Peneliti di Sajogyo Institute, Bogor

Manipulasi Aturan Pertanahan dalam Omnibus Law

Moh Ali Rahangiar

6 min read

Mengingkari janjinya untuk melayani rakyat, Presiden Joko Widodo malah menjadi pelayan kepentingan pengusaha dengan mendukung, mengesahkan dan memberlakukan Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan nama “Omnibus Law”. Undang-Undang ini memberikan keleluasaan penguasaan tanah oleh segelintir orang atau kelompok tertentu daripada membuka peluang menyejahterahkan masyarakat banyak.

Omnibus Law ini yang kemudian diikuti oleh tiga peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaannya di antaranya mengatur ulang visi politik dan tata kelola pertanahan Indonesia dengan memperkenalkan tiga konsep baru, yaitu Hak Pengelolaan, Bank Tanah, dan Tanah Terlantar yang rancu, tumpang tindih dan memanipulasi visi kesejahteraan umum dalam UUD 1945 maupun UU Pokok Agraria No. 5/1960.

Kerancuan koseptual dan norma

Pertama-tama UU Cipta Kerja memperkenalkan kategori ‘hak pengelolaan’ yang dipahami sebagai ‘hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian diserahkan kepada pemegang haknya’ (Pasal 136 UU Cipta Kerja jo. Pasal 1 PP No. 18/2021).

Salah satu pemegang hak itu, menurut UU Cipta Kerja, adalah lembaga Bank Tanah (Pasal 136-37). Maka UU Cipta Kerja, di samping menciptakan kategori hak baru, telah membentuk suatu lembaga baru pemegang hak yaitu Bank Tanah. Lembaga ini berfungsi ‘melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan distribusi tanah’ dalam rangka menjamin ketersediaan tanah untuk untuk 5 kepentingan: (1) kepentingan umum, (2) kepentingan sosial (3) pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, (4) konsolidasi lahan dan (5) reforma agraria (Pasal 125-126 UU Cipta Kerja).

Ihwal Bank Tanah kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 64/2021 tentang Badan Bank Tanah yang merinci aspek kelembagaan, fungsi dan kewenangan, kinerja, anggaran, serta hubungan lembaga tersebut dengan lembaga pemerintah lainnya. UU Cipta Kerja maupun PP Bank Tanah menciptakan satu fungsi penting bagi lembaga ini, dan kelihatannya untuk alasan inilah lembaga ini diadakan, adalah sebagai lembaga yang menkonsolidasikan sekaligus menampung tanah dari berbagai sumber. Tanah yang berada dalam penguasaan Bank Tanah berstatus asset dengan kategori ‘hak pengelolaan’.

Sementara itu, tanah yang berasal dari penetapan ‘tanah dan kawasan terlantar’ kemudian diatur sebagai salah satu asset yang dikuasai dan dikelola Bank Tanah sebagaimana diatur PP No. 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar (PP Kawasan dan Tanah Terlantar). Menurut PP Kawasan dan Tanah Terlantar, tanah dan/atau kawasan yang tidak dikelola dan dirawat dalam jangka waktu tertentu akan ditetapkan sebagai tanah atau kawasan terlantar, dan setelah melalui beberapa tahapan administrasi, pengaturan dan pengelolaannya antara lain diserahkan kepada Bank Tanah.

PP tersebut mendefinisikan kawasan terlantar sebagai ‘kawasan non-kawasan hutan yang belum dilekati hak atas tanah yang telah memiliki izin/konsesi/perizinan berusaha, yang sengaja tidak dimanfaatkan’. Sementara tanah terlantar didefinisikan sebagai ‘tanah hak, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak diperlihara’.

Untuk kepentingan konsolidasi dan penguasaan tanah oleh Bank Tanah, PP Bank Tanah, PP Kawasan dan Tanah Terlantar, dan PP Hak Pengelolaan didesain sedemikian rupa sehingga terhubung, baik secara kelembagaan, resource absorption, alokasi dan pendayagunaan asset berikut tujuannya. Intinya, pengaturan kembali politik agraria melalui UU Cipta Kerja menempatkan Bank Tanah sebagai semacam lembaga sentral dalam pelaksanaan kebijakan agraria nasional — meliputi perencanaan, perolehan, hingga distribusi tanah (Pasal 3 PP No. 64/2021). Agar sampai pada pengaturan demikian, maka konsep hukumnya perlu dibuat agar ‘seolah-olah’ mendukung atau setidaknya-setidaknya tampak logis secara normatif.

UU Cipta Kerja kemudian mengadopsi ‘hak pengelolaan’ yang secara konseptual diandaikan sejalan dengan atau menyerupai konsep politik hukum ‘hak menguasai negara’ yang diatur dalam UUPA maupun Pasal 33 UUD 1945. UU Cipta Kerja mendefinisikan ‘hak pengelolaan’ sebagai ‘hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian diserahkan kepada pemegang haknya’ (Pasal 136).

Hak pengelolaan diberikan kepada beberapa kategori subjek hukum yang disebutkan dalam Pasal 137 ayat (1) UU Cipta Kerja, yaitu ‘(1) instansi pemerintah pusat; (2) instansi pemerintah daerah; (3) badan bank tanah; (4) BUMN/BUMND; dan (5) badan hukum yang ditunjuk pemerintah pusat.

Melalui hak pengelolaan, lembaga atau subjek hukum tersebut diberi kewenangan untuk ‘(1) menyusun rencana peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan; (2) menggunakan atau memanfaatkan baik sendiri maupun melalui kerja sama pihak ketiga; (3) menentukan tarif dan menerima uang pemasukan dari pihak ketiga (Pasal 137 ayat 2).

Pemberian hak pengelolaan kepada instansi pemerintah dilakukan melalui ‘keputusan pemberian hak di atas tanah negara’ (Pasal 137). Sedangkan kepada pihak ketiga (swasta) diberikan melalui ‘perjanjian pemanfaatan tanah’ sehingga yang bersangkutan dapat mengurus hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai untuk memanfaatkan tanah tersebut (Pasal 138).

Dengan konstruksi hukum seperti itu, seseorang dapat mengatakan bahwa pemerintah bermaksud mengatur agar jenis hak-hak atas tanah lainnya dapat ditumpuk di atas hak pengelolaan atas tanah. Atau, kita dapat memikirkan bahwa pemerintah telah menjadikan ‘hak pengelolaan’ sebagai suatu kategori generik baru di bawah ‘hak menguasai negara’ (HMN) agar jenis hak-hak lainnya dapat dicantolkan pada atau diandaikan berasal dari hak pengelolaan

Konstruksi hukum semacam itu, menurut para pakar hukum, rancu secara filosofis karena asas dan tujuan pembentukannya tidak jelas antara lain karena hak pengelolaan tidak dikenal dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Jika diletakkan dalam penafsiran historis, pada dasarnya UUPA adalah suatu panduan politik hukum dan kebijakan agraria nasional. Sementara hak pengelolaan tidak dikenal dalam nomenklatur hak atas tanah yang dianut UUPA.

PP No. 18/2021 yang mengatur lebih lanjut mengenai Hak Pengelolaan, menyebutkan beberapa kategori penting, di antaranya adalah ‘tanah negara’. Menurut PP tersebut, tanah negara adalah ‘tanah yang dikuasai langsung oleh negara’ yang tidak dilekati suatu hak atas tanah tertentu yang meliputi seluruh bidang tanah di Indonesia (Pasal 1 dan 2). Dengan kata lain, semua tanah di Indonesia adalah tanah negara kecuali tanah yang telah dilekati hak tertentu atas tanah. Pasal 4 PP 18/2021 kemudian menyebutkan bahwa ‘hak pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat’. Untuk hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat, menurut Pasal 6 PP 18/2021, ‘ditetapkan kepada masyarakat hukum adat’.

Jelaslah bagi kita di mana letak kerancuan normatif akibat pengaturan ugal-ugalan semacam ini. Di satu sisi, hak pengelolaan dikonstruksi sebagai kategori umum, satu tingkat di bawah HMN—sebagaimana dikehendaki UU Cipta Kerja. Di sisi lain, hak pengelolaan juga dikonstruksi sebagai suatu jenis hak atas tanah, setara dengan hak milik, hak guna usaha, hak pakai dan hak guna bangunan—sebagaimana diatur PP 18/2021. Dalam kaitannya dengan tanah ulayat, pengaturan seperti ini menegaskan pengingkaran tanah ulayat dalam konsepsi hak menguasai negara ketika berbicara tentang hubungan antara negara dengan tanah yang melahirkan tiga entitas tanah, yakni tanah negara, tanah ulayat dan tanah hak.

Memang hak pengelolaan dikenal dalam praktek dan diadopsi dalam beberapa peraturan perundang-undangan di luar UUPA, tetapi pengertian dan fungsinya berdimensi publik sehingga pengaturan yang memasukkan fungsi privat (perdata) terhadapnya serta perluasan fungsinya untuk menampung HGU sebagaimana diatur UU Cipta Kerja adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA .

Manipulasi visi kesejahteraan umum

Menempatkan hak pengelolaan di bawah HMN merupakan suatu pengaturan yang tidak memiliki dasar teoritis, normatif, mapun politis. Secara historis, HMN pada dasarnya adalah suatu proyek politik-hukum dengan visi mendekolonialisasi konsep kepemilikan langsung oleh negara melalui domein verklaring yang dianut Agrarische Besluit 1870 yang menyebabkan ketidakadilan agraria hingga 1945. Prototipe HMN adalah hak ulayat yang diangkat ke tingkat nasional atau ada yang menyebutnya hak ulayat yang dinasionalkan yang menurut para penyusun UUPA, hidup di dalam masyarakat Indonesia sebagai model penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan bersama. Konsep ini dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945:

  • Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep penguasaan yang demikian kemudian melahirkan tiga mandat bagi pemerintah dalam pengelolaan sumber-sumber agraria, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA, yaitu (1) mengatur dan menyelenggarakan alokasi dan pemeliharaan (2) mengatur hubungan hukum antara orang dengan sumber-sumber agraria dan (3) mengatur hubungan hukum antar sesama subjek hukum dan perbuatan hukum terhadap sumber-sumber agraria. Karena tiga mandat tersebut secara literal mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ahli hukum agraria Budi Harsono (2008: 232) kemudian menyebutnya sebagai ‘interpretasi otentik’ terhadap Pasal 33 UUD 1945. Baik Pasal 33 UUD 1945 maupun penjelasan UUPA telah memberi batasan dalam penggelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria melalui konsep menguasai Negara, yaitu diupayakan untuk mencapai ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.

Sampai di sini satu pertanyaan segera terpikirkan: apa itu kemakmuran rakyat, atau, apa yang dimaksud dengan ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ dalam konstitusi maupun UUPA? Suatu ekplorasi lebih serius diperlukan untuk menjawab pertanyaan itu, dan tulisan ini tidak dibuat dengan maksud semacam itu. Meski begitu, data historis dapat membantu kita untuk mengusahakan suatu jawaban sementara ke arah itu. Setelah rancangan UUPA diserahkan kepada DPR-GR untuk dibahas, Bung Karno dalam pidato ‘Jalannya Revolusi Kita’ pada peringatan 17 Agustus 1960 menegaskan:

‘Semangat ‘foreseeing-ahead’, (semangat ‘telah melihat lebih dahulu’) tercermin pula dalam keputusan D.P.A. dan Kabinet mengenai Landreform. D.P.A. telah mengusulkan kepada Pemerintah tentang ‘Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah’, ‘agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat’.

Dalam pidato yang sama, Bung Karno menegaskan, ‘tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang kaki menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!’ (Sukarno ibid). Setidaknya ada dua subjek yang disebutkan dalam pidato itu yang perlu kita garis bawahi: ‘tani’ atau ‘rakyat jelata’, dan ‘mereka yang duduk ongkang-ongkang kaki menjadi gendut-gemuk’.

Dua kategori itu mewakili dua kelas dalam mayoritas rakyat Indonesia. Tentu saja Bung Karno menyebut dua kategori itu dengan suatu kesadaran sejarah dan politik bahwa penguasaan sumber-sumber agraria melalui hak menguasai negara adalah suatu inisiatif untuk mendekontruksi struktur ketimpangan agraria yang menyebabkan ketimpangan kemakmuran selama hampir satu abad di bawa pemerintahan kolonial.

Kontras dengan visi kesejahteraan umum seperti itu, politik agraria yang diintroduksi UU Cipta Kerja maupun tiga aturan pelaksananya (PP Bank Tanah, PP Tanah Terlantar dan PP Hak Pengelolaan) justru sama sekali tidak menjanjikan pencapaian seperti ideal-ideal dibayangkan. Dua petunjuk berikut ini menginformasikan kita mengenai kontradiksi tersebut.

Pertama, UU Cipta Kerja tidak dibuat untuk melayani kepentingan rakyat kebanyakan. Rationale UU Cipta adalah mendatangkan, mempermudah, dan mengamankan investasi. Dalam suatu forum kerja sama ekonomi Asia-Pasifik (OPEC) pada November 2020, Presiden Jokowi memamerkan keunggulan UU Cipta Kerja kepada para CEO dalam pertemuan tersebut, yaitu jaminan kemudahan perizinan dan keamanan investasi. Pamernya Presiden dalam forum itu sebetulnya merupakan hal ‘wajar’ mengingat rancangan UU ini pada mulanya dipromosikan oleh sekelompok pengusaha tambang yang sebagian di antara mereka merangkap pejabat negara dan anggota parlemen untuk kepentingan kemudahan perizinan usaha dan investasi yang masih saling mengkait dengan kepentingan bisnis mereka.

Kedua, PP Bank Tanah maupun PP Tanah Terlantar memang mengakomodir program reforma agraria. Tetapi program ini ditempatkan di urutan paling terakhir setelah kepentingan ‘sosial’, ‘pembangunan nasional’, ‘pemerataan ekonomi’, dan ‘konsolidasi lahan’ (lihat pasal 16 PP No. 64/2021). Lagi pula, reforma agraria yang dimaksud dalam PP tersebut tentu saja harus sebangun dengan kerangka pasar dan investasi sebagaimana visi umum UU Cipta Kerja.

Dengan demikian, beralasan untuk menyebut pengaturan politik-hukum agraria melalui UU Cipta Kerja, pengadaan lembaga Bank Tanah, serta kaitannya dengan hak pengelolaan dan pengaturan tanah terlantar, sebagai suatu upaya manipulasi terhadap visi ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’ dalam UUD 1945 maupun UUPA.

Moh Ali Rahangiar
Ali Rahangiar Peneliti di Sajogyo Institute, Bogor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email