Kita hidup di era ketika orang lebih tertarik mempersoalkan hal-hal banal, remeh, dan personal ketimbang masalah yang lebih fundamental.
Lihat saja: komedian yang tertangkap narkoba lebih riuh diperbincangkan ketimbang pejabat negara yang terindikasi menyalahgunakan wewenang; artis yang selingkuh lebih banyak dikomentari ketimbang anak kepala negara yang terindikasi kolusi; pasangan selebritas yang baru diberi momongan jauh lebih menyita frekuensi publik ketimbang isu kerusakan lingkungan.
Kecenderungan orang untuk mengerubungi persoalan-persoalan yang remeh ketimbang yang substansial ini tidak terlepas dari budaya latah di media sosial. Ketika sebuah akun besar menyoroti suatu hal, pengikutnya sontak ikut-ikutan meramaikan. Ketika seorang pesohor, seleb, atau influencer mengomentari satu peristiwa, para pengikutnya yang berjibun bergerombol ikut-ikutan meramaikan. Begitu polanya.
Baca juga: Jarimu Beringas, Fantasimu Norak
Sebenarnya tidak masalah kalau isu yang diramaikan adalah isu sosial, kemasyarakatan, atau kemanusiaan. Namun yang disayangkan, isu yang kebanyakan digembar-gemborkan ini adalah isu-isu personal yang sama sekali tidak ada urusan dengan hajat hidup orang banyak.
Padahal bukan hal yang sulit untuk mengetahui mana isu yang menyangkut kepentingan publik: sejoli yang video ciumannya tersebar luas atau fakta polusi plastik yang kini telah menjadi darurat global? Tentu akal sehat kita akan menjawab yang disebut terakhir, bukan? Menurut Badan Investigasi Lingkungan (EIA), udara yang kita hirup saat ini telah mengandung partikel mikroplastik, begitu juga tanah hingga makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Tapi alih-alih membicarkan hal itu, warganet lebih tertarik membahas serial Layangan Pegat.
Pada awal Januari 2021, 10 dari 13 kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Selatan dihantam banjir. Dengan santai, menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, banjir Kalimantan Selatan disebabkan oleh anomali cuaca dan curah hujan yang tinggi. Itu saja. Tidak ada sedikit pun disinggung bahwa banjir di Kalsel tidak lepas dari faktor alih fungsi lahan. Luar biasa ajaib.
Oke, sah-sah saja menteri LHK mau berkomentar apa. Tapi yang miris buat saya adalah betapa sedikit orang yang mau mempertanyakan dan menggugat pernyataan seorang menteri yang tidak masuk akal tersebut. Tentu saja sedikit jika dibandingkan dengan para pengerumpi sinetron Ikatan Cinta.
Kelatahan dan kesalahan dalam menempatkan prioritas ini juga diperburuk oleh media dan jurnalisme. Alih-alih menjadi subjek alternatif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tak sedikit dari mereka yang malah menjelma Lambe Turah—yang kerjanya cuma mengorek-korek urusan privat masyarakat. Kehidupan Seks Nora Alexandra Dipertanyakan Usai Jerinx Dipenjara. Ternyata Begini Gaya Hubungan Seks Favorit Andhika dan Ussy. Dikabarkan Sudah Hamil, Ini 15 Potret Ria Ricis Mesra teuku Ryan di Acara Ngunduh Mantu – Perutnya Jadi Sorotan. Apakah seperti ini yang disebut jurnalisme?
Memang, kehadiran pemengaruh dan kecenderungan latah masyarakat bisa juga memunyai dampak positif. Sebuah isu tidak populer bisa mendapat perhatian publik ketika ada pesohor yang membicarakannya. Ambil contoh BTS, usai menyampaikan pidato tentang perubahan iklim pada Sidang Umum PBB ke-76, para army (sebutan untuk pada penggemar BTS) jadi lebih peduli dan antusias terhadap masalah lingkungan.
Contoh lain, aksi solidaritas anti-rasisme. Usai mencetak gol, Marcelo, pemain berdarah Brazil yang bermain untuk Real Madrid ini, melakukan selebrasi berlutut sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang George Floyd. Setelah aksi Marcelo di lapangan hijau tadi, kampanye isu Black Lives Matter jadi lebih meluas dan menyentuh lebih banyak kalangan, terutama kaum pecinta sepakbola.
Semua ini tidak luput dari budaya latah yang menjangkiti masyarakat kita. Namun sayang seribu sayang, kenyataannya jauh lebih banyak kemubaziran yang diakibatkan oleh kelatahan sosial ini. Sebab faktanya para pemengaruh, para penggiring isu, para penggerak opini, yang sehari-hari berselancar di media sosial didominasi oleh mereka yang kurang memiliki perhatian terhadap problem-problem sosial.
Bukan. Bukan berarti saya pengin ngatur orang untuk hanya boleh bicara ini dan tidak boleh bicara itu. Siapa saja boleh bicara apa saja. Tapi ketidakmampuan kita dalam membedakan isu-isu yang penting dan kurang penting ini justru bisa jadi petaka di kemudian hari.
Jangan kaget pemenuhan kebutuhan ekonomi sebagian besar penduduk negeri ini ke depan akan semakin sulit lantaran kekayaan alam semakin terkonsentrasi hanya pada sekelompok orang saja. Jangan kaget juga suatu saat seantero republik ini dilanda krisis air bersih lantaran semakin meningkatnya konflik kepentingan ekonomi yang didukung oleh kebijakan yang kurang tepat.
Kurang aneh apa coba, ketika hutan Indonesia terus dibabat untuk industri sawit, stok ketersediaan minyak goreng di masyarakat justru semakin langka. Tapi lihat, berapa banyak orang yang mau bersuara soal ini dibanding mereka yang lebih suka mengikuti drama percintaan Thariq Halilintar dan Fuji? Entahlah, awak juga bingung siapa mereka ini.
Syahdan, bukan mustahil problem-problem yang mesti dipertanggungjawabkan oleh negara dengan lekas dan sigap ini akan terus beranak pinak lantaran kita sendiri yang abai dan cuek-cuek saja.
Alangkah ironi, bukan, bila kesadaran itu baru hadir ketika air sudah di leher.
One Reply to “Latah Sosial, Petaka Global”