Tulisan Kukuh Basuki, Hidup di Kolam Meme, dan Tussie Ayu, Menyindir dan Menggugat lewat Meme, telah memberi gambaran tentang apa itu meme, bagaimana pengaruh meme pada kebudayaan, dan kekuatan meme untuk jadi alat menyampaikan kritik. Namun, dua tulisan tersebut belum menyinggung soal andil meme dalam kehidupan personal penikmatnya, misalnya pada kasus patah hati.
Momen patah hati memang menyedihkan, tetapi sesungguhnya juga bisa lucu. Adanya medium humor seperti meme menginspirasi orang-orang untuk menertawakan momen patah hati mereka. Tidak ada jaminan patah hati bisa sembuh total hanya dengan meme. Namun, setidaknya, meme dapat melipur kesedihan orang-orang yang sedang patah hati.
Jessica Myrick, seorang profesor Kajian Media di Penn State University, meneliti tentang bagaimana meme sebagai pesan media dapat memengaruhi psikis seseorang di masa pandemi. Hasil percobaan dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa meme internet merangsang emosi positif pada diri partisipan percobaan. Meme membuat mereka merasa sangat terhibur dan lebih tenang ketika dihadapkan pada berbagai persoalan hidup di dunia yang terus mengalami perubahan.
Temuan penelitian tersebut barangkali juga relevan dengan persoalan patah hati. Sebagai gambaran, di dunia yang serba tidak pasti, si dia pergi dan kita terpaksa harus merelakannya sekalipun mesti menanggung sakit hati. Semangat hidup kita pun menjadi kian redup seiring dengan perasaan patah hati yang berlarut-larut. Di situasi seperti ini, memproduksi dan mengonsumsi meme bisa membantu kita merawat semangat hidup. Meme yang diproduksi dan dikonsumsi dalam konteks serupa—dalam hal ini, patah hati—menyatukan kita dengan orang-orang yang sedang dihadapkan pada persoalan hidup yang mirip pula dengan persoalan hidup kita.
Sepengamatan saya, meme internet mulai marak di Indonesia sekitar tahun 2013. Di era itu, meme yang hit banyak terinspirasi oleh ribut-ribut public figure seperti Arya Wiguna vs Eyang Subur dan Adu Ring Tinju Jokowi vs Prabowo. Meskipun begitu, meme pengalaman personal ketika sakit hati juga tidak kalah laris, misalnya guyonan tentang jomlo khas Raditya Dika. Komedian satu ini kerap menertawakan kejomloannya melalui stand-up comedy dan cuitan random di akun Twitter pribadinya. Raditya Dika berhasil meramu pengalaman ngenes-nya sebagai jomlo dalam berbagai meme yang mampu memenangkan persaingan di kolam meme era itu hingga menjadi kultur dan wacana publik tersendiri. Meskipun begitu, meme jomlo ala Raditya Dika tetaplah lekang zaman. Pergeseran nilai di masyarakat membuat guyonan tentang jomlo yang mengarah ke sentimen body shaming dan homofobia mulai ditinggalkan.
Keunikan yang Melahirkan Budaya
Saya sepakat dengan Tussie Ayu bahwa Meme adalah media yang kritis dan tidak hanya sekadar humor. Ia mudah diproduksi dan direproduksi untuk mengubah suatu keadaan. Kukuh Basuki telah menjelaskan pembahasan di buku The Selfish Gene tentang peran meme dalam transisi kebiasaan yang sebagian besar tercipta dari keunikan manusia yang dapat diringkas dalam satu kata, yakni “budaya” (culture). Pewarisan budaya pada hakikatnya bersifat dinamis. Keunikan spesies kita dalam melahirkan budaya baru itulah yang memungkinkan terjadinya evolusi budaya. Contoh evolusi budaya dalam buku The Selfish Gene meliputi gaya berpakaian (fashion), perbedaan preferensi rasa antar generasi pada kuliner, adat-istiadat, seni, teknologi—singkatnya, semua hal yang berkembang dalam lintasan sejarah.
Meme dapat memuat gagasan, cerita, pernyataan, bahkan satire dan sindiran. Dalam tinjauan yang lebih serius, akan terkuak bagaimana meme menciptakan pengaruh dan menjadi imitasi. Kemudian, meme akan berkembang biak menjadi meme-meme yang lebih baru. Meme yang memiliki gagasan bagus atau mewakili apa yang dirasakan oleh banyak orang tidak hanya akan menyebar pada otaknya sendiri, melainkan menyebar dari otak ke otak.
Penyebaran meme dari otak ke otak menjadi sangat masif dengan adanya media sosial. Tidak perlu usaha ekstra untuk bisa memahami dan merasa related dengan meme yang dibagikan oleh teman maupun orang yang sama sekali asing di internet. Saya bisa tertawa ngakak melihat meme seorang bocah yang typo dalam menulis status Facebook sehingga terbaca kalimat-kalimat ajaib seperti “memandang cinta melalui fisika” dan “melihat samsat di pantai”. Kemudian, yang tidak kalah membikin ngakak, kalimat caption berbunyi “dari sini kita belajar” pada unggahan yang memuat visual serba-serbi kehidupan masyarakat di akun Instagram @jakarta.keras.
Di lingkar sosial yang lebih dekat, saya punya beberapa teman yang setiap hari hanya mengunggah meme gambar di story WhatsApp dan selalu membalas dengan meme teks “nggak dulu” untuk menolak ajakan orang-orang. Meme gambar yang mereka unggah sangat bervariasi, mulai dari bocah yang salah menghadap kiblat di masjid hingga bocah yang telentang di jalanan saat hujan deras. Kabar baiknya, beberapa teman terlihat jauh lebih semangat dalam menjalani hidup setelah diselamatkan oleh sebuah meme dari momen-momen patah hati paling kacau.
Ada lagi teman saya yang memakai meme secara on another level alias sangat totalitas. Teman saya ini menjadikan keseluruhan profil Instagramnya sebagai meme yang konteksnya senada. Akun Instagramnya punya nama pengguna @loner__stramp dan foto profil karakter Obito Uchiha dari anime Naruto yang digambarkan sebagai pengembara kesepian yang berwatak bucin dan setia. Kombinasi nama pengguna dan foto profil itu menjadi meme yang menunjukkan penerimaan si pemilik akun terhadap nasibnya sebagai orang paling kesepian.
Baca juga:
Meme tidak memberikan harapan, melainkan membuat kita menertawakannya untuk mengobati persoalan hidup supaya kita tidak jatuh terlalu dalam pada penderitaan. Saat kita membagikan meme yang terasa related dengan hidup kita, itu artinya kita sudah berdamai dengan diri sendiri atau masa lalu.
Tak apa menyelipkan humor pada kondisi seserius patah hati sebagai cara untuk memaknai kebahagiaan dan kesedihan dengan utuh. Dari medium humor yang bernama meme itu, seseorang dapat menghargai hal-hal kecil pada momen ketika hidup sedang kacau-kacaunya dan tetap melanjutkan hidup.
Editor: Emma Amelia