Acara doa bersama sekaligus mengenang Tragedi Mei ’98 yang diadakan di Gedung Boen Hian Tong pada 12 Mei lalu, mengambil tema “Melawan Kekerasan Seksual Melalui Ritual Rujak Pare Sambal Kecombrang”. Dalam acara itu, saya mendengarkan Harjanto Halim, Ketua Boen Hian Tong, bercerita tentang filosofi mendalam ritual rujak pare sambal kecombrang sebagai pengingat tragedi kelam itu.
“Ritual rujak pare sambal kecombrang ini adalah sebuah upaya untuk melawan lupa Tragedi Mei ’98. Ada pun makna dari rujak pare sendiri adalah kepahitan. Pare itu rasanya pahit, meski begitu kita harus memakannya. Demikian pula dengan tragedi pahit Mei ’98, kita harus menerima dan mengakuinya. Sementara, bunga kecombrang merupakan simbol dari perempuan yang diperkosa dan dianiaya, di atas cobek dan dibikin sambal.”
Mengenang yang Dilenyapkan
Kehadiran saya pada acara itu bermula ketika teman saya mengirim pesan WhatsApp berisi undangan doa bersama untuk mengenang Ita Martadinata. Sebelumnya, saya tidak mengenal sosok perempuan itu. Namun, kami ingin hadir untuk mendoakannya.
Setelah mendapat penjelasan singkat dari teman saya, dan juga tambahan informasi dari berbagai sumber, saya jadi tahu siapa sosok Ita Martadinata. Saya mengaguminya setelah tahu siapa dia.
Ita Martadinata meninggal 24 tahun lalu di tengah kecamuk gerakan reformasi. Ita adalah perempuan yang cerdas dan pemberani. Ia pejuang HAM. Ita menjadi bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) pada tahun 1998. Namun sayang, Ita yang cemerlang dilenyapkan oleh penguasa dengan sangat tragis.
Dari Rembang, saya memutuskan berangkat ke Semarang untuk hadir dalam acara tersebut. Bermodalkan bondo nekat dan Google Maps, saya sampai di Gedung Rasa Dharma (Boen Hian Tong). Tepat pukul 18.30 WIB, acara dimulai. Pita hitam terlebih dahulu diikatkan kepada seluruh peserta yang hadir. Kemudian, acara dilanjutkan dengan doa di altar leluhur. Baru selanjutnya digelar ritual rujak pare sambal kecombrang.
Dalam acara tersebut, ada beberapa narasumber yang hadir, seperti Ita Fatia Nadia (eks ketua Kalyanamitra, sebuah organisasi perempuan tertua yang menangani kekerasan terhadap perempuan), Satyawati Mashudi (Komisioner Komnas Perempuan), Suhu Sien Shi, dan Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko (LBH Apik Semarang)
Harjanto Halim mengatakan bahwa kegiatan semacam ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2018. Tahun ini adalah tahun ke-5 pihaknya mengadakan acara mengenang Tragedi Mei ’98 dengan ritual makan rujak pare dan sambal kecombrang.
“Kali pertama kami mengadakan ritual rujak pare sambal kecombrang pada tahun 2018. Saya masih ingat betul waktu itu acara diadakan pada hari Minggu, 13 Mei 2018, jam 09.00 WIB. Jadi, kali ini adalah tahun ke-5 kami mengadakannya kembali,” ungkap Harjanto Halim.
Krisis Kemanusiaan Mei ’98
Bulan Mei begitu kelam, penuh kekejaman, sekaligus bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan itu, berlapis-lapis peristiwa mencekam terjadi. Dari krisis ekonomi, sosial, politik, hingga krisis kemanusiaan.
“Pada tahun 1998, saya adalah ketua organisasi perempuan tertua, Kalyanamitra. Waktu itu, kami seluruh LSM menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi, bersama-sama menggulingkan Orde Baru. 1998 adalah tahun yang sangat berat bagi gerakan pro demokrasi,” ungkap Ita Fatia Nadia.
Baca juga:
Ita Fatia Nadia mengenang seperti apa krisis kemanusiaan terjadi saat itu. Pada awal 1998, terdapat peristiwa pemerkosaan anak usia 9 tahun di Medan. Setelah itu, peristiwa pemerkosaan terjadi di mana-mana. Pada 12 Mei sore, misalnya, Ita Fatia Nadia mendapat telepon bahwa terjadi penganiayaan 5 perempuan muda dan ibu-ibu keturunan Tionghoa di Glodok. Pada malam harinya, ia kembali mendapat telepon jika terjadi pemerkosaan di Jembatan Lima, Jakarta Barat.
“Pada tanggal 13 Mei, teman saya, Pak Sandy, mengajak diskusi. ‘Mari bikin sesuatu,’ katanya. Alhasil, waktu itu juga, kami membuat tim relawan kemanusiaan terhadap kekerasan perempuan. Saya didapuk menjadi koordinatornya. Pada saat itu, kami mendapat telepon bertubi-tubi, terjadi pemerkosaan massal di mana-mana,” jelasnya.
Wanita yang sekarang tinggal di Yogyakarta itu menceritakan kisah tragis Fransiska, anak seorang peternak babi di Tangerang, yang diperkosa bersama mama dan adiknya hingga meninggal akibat pendarahan. Sampai saat ini, ayah Fransiska depresi dan menjadi gila.
Ita Fatia Nadia juga mengisahkan bagaimana detik-detik meninggalnya Ita Martadinata. Menurutnya, Ita Martadinata dibunuh sehari menjelang keberangkatannya ke markas PBB di New York. Kala itu, Ita akan memberikan kesaksian terhadap kasus pemerkosaan dan pembunuhan saat Kerusuhan Mei 1998.
“Sebelum Ita Mardinata meninggal, Suhu Wiwin, ibu Ita Mardinata, datang ke kantor. Kami berdiskusi bagaimana cara membawa kasus ini ke PBB. Namun, tepat pada tanggal 9 Oktober 1998, saya mendapat kabar bahwa Ita sudah dibunuh. Lehernya disayat, terbuka, dan hampir putus,” ungkapnya.
Tanggung Jawab Bangsa
Bagi Ita Fatia Nadia, pembunuhan Ita Mardinata adalah pembunuhan politik. Ketika itu, Ita akan membawa kasus pemerkosaan massal yang terjadi di Indonesia ke pengadilan internasional.
“Pembunuhan Ita dan Fransiska adalah PR bangsa. Ini bukan soal Tionghoa, melainkan masalah kemanusiaan, masalah bangsa Indonesia. Pemerkosaan massal tidak hanya terjadi pada tahun 98, tapi terjadi juga pada 63, 65, di Bandung, Aceh, Timor, dan banyak wilayah di Indonesia.”
Di akhir cerita, Ita Fatia Nadia berpesan agar tidak boleh ada yang mengatakan “sing wis yowis”. Menurutnya, tragedi kelam semacam itu harus kita ingat terus menerus agar menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia.
“Mari kita upayakan tragedi kelam Mei ’98 menjadi kolektif memori, bukan ecek-ecek, yang menjadi tanggung jawab bangsa. Kita harus membuka perkosaan massal sebagai sebuah ingatan, narasi memori, untuk menjadi gerakan sosial. Tragedi Mei ’98 adalah genosida, pembunuhan integritas diri manusia perempuan, bukan hanya kekerasan. Sampai saat ini, tidak ada klarifikasi sejarah. Mari mulai semua ini dengan gerakan sosial.”
Editor: Prihandini N