Benarkah dalam Islam tidak ada pembagian kelas sosial? Harusnya tidak. Sayangnya, pada beberapa institusi pendidikan Islam di Indonesia terjadi hal seperti itu. Pesantren yang menjadi ujung tombak penanaman ajaran Islam yang saya anggap revolusioner, justru secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan melanggengkan praktik pembagian kelas-kelas sosial. Bagi saya, tentu ini kemunduran.
Nasab dan Nasib
Kemiripan kata nasab dan nasib adalah semacam humor yang lucu sekaligus tragis. Lucu karena memikirkan bagaimana nasib seseorang ditentukan oleh nasab yang ia dapat secara acak. Tragis karena rupanya hal itu lumrah terjadi.
Seseorang dengan garis keturunan yang baik digadang-gadang akan berkehidupan baik. Sebaliknya, anak bramacorah akan digentayangi persepsi “pantas saja nakal, gak jauh-jauh dari bapaknya”. Seolah-olah orang tua adalah jaminan seorang anak, seperti BPKB yang dikandangkan di pegadaian.
Dalam bentuk yang lebih ekstrem, penilaian terhadap kualitas nasab membentuk kelas sosial baru dan membangun sistem kekuasaan yang terus diadopsi hingga kini. Kerajaan-kerajaan pun berdiri, darah mulai dibedakan menjadi merah dan biru.
Di tengah kompleksitas suku-suku Arab, Nabi Muhammad diutus menjadi rasul terakhir untuk membacakan ayat-ayat Allah yang salah satunya berbunyi: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13).
Jika dibaca dengan sungguh-sungguh, ayat ini mengandung revolusi sosial yang nyaring. Tidak ada manusia yang lebih unggul satu dari lainnya dalam hal-hal yang berasal dari luar dirinya, entah itu kekayaan, kemujuran nasab, atau koneksi sosial-politik. Kekuasaan tak mesti dipegang oleh mereka yang punya uang, atau mereka yang lahir dari rahim penguasa sebelumnya, atau mereka yang mendukung para penguasa.
Allah tidak tanggung-tanggung menunjukkan hal itu dengan mewafatkan tiga putra Nabi Muhammad (Qosim, Abdullah, dan Ibrahim) di usia belia. Akibatnya, otomatis tidak ada yang melanjutkan kekuasaan negara dari garis keturunan beliau. Penerus kekuasaan negara adalah para sahabat Nabi Muhammad melalui berbagai mekanisme pembaiatan. Karena itulah saya memandang Islam sebagai agama yang revolusioner.
Baca juga:
Kiamat bagi Pesantren dan Masyarakat
Sekolah mengajarkan saya bahwa Islam bisa menggeser kepercayaan Hindu yang hadir lebih awal di Indonesia karena membawa semangat penghapusan kasta. Artinya, tidak ada kelas sosial dalam masyarakat. Namun, setelah saya keluar dari gedung sekolah, saya perlu mengoreksi lagi pelajaran ini.
Yang terjadi hari ini adalah pesantren-pesantren membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Para kiai menjadi raja-rajanya, zuriah (keluarga) pesantren menjadi keluarga kerajaan, para gus (putra kiai) dan ning (putri kiai) menjadi putra dan putri mahkota. Pesantren-pesantren ini memperluas dan mempertahankan pengaruhnya lewat penggabungan dengan pesantren lain melalui pernikahan antaranak kiai.
Ini mungkin agak kurang ajar untuk diungkapkan oleh seorang santri, tapi biarlah saya ungkapkan saja: selain usaha mempertahankan garis keilmuan hingga menyambung ke Rasulullah, ada semacam obsesi di kalangan pesantren besar untuk mempertahankan garis keturunannya agar tetap priayi. Hal pertama tentang sanad keilmuan jelas wajib hukumnya. Namun, hal yang kedua tak jauh berbeda dengan membangun dinasti politik.
Bahkan, di Jawa ada sebutan khusus untuk mereka yang bukan berasal dari keluarga kiai, tapi kerabatnya menikah dengan zuriah pesantren. Mereka dipanggil Gus/Ning Cangkokan, alias setengah gus, setengah ning. Mereka yang dari keluarga biasa, dan tidak ada kerabatnya yang menikah dengan anak kiai, ya menjadi santri saja, yang berjalan menunduk-nunduk, yang mencium tangan bolak-balik.
Jika sistem seperti ini terus dibiarkan, hanya butuh menunggu waktu untuk entah kapan pesantren akan terasing dari kehidupan masyarakat. Pengagung-agungan nasab akan menjadi kiamat kecil bagi pesantren, dan kiamat besar untuk masyarakat yang menyandarkan hidup kepadanya.
Mungkin kelak, beberapa dekade setelah hari ini, orang-orang di masa depan akan mendefinisikan pesantren sebagai institusi pendidikan yang dijalankan dengan sistem feodalisme dan monarki. Ini bukan nubuat, dan semoga tidak terjadi.
Editor: Prihandini N