Melupakan Queer dalam Pertunjukan Orkestra G20

Naning Scheid

4 min read

Peringatan: Tulisan ini mengandung muatan yang sangat sensitif terhadap kesehatan mental. Segera berhenti membaca jika Anda merasa tidak nyaman.

Tema kesetaraan dan visi keberagaman dalam pertunjukan Orkestra G20 berdurasi dua jam pada Senin, 12 September 2022 sukses diilustrasikan dengan gemilang. Dengan motto “recover together, recover stronger” semangat kebersamaan dalam perbedaan dirayakan. Segenap isu-isu anti-diskriminasi terhadap ras, kebangsaan, budaya, kepercayaan, usia, jenis kelamin, serta disabilitas dibahas tuntas. Sayang, oh, sayang; topik LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, and other non-gender conforming) atau isu kesetaraan orientasi seksual telah diabaikan.

Seperti yang menjadi pemberitaan di media, orkestra pimpinan Ananda Sukarlan—komposer, pianis, founder dan artistic director Orkestra G20—telah secara ciamik memberi kesegaran tambahan yang dibawanya ke program pertunjukan. Secara brilian, pagelaran orkestra tersebut mampu memayungi beberapa lapisan perbedaan.

Baca juga:

Pertama, ras, kebangsaan, budaya, dan kepercayaan. Dibentuknya Orkestra G20 yang berisi para musisi dari anggota negara G20 menunjukkan diversitas tertinggi di dunia. Para musisi yang terpilih pastinya mempunyai latar budaya, etnis, dan kepercayaan yang berbeda-beda. Berasal dari Amerika, Argentina, Australia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Brazil, Canada, Cina, Jerman, Prancis, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Rusia, dan Uni Eropa, mereka seragam dalam kebersamaan, bersatu dalam harmoni simfoni Orkestra G20. Tercatat 18 negara berpartisipasi, hanya Cina dan Turki yang absen.

The Voyage to Marege’ karya Ananda Sukarlan ini terbukti telah menghipnotis penonton. Kolaborasi antara Indonesia dan Australia menampilkan dua musisi dari suku Aborigin yang menceritakan tentang hubungan dagang, agama, akulturasi budaya, dan bahasa antara masyarakat Makassar dan suku Aborigin. Sungguh suguhan pertunjukan yang magical, poetic, sekaligus profound.

Kedua, usia. Badan orkestra berisi para musisi muda berbakat berusia di ambang 30 tahun yang menunjukkan keseriusan dalam memberikan partisipasi lebih luas terhadap para milenial. Sebuah terobosan yang diklaim oleh Mendikbudristek sebagai semangat kebaruan dan keberlanjutan dalam bidang seni budaya.

Ketiga, jenis kelamin. Topik ini sangat penting karena berkali-kali dibahas dan digarisbawahi dengan pernyataan kesetaraan gender dalam hal komposisi musisi perempuan dan musisi laki-laki yang mengidealkan angka 50:50. Meskipun pada kenyataannya komposisinya menjadi 26:34 dari total 60 musisi perempuan dan laki-laki, tapi semangat kesetaraan gender benar-benar digelorakan. Terpilihnya Eunice Tong sebagai konduktor perempuan menambah daftar panjang bukti bahwa Orkestra G20 bersungguh-sungguh terhadap niat tersebut. Dan, berhasil!

Keempat, disabilitas. Semangat anti diskriminasi terhadap penyandang disabilitas juga ditampakkan pada segmen ketiga Orkestra G20 yang menampilkan karya Sergei Prokofiev dari Rusia, yaitu Piano Concerto No. 4 in B-Flat Major for The Left Hand, op. 53. Ia menulis karyanya untuk pianis Austria Paul Wittgenstein yang kehilangan lengan kanannya saat berperang melawan Rusia dalam PD I. Pada segmen ini, Orkestra G20 menampilkan pianis muda Calvin Abdiel Tambunan yang memainkan piano hanya dengan satu tangan (kiri). Tampilan tersebut mampu memukau penonton, baik di Candi Borobudur maupun penonton yang menyaksikan lewat siaran langsung di kanal TVRI World, termasuk saya.

Seharusnya, ada poin kelima yang wajib dibahas, yaitu isu kesetaraan terhadap orientasi seksual. Namun, void. Nada. Rien. Nothing. Yet, I wonder how many of the orchestra members are gay or lesbian?

Apakah akan mengurangi keagungan dan kesuksesan imperial dari pagelaran Orkestra G20 apabila kita membahas tema LGBT? Saya yakin tidak. Justru sebaliknya, hal tersebut akan menjadi catatan positif yang menyempurnakan tema kesetaraan. Keterbukaan ini malah bisa jadi akan diapresiasi negara-negara anggota G20 lainnya.

Terkait topik homoseksualitas, well, mari kita membahas Sir Michael Tippett dan empat lagu dari Babak Pertama Oratorio A Child of Our Time-nya yang mengisi segmen kedua pertunjukan orkestra G20.

Dimulai dari Michael Tippet (1905-1998), komposer Inggris yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris pada tahun 1966 atas karya-karyanya yang inovatif dalam simfoni, oratorio, kuartet gesek, serta sonata piano. Ia aktif menyuarakan gerakan anti perang dan membela hak-hak gay.

Demi keyakinannya sebagai seorang pasifis, Tippett dipenjara selama tiga bulan karena secara terbuka menentang adanya perang pada tahun 1943. Karyanya, A Child of Our Time, terinspirasi oleh persekusi Nazi terhadap kaum Yahudi dan dibuat pada masa-masa teror sepanjang tahun 1939-1941. Adukan amarah dan kegelisahan itu ia dedikasikan untuk Hershel Grynszpan, seorang Yahudi muda yang dibunuh tahun 1937 oleh Nazi di Paris Club karena homoseksualitasnya.

Tak hanya itu, karya ini juga dibuat saat Tippett sedang mengalami putus cinta atas hubungan sesama jenisnya dengan seorang pelukis, Wilfred Franks. Dalam pencarian state of emotional equilibrium-nya, Tippett belajar psikoanalisis Jungian. Keseimbangan dalam penyatuan bayang dan cahaya ia tampakkan pada Babak III di A Child of Our Time.

Pada pertunjukan orkestra G20, empat solois mudaMariska Setiawan, Pepita Salim, Nick Lukas, dan Kadek Ari Anandamenyanyikan Man Has Measured the Heavens, I Have No Money for My Bread, How Can I Cherish My Man, dan Steal Away gubahan Tippett.

Di segmen keempat (penutup), Orkestra G20 menampilkan lima lagu dari negara-negara anggota G20: The Cat Duet dan Messun Dorma karya Gioacchino Rossini (Italia), Tango Por Una Cabeza karya Carlos Gardel (Argentina), Barcarolle From The Tales of Hoffmann karya Jaques Offenbach (Jerman/Prancis), dan Make Our Garden Grow karya Leonard Bernstein (Amerika Serikat). Nah, Bernstein inilah yang akan saya bahas. Seperti halnya Tippett, Leonard Bernstein juga secara terbuka menyatakan diri sebagai homoseksual. Ia memang pernah menikah dengan perempuan bernama Felicia Montealegre dan mempunyai tiga orang anak, tetapi dalam hal orientasi seksual, ia gay.

Leonard Bernstein (1918-1990) adalah konduktor, komposer, pianis, penulis, dan humanis berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hidupnya, ia membela hak-hak minoritas, anti-perang, serta pengumpul dana untuk penilitian dan kesadaran akan HIV/AIDS. Make Our Garden Grow adalah lagu penutup di Babak II dalam opereta Candide berdasarkan karya Voltaire tahun1759. Lagu ini dimainkan di Broadway pada tahun 1956 dengan gaya luwes, segar, pastiche bernuansa gay.

Baik Tippett maupun Bernstein adalah para musisi yang telah menampakkan diri terhadap pilihan orientasi seksualnya. Suatu sikap yang sangat sulit ditempuh pada zaman mereka. Akan tetapi, apakah hari ini para LGBT lebih mudah menyatakan diri? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tergantung lingkungan tempat mereka tinggal, keterbukaan, dan penerimaan dari orang-orang terdekat, termasuk pengayoman otoritas (negara) terhadap hak atas perbedaan tersebut.

LGBTQ+ dianggap seperti penyakit menular oleh sebagian orang. Seakan orang yang membicarakan atau berkawan dengan kaum LGBT mendadak ketularan. Ekspresi homofobia terlihat dalam prasangka buruk mereka terhadap para homoseksual. Ketidaksukaan, bahkan ketakutan yang telah diajarkan sejak kecil di berbagai belahan dunia telah menjadi kepedihan yang harus disandang oleh para homoseksual atas pilihan mereka.

Para homoseksual ini tidak jarang menjadi korban bully di sekolah yang akan terus berlanjut hingga akhir hayat. Mereka diperlakukan seperti kriminal yang harus bersembunyi, serta mengalami diskriminasi yang meruntuhkan segala hak dan reputasi. Upaya-upaya diskriminatif semacam ini dengan jelas menunjukan ketidaksetaraan. Tidak sedikit dari mereka yang berakhir depresi dan/atau bunuh diri.

Baca juga:

Membicarakan hak mereka berarti mengakui keberadaan mereka. Visibility adalah hal yang paling krusial sebagai hak individu. Dari keterbukaan tersebut, seseorang diharapkan bisa dengan mudah membuka diri; menyatakan diri atas orientasi seksual tanpa dihakimi atau diperlakukan seperti orang yang berpenyakit menular apalagi kriminal yang harus dihindari. Demikian pula sebaliknya, tidak dibicarakan bukan berarti tidak ada. Tidak dibicarakan bukan berarti tidak berarti.

Orkestra G20 telah berhasil mempertontonkan kolaborasi sosiokultural dengan sukses dan mengartikulasikan isu-isu toleransi dengan lantang. Mari lengkapi dengan membicarakan isu LGBTQ+. Ini belum terlambat. Setidaknya, secara pribadi, saya masih berharap. Harapan yang saya yakin tidak singular, tidak individual, melainkan harapan kolektif. Dan, dum spiro spero, Kawan: selama kita masih bernapas, kita bisa berharap.

Editor: Emma Amelia

Naning Scheid

2 Replies to “Melupakan Queer dalam Pertunjukan Orkestra G20”

  1. Ulasan yang sangat keren, Mme Naning Scheid . Kesetaraan, keberagamaan, inklusivitas memang menjadi topik yang tak mudah didiskusikan dan menantang untuk dituliskan. Salut!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email