Pandangan Pro-choice tentang Aborsi

Salsabila Fitri

4 min read

Beberapa dekade yang lalu, aborsi hanya dianggap sebagai masalah sosial, tetapi sekarang aborsi juga memiliki konteks politik. Baru-baru ini, Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan Roe V. Wade. Keputusan tersebut mengakhiri hak aborsi bagi perempuan yang sudah ada sejak 1973. Banyak perempuan yang merasa kehilangan hak-haknya. Mereka melakukan protes dengan berdemonstrasi di jalan. Pernahkan terbesit di kepala kalian mengapa banyak individu yang rela berdemonstrasi dan memperjuangkan Roe V. Wade agar tidak dibatalkan? Mereka menginginkan perlindungan untuk melakukan aborsi yang aman, bukan pelarangan atau pembatasan. Mereka percaya bahwa pilihan (choice) untuk melakukan aborsi berada di tangan perempuan. Perempuan punya hak untuk memilih. Apakah kalian pernah mendengar istilah pro-choice? 

Pro-choice vs Pro-life

Aborsi adalah pengakhiran kehamilan dengan mengeluarkan janin atau embrio dari rahim yang mengakibatkan atau disebabkan oleh kematian sang janin. Mencermati topik ini, kita dapat melihat bahwa ada banyak sudut pandang yang berbeda seputar pertanyaan di atas.

Tampaknya ada tiga posisi utama dalam menyikapi masalah aborsi. Pertama, pro-choice (pro-pilihan). Orang-orang pro-choice percaya bahwa hukum tidak boleh membatasi kebebasan memilih bagi ibu, karena semua wanita hamil harus memiliki kesempatan untuk meminta aborsi. Kedua, pro-life (pro-kehidupan). Orang-orang pro-life akan melarang aborsi dalam segala keadaan. Mereka percaya bahwa pemerintah tidak boleh mendorong penghancuran embrio atau janin dan melegalkan aborsi. Ketiga, posisi tengah. Posisi ini ditempati oleh orang-orang yang percaya aborsi hanya diperbolehkan dalam kasus-kasus tertentu, misalnya ketika kehamilan berbahaya bagi kehidupan ibu, kehamilan akibat perkosaan, atau inses).

Perdebatan tentang aborsi antara pro-choice vs pro-life sudah hadir sejak lama dan masih diperdebatkan sampai saat ini. Tulisan ini akan membahas pandangan pro-choice tentang aborsi. 

Realitas tentang Aborsi

Banyak perempuan tetap memilih melakukan aborsi terlepas dari apa yang dinyatakan dalam undang-undang. Terlepas dari apakah aborsi itu legal atau tidak, mereka masih membutuhkan dan secara teratur mengakses layanan aborsi. Guttmacher Institute, lembaga nirlaba kesehatan reproduksi yang berbasis di Amerika Serikat, melakukan penelitian di Indonesia. Hasil estimasi angka tahunan aborsi berdasarkan penelitian ini adalah sebesar 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan. Sedangkan negara-negara yang memperbolehkan aborsi memiliki angka tahunan aborsi 34 per 1.000 perempuan. Secara statistik, perbandingan estimasi angka tahunan aborsi di negara yang melegalkannya dengan yang tidak menunjukkan perbedaan yang sedikit.

Dengan melegalkan aborsi dan menciptakan pelayanan medis yang terlatih serta dilengkapi dengan sanitasi yang baik untuk akses aborsi, maka tindakan aborsi merupakan salah satu pilihan prosedur medis aman yang tersedia. Lain halnya ketika pemerintah membatasi akses untuk melakukan aborsi. Para perempuan terpaksa melakukan aborsi gelap dan tidak aman, terutama mereka yang tidak mampu melakukan perjalanan atau mencari perawatan pribadi. 

Kriminalisasi Aborsi Tidak Menghentikan Aborsi, tetapi Membahayakan Hidup Perempuan

Mencegah perempuan untuk mengakses aborsi tidak akan memberhentikan perempuan untuk melakukan aborsi. Itu sebabnya upaya untuk melarang atau membatasi aborsi tidak akan mengurangi jumlah aborsi. Membatasi dan menghapus akses layanan aborsi yang aman atau membuat aborsi menjadi ilegal hanya akan membuat perempuan mencari dan melakukan aborsi yang tidak aman. Dan tindakan ini justru cenderung berbahaya bagi perempuan itu sendiri. Mengapa hal ini dapat dikatakan membahayakan perempuan?

Indonesia masih menjadi salah satu negara yang melarang aborsi. Namun, terdapat dua kondisi yang mengizinkan aborsi bisa dilakukan. Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aborsi boleh dilakukan jika: pertama, ada indikasi kedaruratan medis. Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, hanya sebagian kecil aborsi yang disebabkan oleh alasan-alasan tersebut, yang berarti mayoritas perempuan yang hidup di negara di bawah undang-undang ini terpaksa harus melakukan aborsi yang tidak aman dan membahayakan kesehatan dan kehidupan mereka.

Berangkat dari sebuah fenomena yang dekat dengan kehidupan saya, seorang perempuan bernama Mawar yang masih berusia 19 tahun harus melakukan keputusan berbahaya atas dirinya sendiri. Semua ini berawal ketika ia menyadari bahwa dirinya hamil di luar ikatan pernikahan setelah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Mengingat sebuah pernikahan sangat dianggap sakral oleh keluarga dan sosial yang berlandaskan norma agama, di mana norma agama melarang adanya hubungan seksual di luar pernikahan, Mawar belum siap menerima semua cemoohan dan makian dari keluarga dan juga sanksi sosial atas perbuatannya. Ia sudah mulai memikirkan untuk menggugurkan janin yang ada di kandungannya. Niatnya diperkuat karena ia beranggapan tidak akan diterima oleh keluarganya yang sangat konservatif, di mana sang ayah merupakan tokoh yang terpandang di lingkungannya. 

Ada faktor lain yang menjadi landasan mengapa Mawar ingin mengaborsi janinnya. Salah satunya faktor ekonomi, ia berpikir tentang bagaimana cara membesarkan anaknya nanti, “AZ aja masih kuliah, belum lulus-lulus. Mau kasih makan anak pakai apa nanti? gak mungkin makan batu kan,” ujar mawar. 

Selain faktor ekonomi, faktor kondisi lingkungan juga menjadi alasan Mawar untuk melakukan aborsi. Ia merasa bahwa AZ berada dalam lingkungan tidak sehat yang tidak memungkinkan untuk membesarkan seorang anak, ia juga merasa pada kondisi seperti ini AZ bukanlah seorang yang bisa diandalkan dan bertanggung jawab sepenuhnya. 

Ketika saya menanyakan apakah kandungan Mawar pernah diperiksakan ke dokter kandungan atau bidan, jawaban Mawar sangat mengagetkan. Ia berkata belum pernah memeriksakan kandungannya. Ia bahkan tidak tahu berapa bulan tepatnya usia kehamilannya itu, yang ia tahu dalam satu bulan pertama ia harus berolahraga, mengangkat beban berat dan menenggak minuman keras agar janin itu segera luruh. Namun, janin itu tetap menempel di dalam rahimnya hingga bulan ketiga dan ia mencari cara lain, yaitu dengan memakai obat-obatan yang dapat dibeli tanpa resep atau minum jamu-jamuan untuk melancarkan menstruasi. 

Jika segala cara yang ia lakukan tidak berhasil, Mawar hanya bisa pasrah terhadap keadaan. Belum lagi ia harus memikirkan dampak kerusakan janinnya ketika lahir nanti, apakah janinnya akan tetap sehat dan lahir sebagai anak yang sehat atau justru sebaliknya, Mawar akan melahirkan anak yang cacat. Dan tentunya Mawar harus menanggung itu selama hidupnya. 

Seandainya pun percobaan aborsi yang dilakukan Mawar berhasil, ia tetap membutuhkan perawatan pascaaborsi. Perawatan pascaaborsi sangat dibutuhkan karena perempuan dapat mengalami komplikasi pascaaborsi yang tidak aman. Aborsi ilegal atau aborsi yang tidak aman sangatlah membahayakan nyawa perempuan. Oleh karena itu, banyak perempuan menuntut akan adanya akses aborsi yang aman. 

Baca juga:

Aborsi yang Aman adalah Hak Asasi Manusia 

Akses untuk layanan aborsi yang aman merupakan hak asasi manusia. Di bawah hukum HAM internasional, setiap orang berhak untuk hidup, punya hak atas akses kesehatan dan hak untuk tidak menjadi sasaran kekerasan, diskriminasi, penyiksaan, atau tindakan merendahkan lainnya. Hukum HAM juga mencakup hak atas otonomi tubuh. Keputusan tentang tubuh seseorang adalah milik mereka.

Memaksa perempuan untuk melakukan kehamilan yang tidak diinginkan atau aborsi yang tidak aman merupakan pelanggaran terhadap hak asasi mereka, termasuk hak atas privasi dan otonomi tubuh. 

Namun, dalam keadaan yang mendesak, banyak perempuan yang tidak punya pilihan selain melakukan aborsi dalam kondisi yang tidak aman. Belum lagi mereka juga masih harus menghadapi penganiayaan dan hukuman, termasuk penjara, dan mungkin menghadapi perlakuan diskriminatif, kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan. Selain itu, banyak perempuan tidak memiliki akses perawatan medis setelah melakukan tindakan aborsi ilegal. Oleh karena itu, akses terhadap aborsi pada dasarnya terkait dengan perlindungan dan kepatuhan terhadap hak asasi perempuan.

Usaha Preventif 

Menurunkan angka aborsi dapat dilakukan dengan menyediakan informasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual. Pendidikan reproduksi dapat memberi pengetahuan tentang bentuk hubungan seksual yang aman dan juga risiko dari hubungan seksual yang tidak aman. Meskipun pendidikan seksual masih menjadi kontroversial, perlu dicatat bahwa permasalahan seksual tidak dapat dipandang sebelah mata.

Angka aborsi dapat ditekan dengan menghindari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Pemerintah harus ikut andil dalam mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengampanyekan pemakaian alat kontrasepsi. Usaha-usaha ini dapat menjamin agar perempuan maupun laki-laki dapat memperoleh informasi yang akurat tentang berbagai jenis alat kontrasepsi dan juga efek samping yang mungkin ditimbulkan dari alat kontrasepsi tersebut. Sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa tingkat aborsi di negara-negara yang memiliki akses kontrasepsi terbatas lebih tinggi.

Tingkat aborsi akan lebih rendah saat individu memiliki akses informasi dan pendidikan reproduksi yang komprehensif, kemudahan akses alat kontrasepsi, dan juga terbukanya akses untuk aborsi yang aman dan legal dengan alasan yang luas.

Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa kehamilan yang tidak diinginkan sangatlah merugikan perempuan. Beban sosial dan psikologis banyak dilimpahkan kepada si perempuan dibandingkan laki-laki. Memang pada dasarnya dalam dunia patriarki perempuanlah yang paling banyak dirugikan dan dikorbankan.

 

Editor: Prihandini N

Salsabila Fitri

One Reply to “Pandangan Pro-choice tentang Aborsi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email