Pernah makan belut

Mengimpikan Papan di Tanah Sultan

Gusti Aditya

5 min read

Ketika kaki saya baru menginjak Jakarta, saya langsung punya kawan. Namanya Kuncoro, seorang driver ojek online yang membawa saya dari Pasar Senen menuju Kebayoran Lama.

Perjalanan kami membelah Jakarta memang tidak lama. Namun, tengah malam yang kami lewati dengan singkat itu penuh obrolan dan taburan canda tawa di tengah sepinya jalanan Jakarta. Saya dan Kuncoro menertawakan Yogyakarta dan Jakarta dalam satu kali duduk. Di atas motor Supra Fit yang sudah tidak lagi fit karena bodi motornya akan mbregeli ketika digas kencang. Kuncoro kemudian bertanya, “Katanya di Jogja serbamurah, ya, Mas?”

Saya menjawab dengan gegabah, “Iya, Mas. Di sana segalanya murah.” Kelak, jawaban tersebut membuat saya terbebani. Saya takut, Kuncoro menjadikan Jogja sebagai utopia. Tanah impian bagi dirinya yang pontang-panting dihajar Jakarta. Sampai sekarang pun saya terus kepikiran, apakah benar bahwa di Jogja itu segalanya serbamurah?

Baca juga:

Jelas saya bisa mengiakan dengan lantang lantaran masih ada soto yang bahkan harganya lima ribu rupiah di pelosok Imogiri. Nominal yang sama di Jakarta untuk dua kali ongkos parkir di minimarket. Namun, hati kecil saya tidak bisa berbohong. Di Jogja tidak semuanya murah. Bahkan, ada beberapa hal di sini yang mengancam anak muda Jogja untuk memikul beban yang amat berat ke depannya. Misalnya, kepemilikan tanah dan rumah yang saban hari lonjakan harganya semakin menjadi-jadi.

Ada guyonan legendaris tentang bagaimana cara muda-mudi di Jogja bisa punya rumah. Pertama, orang yang tajir melintir sejak dari kandungan. Kedua, warisan turun-temurun dari keluarga besarnya. Ketiga, undian rumah dari Mirota Kampus; toserba kebanggaan warga Jogja. Mirisnya, Mirota Kampus sudah ganti nama menjadi Manna Kampus. Mereka kini lebih suka bagi-bagi kupon diskon perabotan ketimbang undian rumah.

Rumah di Jogja tidak bisa didapat dari hasil gacha, kecuali kalau kamu anak Sultan. Saya tidak sedang bersatir atau menyindir, memang begitulah fakta yang ada. Sultan dan koleganya memiliki kartu as untuk hidup enak di tanah yang katanya, sih, miliknya.

Baca juga Penis, Maskulinitas, dan Kekuasaan Simbolik

Di Desa Srimulyo, Piyungan, Bantul, PT Yogyakarta Isti Pratama (YIP) mencoba mengembangkan Kawasan Industri Piyungan atau KIP. Wacana ini ditentang oleh lurah setempat, tetapi warga bisa apa saat Sultan sudah mengeluarkan Izin Gubernur DIY No. 143/3440 tentang izin penggunaan tanah desa Srimulyo dan Sitimulyo seluas 100 hektare lebih untuk kawasan industri?

Warga hanya bisa nrimo ing pandum atas apa yang dikehendaki Ngarso Dalem. Kalau ada lomba manusia paling sabar di muka bumi, mungkin warga Yogyakarta akan jadi salah satu kandidat juara—selain warga Korea Utara dan fans Persiba Bantul yang berharap timnya naik ke Liga 2 tanpa bantuan mafia bola.

Sultan pun mengeluarkan Surat Izin Gubernur DIY Nomor 35/IZ/2013 tentang pemanfaatan tanah desa Sinduadi oleh PT Garuda Mitra Sejati (GMS). Tanah desa itu kelak akan menjadi Jogja City Mall. Komisaris utama PT GMS dengan kepemilikan saham 32 miliar adalah adik Sultan, yakni almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto. Tidak cukup itu saja, keluarga Keraton Yogyakarta juga membuka bisnis Jogja Bay yang dikelola oleh PT Taman Wisata Jogja.

Kerabat Sultan sekaligus penguasa yang lain, kali ini dari Kadipaten Pakualaman, seorang pangeran yang menjabat Wakil Gubernur Yogyakarta, juga bersenggolan dengan pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Ia mengklaim memiliki lahan seluas 160 hektare di sana, membentang sepanjang garis pantai dari Congot sampai Glagah. Padahal, area ini dipakai warga untuk bercocok tanam.

Guyonan tentang anak muda Jogja yang ingin punya rumah mesti lahir dari orang yang tajir melintir dan warisan turun temurun itu ada benarnya. Kalau kamu anak, cucu, atau mantunya Sultan, hidup akan lepas dari kesulitan. Tidak usah menunggu menang gacha rumah Mirota Kampus segala.

Saking makmurnya, bahkan mantu Sultan, KPH Notonegoro, pernah melawak sebuah guyonan yang menggelitik tawa saja belum. Cuitan garing di Twitter itu bunyinya begini, “kan gue baru pulang dr pergi ya, terus pas sampe rumah dibukain gerbang aneh bgt rasanya. Kayak ‘oh ini rumah gede banget’. Mana rame banyak orang. Eh ternyata gue tinggal di istana.”

Ketika banyak rumah yang digusur di Jogja demi kepentingan memperindah istana, serta pembangunan tol dan bandara sehingga para muda-mudi di Jogja terancam menjadi tunawisma, seorang pangeran sempat-sempatnya mengeluarkan guyonan garing yang menyinggung masalah hunian. Untuk masalah gap sosial, Jakarta harus mengakui kekalahannya kepada Jogja.

Baca juga Pesantren Monarki

Tanpa disadari, bisnis-bisnis dari pemangku kuasa itulah yang membuat harga tanah dan rumah di Jogja makin menggila. Contohnya, di sekitar NYIA, Temon, Kulonprogo. Desas-desus pembangunan bandara mulai menyebar sekitar tahun 2001 hingga permainan jual beli tanah mulai menggeliat di sana. Dari yang awalnya delapan ribu rupiah per meter persegi, kemudian menjadi dua ratus ribu rupiah per meter persegi di tahun 2011.

Ketika warga setempat digusur bertahap, para broker dan mafia tanah bermain. Bahkan, pada 2018, harga per meter mencapai angka lima juta rupiah. Sultan pun mengimbau agar pemerintah daerah mengontrol harga tanah di sana. Namun, imbauan hanya sekadar imbauan, permainan tetap dijalankan dengan menawan.

Tak ada yang menyangka bahwa tanah yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari pusat kota menjadi ladang bisnis menggiurkan bagi para broker dan mafia tanah. Para konglomerat di luar Jogja memantau, kala ada kesempatan, caplok semua tanah. Pemangku kuasa menjalankan bisnisnya, sedangkan masyarakat lintang pukang menyelamatkan hunian mereka dari berbagai ancaman.

Baca juga Manipulasi Aturan Pertanahan dalam Omnibus Law

Saya membagi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi lima daerah karakteristik eksploitasi kuasa. Utara untuk ladang bisnis laiknya miniatur ibukota, yakni gedung-gedung tinggi seperti apartemen, mal, serta hotel berbintang yang makin banyak ditanam ke tanah dan menyedot air di dalamnya. Timur dan Barat menjadi ladang lezat untuk proyek-proyek infrastruktur untuk menunjang ekonomi. Contoh bandara, tol, dan berbagai akses jaminan sektor ekonomi lainnya.

Bagian Tengah adalah medan romantisasi, tetapi amat miskin kreativitas karena pemerintah provinsi tak ada inovasi cemerlang perihal apapun—paling cemerlang, ya, membangun pagar di Alun-alun Utara yang menghabiskan dana 2,3 miliar rupiah walaupun tidak tahu juga gunanya untuk apa selain tempat menjemur pakaian. Sementara itu, di Selatan terus dibangun hunian, konblok demi konblok, mengubah pohon menjadi beton, menyulap sawah menjadi perumahan mewah.

Di bagian Tengah, yakni Kota Yogyakarta, romantisasi berlebih itu bak senjata makan tuan. Di sini, bikin sebuah tempat dapat embel-embel wisata itu lebih mudah daripada membalik telapak tangan. Asal ada spot foto yang instagrammable, lalu diberi gerbang selamat datang, maka jadilah tempat wisata. Ditambah lagi, maraknya akun-akun romantisasi centang biru yang makin lama makin menjemukan.

Baca juga:

Akun-akun romantisasi itu selalu nyomot konten orang lain dari TikTok, lantas memasukkan sound milik Adhitia Sofyan yang judulnya Sesuatu di Jogja. Kemudian, dibubuhi caption, “Ada yang kangen ke Jogja?” Padahal, Adhitia Sofyan itu sedang satir. Sesuatu yang ia maksud bisa saja klitih tiap malam di Giwangan, orang mabuk ngamuk-ngamuk di Babarsari, atau harga rumah dan tanah yang makin melambung tinggi.

Akun romantisasi itu adalah mbel gedhes paling mbel yang pernah saya lihat. Apa-apa jadi tempat wisata. Tanah di pedesaan yang harusnya harganya masih bisa dijangkau dengan otak, justru menjadi tidak ngotak. Alasannya lebih tidak masuk akal lagi, yakni dekat dengan tempat wisata.

Jogja sudah kelebihan tempat wisata. Tiap kelurahan di Jogja bisa mengklaim punya minimal satu tempat wisata. Jadilah, banyak broker tanah yang beralasan harga tanah di desa jadi mahal karena dekat lokasi wisata. Potensial dan strategis, katanya.

Di Jogja, satu-satunya yang murah barangkali adalah upah minimum. UMR di Jogja bisa dikatakan canda tawa ketimbang disebut upah yang layak. Di Bantul, UMK per tahun 2022 adalah 1,9 juta rupiah. Untuk mengambil KPR, sepertinya pihak terkait bakal berpikir dua kali untuk melangsungkan akad kredit.

Lantas, bagaimana harga tanah di Bantul? Di Banguntapan, teritori di Bantul yang paling dekat dengan pinggiran Kota Jogja, harga bangunan di salah satu situs jual beli rumah sudah menginjak harga 500 juta rupiah untuk tipe 55×75 meter persegi. Bahkan, bisa lebih. Amat jarang yang kurang dari nominal tersebut untuk tipe serupa.

Dengan UMK 1,9 juta rupiah, untuk beli rumah dengan harga 500 juta dengan mencicil setiap bulan, harusnya, sih, bakal lunas ketika tahun sudah berganti sebanyak 21 kali.

Misalnya, mulai mencicil rumah di tahun 2022, maka rumah itu akan lunas di tahun 2043. Entah di tahun 2043 nanti Jogja masih menganut monarki atau sudah jadi anarki, atau malah sudah jadi kekhalifahan. Hitungan kasar itu pun dengan pengecualian, gaji UMK 1,9 juta rupiah itu hanya untuk mencicil rumah, belum termasuk beli-beli keperluan lainnya.

Kalau kalian ingin membikin muda-mudi Jogja ngewel ketakutan, caranya gampang. Tanya saja bagaimana cara mereka bisa punya rumah. Atau, tanya saja, tanah milik orangtua yang kalian tempati itu benar-benar milik pribadi atau malah milik Sultan Ground atau Pakualaman Ground.

Baca juga Hierarki Pekerjaan dan Gengsi Sosial

Kalau bisa ketemu Kuncoro lagi, saya akan merevisi kata-kata saya. Hidup di Jogja tidak selamanya serbamurah. Dalam beberapa sudut pandang, Jakarta tidak buruk-buruk amat.

Yang lebih penting dari itu, bagaimana kabar Kuncoro hari ini, ya? Apakah Jakarta kala malam masih menjadi lelucon menarik untuk ia tertawakan? Jika Kuncoro membaca ini, saya punya lelucon baru, lebih lucu dari Jakarta, lebih gelap dari bayangan hasil cipta bangunan megah yang kami lewati malam-malam di area Distrik Sudirman. Nama guyonan itu adalah Yogyakarta.

Urusan menampung manusia dengan masa depan penuh embun dan samar-samar, Jakarta tidak satu-satunya. Jakarta tidak sendirian; ada Yogyakarta.

 

Editor: Emma Amelia

Gusti Aditya
Gusti Aditya Pernah makan belut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email