Childfree dan Kesadaran Hak Kesehatan Seksual

Nadia H

2 min read

Beberapa hari ini publik ramai membahas tentang childfree. Berawal dari pernyataan yang dikemukakan gitasav, seorang selebgram dan influencer melalui akun Instagramnya yang menyatakan bahwa dia dan pasangan memutuskan untuk childfree. Pernyataan tersebut menuai pro dan kontra dari netizen indonesia. Bahkan tidak sedikit yang menghujat gitasav atas pilihan yang dia ambil untuk childfree.

Apa itu Childfree?

Childfree adalah sebuah keputusan untuk tidak memiliki anak, baik anak kandung, anak tiri ataupun anak angkat. Istilah ini muncul di akhir abad 20. Ada banyak alasan seseorang memutuskan untuk childfree, di antaranya adalah ketidaksiapan menjadi orangtua, masalah finansial, trauma masa kecil, pertimbangan pengasuhan anak di masa depan, atau bahkan ada juga yang memutuskan childfree tanpa alasan.

Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul Childlessness in the United States menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an. Meskipun demikian, childfree di Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga ketika ada seorang influencer yang secara sadar menyatakan bahwa dirinya memutuskan childfree, langsung menjadi perdebatan yang cukup ramai.

Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi 

Yang menarik adalah mengapa pernyataan childfree yang merupakan keputusan personal gitasav ini bisa memancing keriuhan publik bahkan jadi pembahasan di banyak platform?

Salah satu penyebabnya adalah karena minimnya kesadaran bahwa sesungguhnya perempuan punya hak reproduksi atas dirinya. Punya anak atau tidak punya anak adalah pilihan yang bisa dipilih oleh perempuan dewasa yang sudah menikah atau aktif secara seksual.

Hal ini tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia mengatur perihal Hak Wanita salah satunya tentang jaminan hak reproduksi wanita. Pasal 49 ayat (3) menyebutkan:“Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”

Undang-undang juga mengakui bahwa setiap orang memiliki hak-hak reproduksi, sebagaimana diatur dalam pasal 72 UU Kesehatan. Hak reproduksi merupakan bagian hak asasi manusia dan dijamin oleh undang-undang. Ada empat cakupa hak reproduksi. Pertama adalah hak untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Kedua, hak menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Ketiga, hak menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. Keempat, hak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Minimnya kesadaran perempuan akan hak yang dimiliki mereka dalam menentukan keputusan reproduksinya menyebabkan banyak yang beranggapan melahirkan dan menjadi ibu adalah fitrah sebagai perempuan dan bukan merupakan sebuah pilihan. Bahkan tidak sedikit yang merasa dirinya tidak sempurna jika belum menjadi seorang ibu. Hal ini tidak lepas dari pengaruh budaya patriarki karena kita tinggal dan dibesarkan di negara dan lingkungan yang patriarki serta penuh tuntutan untuk perempuan yang kemudian membentuk cara kita berfikir, bersikap dan mengambil keputusan.

Ketika seorang perempuan memutuskan untuk menikah tidak pada usia muda atau tidak menikah, akan ada banyak pertanyaan dari masyarakat. Perempuan dituntut untuk memberikan penjelasan atas pilihan yang dia ambil. Padahal perempuan tidak berhutang penjelasan pada masyarakat untuk setiap keputusan yang diambil. Demikian pula ketika ada seseorang yang memutuskan untuk childfree, respon masyarakat yang muncul adalah mempertanyakan alasannya serta tidak sedikit yang diakhiri dengan penghakiman.

Setiap perempuan berhak memutuskan apakah dia mau menikah atau tidak mau menikah, apakah dia tidak ingin memiliki anak, atau memiliki anak baik itu anak kandung ataupun anak angkat. Apa pun keputusan itu tidak sedikit pun mengurangi kesempurnaannya sebagai perempuan.

Nadia H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email