“Jangan pernah malu dengan pekerjaanmu karena gengsi tidak akan memberimu makan. Malulah ketika kamu terus mengeluh tanpa mau berbuat.”
Tulisan yang terpampang di belakang badan truk tersebut memiliki pesan yang mendalam. Seolah-olah pemilik truk mengingatkan kepada semua pengendara yang ada di belakangnya untuk percaya diri dengan jenis pekerjaannya masing-masing. Sekiranya memang benar bahwa ada banyak orang yang membutuhkan motivasi untuk sekadar melakoni pekerjaannya, semata-mata agar mereka bisa percaya diri. Hal ini seolah menegaskan bahwa di luar sana banyak sekali orang yang malu dengan pekerjaan yang notabene menjadi sumber penghasilan utama untuk menyambung kehidupannya.
Pekerjaan selalu berhubungan dengan stratifikasi sosial. Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa fenomena “penurunan” status sosial individu akibat perubahan pekerjaannya. Apalagi media arus utama sering mengonstruksikan sekaligus melegitimasi jenis pekerjaan berdasarkan kelas-kelasnya. Juliandi Tigor Simanjuntak, mantan pegawai KPK yang dipecat oleh Firli Bahuri mendadak ramai diperbincangkan setelah dirinya memutuskan untuk berjualan nasi goreng. Anang Ma’ruf, seorang mantan pemain sepak bola yang pernah menyumbangkan medali perunggu bagi Indonesia pada ASEAN Games 1999 disorot oleh media-media kawakan karena dirinya kini menjadi supir ojek online; atau Fachri Firmansyah yang beralih dari pemain sepak bola kenamaan menjadi seorang satpam maupun kuli panggul. Mungkin bagi mereka yang mengalami hal itu sudah mulai menerima pada jenis pekerjaannya tersebut karena tuntutan ekonomi demi menyambung hidup. Namun tentunya publik akan menilai bahwa nasib mereka itu sungguh ironis.
Seorang mahasiswa yang kuliah sambil melakukan pekerjaan sampingan sebagai supir ojek online tentu akan mendapatkan apresiasi dari orang-orang. Namun seseorang yang telah lulus dari kuliahnya akan merasa malu ketika mereka harus memutuskan bekerja sebagai supir ojek online untuk tetap mendapatkan penghasilan. Mereka yang merasa gengsi atas pekerjaan utamanya hanyalah efek dari adanya tekanan sosial. Di sini tekanan sosial mengharuskan seseorang untuk bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki “kelas sosial tinggi” untuk mendapatkan status sosial tertentu dalam stratifikasi masyarakat. Status sosial ini memungkinkan seseorang untuk terus eksis secara bermartabat dalam pandangan sosial.
Di sini pekerjaan bukan hanya menjadi sarana untuk mendapatkan penghasilan, namun juga untuk menaiki atau bahkan mempertahankan strata sosial yang tinggi. Kesuksesan dalam pekerjaan selalu dihubungkan dengan jenis-jenis pekerjaan tertentu: menjadi sekretaris di perusahaan akan lebih terhormat dari pengusaha bakso di kampung; menjadi pegawai bank akan lebih berkelas dari buruh pabrik; menjadi pemain sepak bola jauh lebih terkenal dari pemain sepak takraw; menjadi guru di sekolahan lebih dihormati dari seorang tukang bangunan. Konstruksi yang demikian telah mengakar jauh ke alam pikiran masyarakat. Apalagi dengan adanya dikotomi berupa klasifikasi pekerjaan berdasarkan “otak” dan “otot”, seolah-olah dalam pekerjaan yang dominan menggunakan otak tidak memerlukan otot, pun sebaliknya. Jenis pekerjaan “otak” berada pada hierarki sosial pekerjaan tertinggi, sedangkan pekerjaan “otot” berada pada titik terendah dalam hierarki.
Kekacauan pikiran kita mengenai konstruksi sosial tentang status pekerjaan inilah yang menghasilkan tekanan sosial secara tidak sadar hingga akhirnya melahirkan suatu gengsi sosial. Gengsi sendiri muncul karena adanya konsep yang mapan mengenai status sosial.
Perburuan Status Sosial
Satu-satunya harapan bagi mereka yang telah melakoni jenis pekerjaan yang dianggap “rendahan” adalah mencoba melakukan upaya untuk terus eksis dalam strata sosial—khususnya bagi anak muda urban lulusan sarjana di perkotaan yang tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan ataupun dinilai “berkelas”. Ketika perasaan malu dan inferior muncul akibat jenis pekerjaannya yang tidak berada pada puncak hierarki sosial, seseorang akan membeli status sosial melalui “nilai tanda” yang ada pada objek-objek konsumsi, misalnya fashion, jenis makanan, maupun sepatu kekinian sebagai bagian dari gaya hidup yang bisa ditunjukkan kepada publik melalui media sosialnya. Jika pada awalnya status sosial diperoleh melalui karya atau prestasi (achieved status), pemberian orang lain (assigned status), dan keturunan biologis (ascribed status), maka kini status dapat dibeli dengan mudah melalui pasar-pasar ekonomis.
Baca juga: Sekrup-Sekrup yang Terasing dan Depresi
Seseorang bisa saja gengsi terhadap jenis pekerjaannya, namun tentu mereka merasa perlu untuk menunjukkan gaya hidupnya sebagai bagian dari kaum urban yang modern. Seseorang bukan lagi membeli obyek-obyek konsumsi sesuai kebutuhan, namun mereka membeli simbol dan status yang melekat pada obyek-obyek tersebut. Dalam pandangan Baudrillard, kalangan muda urban ini memiliki akses yang cukup baik untuk “membeli” gaya hidup. Fenomena konsumsi ini telah menjadi kegairahan dan ekstase dalam permainan gaya hidup ketimbang memikirkan kegunaan dari suatu objek konsumsi yang dibelinya tersebut.
Di tengah keputusasaan seseorang akibat kegagalannya dalam menaiki strata sosial melalui jenis pekerjaan yang “berkelas”, satu-satunya kebahagiaan yang dapat dicapainya adalah melalui kebutuhan untuk mengonsumsi citra dan tanda yang ada pada objek konsumsi dan budaya. Gilles Deleuze dan Felix Guattari mengistilahkan “perasaan kurang” ini sebagai mesin hasrat, yaitu suatu mesin dalam diri manusia untuk selalu merasa kurang dan mereproduksi kebutuhan-kebutuhan yang artifisial.
Kebebasan mengonsumsi ini bukan untuk dinikmati secara pribadi, namun perlu adanya afirmasi sosial mengenai posisinya sebagai bagian dari kaum urban yang kekinian. Erving Goffman melalui dramaturgi-nya menjelaskan bahwa penampilan diri seseorang dalam kehidupan sosial mirip dengan penampilan pementasan artis drama di atas panggung. Seseorang selalu merepresentasikan dirinya kepada sosial untuk menaruh kesan yang baik—tentunya kesan yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Seseorang mampu menampilkan citra dirinya melalui representasi yang ditunjukkan pada orang lain dengan beragam simbol yang dikenakan sebagai tanda dari status sosialnya.
Dalam kehidupan sosial memang ada semacam idealisasi yang mapan bahwa “nilai tanda” pada suatu objek konsumsi dapat menunjukkan status sosial seseorang. Namun seseorang merasa perlu mempertahankan adanya “jarak sosial” dengan audiens (publik/massa/sosial) agar rasa inferioritasnya pada jenis pekerjaan yang dilakoninya tidak memiliki efek yang dominan pada status sosialnya yang telah mapan. Dengan begitu, seseorang mampu merekayasakan sebuah performa dirinya sebagai upaya defensif dari perasaan inferior akibat konstruksi dari hierarki sosial pekerjaan.
Pada dasarnya, kategori-kategori pekerjaan muncul akibat konstuksi sosial yang telah berlangsung lama secara historis. Pekerjaan bukan hanya dilihat dari segi ekonominya saja, namun juga status pekerjaan tersebut: apakah itu jenis pekerjaan yang berada di posisi teratas atau terbawah dari hierarki sosial pekerjaan. Adanya tipe-tipe ideal dan kemapanan jenis pekerjaan yang lekat dengan posisi sosial tertentu menghasilkan tekanan sosial yang cukup berdampak pada keengganan seseorang dalam melakoni jenis pekerjaan yang dianggap “rendahan”, meskipun dia sedang dalam kesulitan ekonomi sekalipun.
Namun tidak jarang pula seseorang telah sanggup melakukan pekerjaan yang tidak diinginkannya ataupun dianggap “rendahan” secara sosial, namun merasa perlu untuk menggiring dirinya ke arah konsumerisme: suatu upaya untuk melawan perasaan inferior melalui pembelian status sosial yang dipaksakan.