Diskusi tentang meme seolah tidak ada habisnya. Kukuh Basuki pernah mengulas tentang seluk-beluk meme dalam tulisannya, Hidup di Kolam Meme. Umum dikenal sebagai medium humor, meme lantas digunakan oleh para jomlo untuk menyalurkan kengenesan mereka seperti yang diceritakan oleh Kevin Alfirdaus dalam Menertawakan Hidup dengan Meme. Tussie Ayu menjelaskan fungsi lain meme sebagai ekspresi kritis dalam Menyindir dan Menggugat lewat Meme.
Namun, penggunaan meme sebagai sarana menyalurkan ekspresi kritis ternyata memiliki sisi problematik. Dengan membedah aspek hipperealitas dan fenomena semiotika yang lekat pada meme, serta meme sebagai budaya massa, kita akan dibuat mempertanyakan kembali ekspektasi kita terhadap ekspresi kritis yang disampaikan melalui meme.
Hiperrealitas
Internet, media sosial, dan smartphone menciptakan dunia tanpa sekat yang ramai dengan percampuran budaya. Dunia tanpa sekat ini mengukuhkan sebuah sistem sosial yang menciptakan ketergantungan, serta mengontrol berbagai elemen subsosial, tak terkecuali meme. Dengan kata lain, sistem sosial ini sebegitu berpengaruh hingga membentuk meme yang merongrong kita semua.
Meme bisa membentuk ilusi kebenaran dan kesadaran. Pendirian seseorang belum tentu ia peroleh dari orisinalitas pikiran dan pengalaman, melainkan dari kumpulan meme yang membentuk endapan kesadaran dalam pikiran sehingga ia pahami sebagai suatu kebenaran dan kesadaran.
Dalam skala besar, ilusi kebenaran dan kesadaran yang terbentuk dari meme ini menjadi serupa simulasi. Kita hidup sebagai bagian dari masyarakat yang ada di dalam simulasi meme ini dengan memperagakan tiruan keadaan sesungguhnya. Fenomena inilah yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai hiperrealitas atau melampaui realitas.
Baca juga:
Semiotika
Meme terkadang menampilkan bentuk-bentuk semiotik. Menurut Alex Sobur, bentuk-bentuk semiotik adalah tanda yang maknanya merujuk pada benda lain.
Charles Pierce mengklasifikasikan pemaknaan bentuk-bentuk semiotik dalam kategori icon, index, dan symbol. Sebagai icon, makna bentuk semiotik menandakan persamaan dan kemiripan. Contohnya, monumen sebagai tanda kemegahan suatu kota. Sebagai index, makna bentuk semiotik menandakan hubungan sebab-akibat dan keterikatan. Misalnya, banjir sebagai tanda abainya pemerintah terhadap sistem drainase suatu wilayah. Sebagai symbol, makna bentuk semiotik menandakan konvensi atau kesepakatan sosial seperti zebra cross tanda tempat menyeberang jalan.
Makna tanda pada meme, khususnya yang dipakai dalam konteks humor, dapat bersifat hipersemiotik. Artinya, tanda pada meme telah keluar dari batas prinsip, sifat alami, dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian informasi. Dengan kata lain, meme telah kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Contoh meme hipersemiotik adalah penggunaan istilah begal yang tidak lagi hanya merujuk pada pelaku kejahatan perampokan yang berdarah-darah, tetapi juga begal kaus kaki dan begal payudara. Penggunaan istilah begal pada frasa begal kaus kaki dan begal payudara meninggalkan kesan bahwa pelaku kejahatan yang tidak berdarah-darah pun sama kejinya dengan begal dalam makna aslinya.
Selain hipersemiotik, ada pula fenomena skizofrenia pada kajian semiotika terhadap meme. Menurut Jacques Lacan, skizofrenia di sini berarti putusnya rangkaian pertandaan yang bertautan membentuk satu ungkapan atau makna.
Fredric Jameson punya penjelasan yang lebih sederhana perihal skizofrenia dalam kajian semiotika, yakni serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lain sehingga pesan di baliknya sulit dipahami. Meme yang mengalami skizofrenia semiotik akan sulit dimengerti maksudnya oleh pemerhatinya.
Baca juga:
Budaya Massa
Meme adalah budaya massa, yakni budaya yang diproduksi dan disebarkan untuk khalayak umum sehingga pada perkembangannya ia menjadi suatu industri tersendiri. Bahasan tentang industrialisasi meme mengingatkan pada pemikiran Émile Durkheim tentang masyarakat industrial. Menurut Durkheim, masyarakat industrial mengalami anomi, yakni runtuhnya standar dan nilai yang semula berlaku di masyarakat, serta ketiadaan tujuan kehidupan bermasyarakat yang jelas.
Dalam kondisi anomi, individu akan sulit unjuk diri dengan pantas di ranah publik karena tidak ada pedoman berperilaku yang pasti. Alhasil, individu rawan menjadi sasaran pembunuhan karakter oleh lingkungan sekitarnya. Ironisnya, meme adalah salah satu tersangka pembunuhan karakter berkat kemampuannya membangun ilusi kebenaran dan kesadaran pada diri orang-orang. Misalnya, adanya meme yang memperparah stereotip dan diskriminasi rasial.
Contoh lain pengaruh problematik meme pada individu dan masyarakat anomi adalah fenomena slacktivism atau aktivisme lewat media sosial seperti menaikkan tagar atau membuat petisi daring. Slactivism efektif memengaruhi banyak orang untuk bersimpati terhadap suatu isu. Namun, luasnya pengaruh slacktivism ini kerap tidak dibarengi dengan usaha lebih untuk memberi edukasi yang komplit perihal suatu isu. Alhasil, tidak jarang perilaku slactivist cenderung terlalu menyederhanakan permasalahan yang kompleks.
Baca juga:
Meme ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, meme dapat menjadi hiburan bagi orang-orang yang badan dan pikirannya lelah setelah berkutat dengan roda kehidupan. Di sisi lain, meme justru mengecoh orang-orang agar membenarkan pemikiran maupun perilaku yang sejatinya problematik.
Editor: Emma Amelia