Gambar-gambar jelek berbentuk penis sering kita jumpai di dinding-dinding sekolah menengah, baik di tempat parkir ataupun kamar mandi. Bahkan gambar-gambar penis itu sering menjadi objek lelucon untuk mengisi waktu di sela-sela kebosanan. Saya sendiri adalah salah satu siswa yang gemar menggambar penis tersebut. Saya pernah menggambar penis di kaca helm milik para siswa di tempat parkir, dinding kamar mandi, hingga buku paket matematika yang dipinjam dari perpustakaan.
Penis menjadi objek yang segar dalam menghiasi setiap perbincangan anak laki-laki. Penis juga bisa menjadi kebanggaan yang vulgar bagi sebagian orang. Dalam berbagai tangkapan layar yang ada di Twitter, banyak laki-laki yang secara sadar mengirim foto penisnya pada seorang perempuan. Selain itu, banyak juga video masturbasi yang menggunakan foto perempuan sebagai sumber fantasi dan diakhiri dengan ejakulasi di atas layar gawai di mana foto tersebut terpampang—aktivitas ini disebut cumtribute.
Banyak video dari aktivitas ini dijadikan komoditas dan disebarluaskan. Banyak pula perempuan yang meminta agar fotonya di-cumtribute. Jika kita terlalu cepat melakukan penilaian moral secara general, maka kita tidak akan terbuka pada penafsiran lain atas suatu fenomena kecuali pelecehan seksual. Meski secara normatif berbagai aktivitas tadi dapat dianggap sebagai abjeksi—meminjam istilah dari Julia Kristeva—yang mengganggu idealisme dan tatanan moral, namun tentunya hal ini tidak pernah terlepas dari tekanan ideologi kultural.
Kekuatan dan Kekuasaan
Dalam pornografi heteroseksual, kepuasan seksual perempuan direpresentasikan melalui ejakulasi laki-laki—seakan-akan ejakulasi itu menandai kepuasan perempuan. Ejakulasi dari laki-laki menjadi penanda dari berakhirnya aktivitas seksual. Tidak heran jika kebanyakan video porno selalu diakhiri ketika laki-laki mengeluarkan sperma.
Dalam aktivitas seksual heteronormatif, relasi antara laki-laki dengan perempuan ditempatkan secara biner: penis sebagai “pemberi” dan vagina sebagai “penerima”—laki-laki sebagai subjek yang melakukan penetrasi, sedangkan perempuan menjadi objek yang dipenetrasi. Pembedaan aktif-pasif ini selalu mendominasi pemikiran arus utama dalam masyarakat kita. Bahkan interaksi aktif-pasif ini juga terdapat dalam gay, di mana terdapat dua orang laki-laki yang memiliki peran yang berbeda: top dimaknai sebagai maskulinitas atau subjek yang melakukan penetrasi, sedangkan bottom dimaknai sebagai feminitas atau objek yang menerima penetrasi melalui anus.
Kekuasaan penis ini tidak terlepas dari konteks historis maupun teoritisnya. Melalui konsep Oedipus Complex, Freud memperkenalkan istilah penis envy (rasa iri pada penis). Istilah ini merujuk pada anak perempuan yang sadar bahwa dirinya tidak mempunyai penis. Anak perempuan ini mengalami “kekurangan” akibat kebenciannya pada sang ibu yang telah membawanya pada kastrasi penis. Kastrasi penis ini dianggap sebagai wujud dari inferioritas perempuan. Sebagai obat untuk menghilangkan rasa iri tersebut, si anak perempuan mengadopsi peran ibunya dengan mengganti keinginan untuk memiliki penis menjadi keinginan untuk mengandung bayi.
Melalui teori ini, tentu kita menyadari bahwa hasrat adalah hasil dari represi yang muncul ketika hasrat bebas (id) ditekan oleh universalisme moral (superego) hingga memunculkan hasrat yang pantas (ego). Namun, Oedipus Complex ini terlalu heteronormatif karena melegitimasi tatanan patriarki dengan menempatkan “penis” sebagai pusat dari tata norma. Terkait hal ini, gagasan mengenai penis sendiri merupakan bentuk kekuasaan secara implisit.
Melalui investasi simbolik yang melekat pada “penis”, maka gagasan yang terkait dengannya akan menjadi standar normativitas. Melalui standar ini, penis diasosiasikan dengan maskulinitas yang hegemonik. Meskipun pada masa sekarang bentuk maskulinitas lebih beragam—seperti kemunculan maskulinitas soft boy dalam budaya pop Asia sebagai wujud dekonstruksi terhadap pemahaman maskulinitas normatif—namun kriteria maskulinitas tetap terkungkung dalam teritori “kekuatan dan kekuasaan”.
Maskulinitas dan Ras
Hendri Yulius melalui buku C*BUL menulis berbagai analisis menarik mengenai pornografi dan stereotip ras maupun gender. Video porno yang melibatkan aktor berkulit hitam sering diasosiasikan sebagai laki-laki hardcore—dengan kata lain, hipermaskulinitas. Penis besar dan hitam selalu menjadi kunci cerita dalam video porno dengan aktor berkulit hitam ini. Sedangkan dalam kasus lain, pornografi gay lintas ras yang melibatkan orang Asia selalu menempatkan aktor timur sebagai orang yang memiliki peran bottom, sedangkan orang barat sebagai top. Di sini kita bisa mengafirmasi orientalisme Said mengenai relasi timur-barat, meskipun hanya melalui adegan seksual dalam film porno.
Karakter yang kuat dan berkuasa menjadi acuan maskulinitas. Tidak jarang kita mendengar kekerasan simbolik yang dilontarkan oleh orang-orang terhadap aktor-aktor Korea sebagai “manusia bertulang lunak”, yang secara implisit merendahkan bentuk maskulinitas yang tidak sesuai dengan kriteria normatif.
Melalui teori maskulinitas hegemonik, Connell mengungkapkan bahwa maskulinitas memiliki kelas-kelas di mana terdapat kelas yang dominan dan subordinat. Secara umum, kekuatan dan kekuasaan yang sering diasosiasikan sebagai maskulinitas ideal merupakan konstruksi sejarah yang dibangun melalui struktur patriarki. Posisi idealitas maskulin diistimewakan secara kultural dan diafirmasikan secara sosial untuk dilanggengkan dalam struktur historis. Acuan normatif ini dianggap sebagai “kenormalan”, sedangkan berbagai bentuk maskulinitas yang berada di luar standar ini merupakan abjeksi—penyimpangan maskulinitas.
Baca juga:
Kekuasaan ini mengondisikan formasi diskursif pengetahuan mengenai maskulinitas. Kekuatan dan kekuasaan selalu menjadi “wilayah suci” yang diagungkan oleh laki-laki. Jacques Lacan melalui psikoanalisisnya mengungkapkan bahwa manusia memiliki suatu ilusi mengenai keberadaan yang utuh—yang disebut sebagai ego ideal. Tipologi ideal ini beroperasi melalui konsep “kekurangan” dalam diri, sehingga kita selalu mencari pemenuhan atas kekurangan tersebut.
Maskulinitas Ideal
Ketika wacana maskulinitas ideal melanggengkan agenda kekuatan dan kekuasaan—dalam konteks seksualitas—maka kapitalisme menawarkan alternatif bagi pemenuhan tersebut. Merebaknya obat kuat, pembesar penis, tissue magic, dan sebagainya hadir sebagai “titik terang” bagi pemenuhan maskulinitas ideal. Laki-laki yang maskulin diandaikan mampu melakukan hubungan seksual dengan durasi yang sangat lama serta memiliki ukuran penis yang besar. Hal ini merupakan bentuk kekuasaan simbolik dengan mengedepankan dominasi laki-laki dalam aktivitas di ranjang—suatu penilaian general mengenai ketertundukan seksual perempuan yang ditentukan oleh laki-laki.
Sebenarnya fenomena ini telah terjadi sejak jaman dulu. Vitalitas sebagai simbol kekuatan laki-laki telah diriwayatkan dalam Kitab Serat Centhini VII Pupuh Dhandhanggula, bahwa raja-raja Mataram menggunaan ramuan-ramuan herbal sebagai upaya untuk berkuasa di atas ranjang. Kitab ini menjadi acuan bagi rakyat jelata untuk mengikuti kebiasaan dari orang-orang kerajaan dalam aktivitas seksualnya hingga membentuk pola pengetahuan yang mengukuhkan kekuatan laki-laki dalam relasi patriarki.
Melalui habitus patriarki ini, tidak heran jika laki-laki merasa banal dalam membicarakan persoalan terkait seksualitas dan lelucon vulgar yang melibatkan alat kelaminnya sendiri. Sejak awal laki-laki sudah memegang kekuasaan simbolik—hasil dari dominasi simbolik yang dapat memaksa pihak lain untuk menerima serangkaian perangkat ideologis mereka dengan menyembunyikan relasi kekuasaan yang ada. Aktivitas menggambar penis pada meja kelas, dinding kamar mandi, ataupun helm siswa yang ada di tempat parkir merupakan perwujudan kekuasaan dengan menunjukkan alegori vulgar sekaligus menutupinya sebagai bentuk lelucon yang banal.
Sedangkan berbagai fenomena lain—mengirimkan foto penis pada perempuan dan cumtribute—tidak dapat kita nilai secara general sebagai disfungsi kejiwaan yang menyebabkan pelecehan seksual. Aktivitas tersebut adalah suatu bentuk kesenangan imajiner sekaligus bentuk afirmasi diri pada maskulinitas ideal yang sering diasosiasikan dengan “kekuatan dan kekuasaan”. Melaluinya, laki-laki mencoba untuk menguasai objek fantasi, meskipun hanya melalui simbol-simbol. Namun, “keinginan untuk berkuasa” ini juga dipicu oleh ketakutannya terhadap “kekurangan” maskulinitasnya, sehingga aktivitas-aktivitas ini direpresentasikan sebagai wujud dari kekuasaan laki-laki yang dianggap sah. Sistem kekuasaan ini beroperasi melalui ketidaksadaran manusia sehingga kita memilih untuk menyesuaikan diri dengannya.
Editor: Prihandini N