul bahkan dijuluki sastrawan prematur, mengada-ada, nekat, dan sebutan lain yang kalau ia pikir-pikir lagi acap kali membuatnya ingin berhenti menulis saja.
Akan tetapi, hidup lagi-lagi bercanda kepadanya. Ia terpilih mengikuti festival. Yandul tidak tahu bagaimana panitia menyeleksi penulis, karena ia merasa tidak pernah mendaftar dan tidak percaya akan ada sahabatnya yang mau mendaftarkan namanya. Festival itu—dari pengakuan panitia—didanai oleh seorang politisi kaya yang juga mengaku sastrawan yang kalau Yandul pikir-pikir lagi, diksi politisi, kaya dan sastrawan tentulah ganjil untuk berada di dalam satu kalimat yang sama, terlebih lagi bila kalimat itu ditulis atau diucapkan di negara yang tidak pernah mengakui penulis sebagai profesi. Namun, Yandul mencoba tak memikirkannya lebih jauh. Ia sangat gembira terpilih dan menganggap itu momen yang bisa membalikkan nasibnya. Meskipun Yandul sebenarnya tidak yakin apa benar momen terpilihnya ia di festival itu bisa membalikkan nasibnya. Di negara tempat Yandul bermukim, lahir dan dibesarkan, ukuran kesuksesan seorang sastrawan ditentukan dari seberapa banyak pengikutnya di Enstagram, dan seberapa banyak karyanya dijadikan quote, bukan dari seberapa banyak karyanya dibincangkan—karyanya loh ya, bukan pengarangnya—dalam diskusi-diskusi ilmiah. Eh maaf loh, ini saya hanya mencoba mendeskripsikan kenapa Yandul bisa bertemu dengan laki-laki yang dikiranya Jose Saramago di sebuah festival yang didanai seorang politisi kaya yang juga mengaku sastrawan.
Kalau sampai di sini kau belum paham juga siapa Jose Saramago (bukan siapa Yandul), kau boleh berhenti membaca kisah ini, dan sejenak beralih ke Toogle (huruf [e] dibaca seperti pada kata bestie)—laman pencari kekinian yang diklaim sebagai yang tercepat dan yang terakurat minim hoaks—dan ketikkan saja nama Jose Saramago (bukan Yandul).
Nah, oke? Sudah bisa kita lanjut cerita ini, kan?
Yandul akhirnya memutuskan mengumpulkan rasa percaya dirinya (juga keberaniannya) mendekati laki-laki yang dikiranya Jose Saramago di sebuah festival yang didanai seorang politisi kaya yang juga mengaku sastrawan. Sebelum berdiri, ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya lalu merapikan rambutnya yang antisosial itu. Entah kenapa lututnya bergetar sendiri, reaksi yang ia akrabi ketika dirinya sedang gugup. Ia menarik napas menenangkan diri. Setelah ia merasa rambutnya sudah lebih rapi, dan sudah tidak terlalu gugup, ia beralih ke kemejanya, memeriksa restleting celananya, dan memastikan ikatan tali sepatunya sudah kuat.
Kau mau bilang apa memangnya?
Yandul memejamkan mata. Wajahnya menampakkan kalau ia sudah sangat jengkel dengan dirinya sendiri yang tidak pernah sependapat dan bahkan berusaha keras menjatuhkan harga dirinya sendiri lebih dari orang-orang yang selalu tak kehabisan energi mencela setiap kiriman media sosialnya.
Yandul yang tadi sudah berdiri, kembali duduk dengan gelisah. Kalau sesuai jadwal yang ia terima dari panitia melalui surel satu bulan sebelumnya, acara sebentar lagi akan dimulai dan bisa jadi, ia tidak akan punya kesempatan untuk menyapa laki-laki yang ia pikir Jose Saramago itu.
Pikir! Pikir! Pikir!
Yandul buntu.
Yandul tiba-tiba dapat ide bagus. Dia sedang sibuk mengetik di Toogle Terjemahan Indonesia ke Portugis ketika bahunya ditepuk pelan.
“Boleh saya duduk di sini, Anjing?”
Yandul segera menengadah, dan menemukan laki-laki yang ia pikir Jose Saramago sudah menempati kursi kosong di sebelah kanannya. Ia tak diberi kesempatan menjawab boleh atau tidak, apalagi mencerna mengapa laki-laki itu bisa berbahasa Indonesia dengan fasih, juga memakinya dengan akrab.
“Eh, eh…iya. Eh silakan, Senhor.”
Tak mungkin Jose. Masa dia lancar berbahasa Indonesia dan tanpa kendala sama sekali mengataimu Anjing!
“Aku Jose.”
Lho?
“Maaf, Jose Saramago maksud Anda?”
Yandul berpikir, kalau laki-laki itu bermaksud menyembunyikan kematiannya, ia tak mungkin mudah mengakui dirinya adalah benar Jose Saramago.
Laki-laki tua itu terkekeh.
“Bagaimana menurut kamu, Anjing?”
Yandul terganggu sebenarnya dengan sapaan sok akrab itu. Namun, ia lebih terganggu lagi dengan rasa penasaran di dalam kepalanya.
Bagaimana cara membuktikan kalau dia Jose?
Yandul berpikir keras.
Ceritakan saja tentang barangmu yang menegang saat membaca paragraf awal “The Gospel According to Jesus Christ” dan lihat bagaimana reaksinya.
Astaga! Serius?
Atau tanyakan tentang siapakah karakter the unknown woman?
Basi!
Atau kenapa dia tidak suka menamai tokoh-tokohnya. Dia kehabisan ide ya? Atau dia hanya suka nama Mary dan Joseph?
Yandul geleng-geleng kepala.
Mengapa dia subversif sekali? Apa agar berbeda dari penulis Portugal lain? Untung dia tidak tinggal di sini, kalau iya, dia sudah lama tamat. Betulan tamat tanpa kesempatan memalsukan kematian.
Hush!
Atau ini, apakah si istri ikutan buta di bab akhir Blindness? Kalau kau dapat jawabannya, pasti kau bisa menulis esai bagus tentang itu.
Ah, kau seorang penganut taat kebebasan tafsir. Lagian berdasarkan apa? Obrolan dari seorang yang sudah mati?
Ah, kau ini pesimistis sekali. Siapa tahu dia betul Jose.
Baiklah.
“Senhor Jose, saya….”
“Setan! Sebentar. Saya lupa ambil obat. Di kamar saya. Anjiiing!”
Laki-laki yang mengaku bernama Jose itu meninggalkan Yandul yang masih terbengong-bengong mencoba memercayai apa yang ia saksikan. Tidak. Yandul mencoba meyakini apa yang ia alami. Apa yang didengarnya. Jose fasih sekali menyebut setan, anjing, dan entah apa lagi nanti, kalau laki-laki itu kembali.
Yandul paling tidak suka disebut anjing. Ia tahu, itu sapaan akrab dan hangat dan menandakan kedekatan yang karib. Namun, ia tak pernah nyaman. Kalau bisa memilih, ia tak mau akrab dengan seseorang untuk kemudian dipanggil anjing, brengsek, asu, setan, bajingan tengik, bangsat, babi, dan makian yang selalu dikatakan orang-orang sebagai penanda kedekatan.
Namun, sayang sekali dunia telah jauh berubah. Dunia yang Yandul tempati terus bertransformasi. Teman-temannya bergaul dengan cair bersama dosen-dosennya di kampus, nongkrong di tempat yang sama, tukar rokok dan referensi lagu kesukaan di Notify. Hanya Yandul yang dengan tekun tidak berubah. Ia tetap serius belajar untuk mendapatkan nilai terbaik, untuk tetap menerima beasiswa karena orangtuanya sudah tidak ada lagi.
“Sialan, aku lupa obat itu. Tertinggal di toilet bandara. Sekarang, kamu bisa temani saya, Anjing?”
“Nama saya Yandul, bukan anjing,” antara berkumur, bergumam dan tidak percaya diri, Yandul mencoba menegakkan harga diri.
Laki-laki itu menatapnya. Bingung.
Berbicara lebih jelas, bodoh! Kini Yandul pun sudah berani memaki dirinya sendiri.
“Yandul,” dia berkata seraya menepuk dadanya. “Nome. Meu nome. Yandul não anjing.”
Laki-laki itu sejenak kembali menatapnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Lalu tiba-tiba terdiam. Tampak serius berpikir. Tetap menatap Yandul.
“Aku (masih ganjil sekali di telinga Yandul mendengar bule di depannya lagi-lagi menyebut dirinya dengan ‘aku’ alih-alih ‘saya’) menonton banyak film Indowood, lately. Aku lagi belajar bahasa Indonesia dari film-film Indo di Teflix. Aktor-aktor itu berbicara dan sering sekali menyebut anjing. Kamu nonton juga, kan?”
Sebelum Yandul sempat membuka mulut, Jose memberi isyarat untuk mengabaikan pertanyaannya barusan dan kembali berkata, “aku mencoba menyesuaikan diri.”
Yandul manggut-manggut.
“So, Yandul, yes? Not anjing. Oke?” Jose mengacungkan jari telunjuk kanannya.
Yandul mengangguk.
“Oke, Yandul. Aku minta tolong. Temani aku ke klinik mata terdekat, yes?”
Yandul melihat ke podium. Belum ada tanda-tanda acara akan segera dimulai. Sesaat sebelum Jose kembali dari kamar, panitia sempat mengumumkan permintaan maaf sekaligus pemberitahuan kalau pejabat yang ditunggu untuk membuka acara secara baik dan benar masih terhambat rapat lain.
“Saya belum tahu juga, tapi saya bisa temani.”
Jose memekik, “yay!”
Melihat reaksi polos itu, Yandul sudah lupa pada pertanyaan-pertanyaan yang beberapa menit lalu berkecamuk di kepalanya.
***
Editor: Ghufroni An’ars
cerita dengan kandungan sihir yang kuat. saya sampai terarahkan mencari Jose Saramago di “Toogle” hehe. keren kak