Mulai dari kesamaan fisik dan latar belakang, sampai kesamaan situasi kehidupan kedua zaman, sangat menarik melihat kembali cerita Petruk hingga zaman edan dalam pewayangan, kemudian membandingkannya dengan situasi pemerintahan Jokowi saat ini.
Perbedaan ketika Jokowi terpilih untuk pertama kalinya sebagai presiden, dengan periode kedua masa jabatannya saat ini begitu terlihat. Keadaannya jungkir balik. Jokowi yang awalnya dielu-elukan dan dianggap juru selamat, perlahan malah menjadi penguasa yang dipertanyakan legitimasinya, ia juga menjadi bagian dari apa yang kerap diprotes rakyatnya sendiri.
Jadi Raja
Seno Gumira Ajidarma pernah menulis pada kolom politik berjudul “Petruk Jadi Raja” yang termuat dalam buku kumpulannya berjudul Jokowi, Sangkuni, dan Machiavelli (2016). Tulisan Seno itu menceritakan kisah wayang yang dibawakan dalang Ki Manteb Sudarsono. “Petruk Jadi Raja” secara garis besar menceritakan tentang Jamus (jimat) Kalimasada yang diberikan kepada Petruk, setelah sebelumnya dicuri oleh Dewi Mustakaweni dan direbut lagi oleh anak Arjuna. Petruk menggunakan jimat itu untuk menjadi penguasa dengan gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Naiknya Petruk sebagai raja dianggap mengakhiri lingkaran krisis yang tercipta setelah hilangnya Jamus Kalimasada dari tangan Yudhistira—suatu tanda hilangnya legitimasi.
Cerita ini menjadi penting sebab ada kesamaan antara Jokowi dengan Petruk. Secara fisik, Jokowi bertubuh kurus dan tinggi, ia cocok dengan deskripsi Petruk. Jokowi juga berasal dari kalangan rakyat, dulu ia adalah pengusaha mebel. Jokowi dianggap representasi rakyat kecil. Ia dipercaya untuk mengambil alih kekuasaan sekaligus mengakhiri “krisis kreativitas” dalam pemerintahan. Kita tak boleh lupa bahwa Petruk adalah seorang punakawan—lembaga kritik feodal representasi rakyat dan bagian dari golongan terbawah, sekaligus juga dewa yang sakti.
Seiring waktu berjalan, citra dan legitimasi Jokowi tersebut kian hari kian tergerus. Belakangan, kita sering medengar ribut-ribut wacana Jokowi tiga periode—kepada publik, Jokowi menyanggah hal tersebut—yang menghasilkan berbagai demonstrasi. Tidak hanya sebagai protes atas wacana politik, tetapi juga atas situasi negara yang serba penuh ketidakpuasan. Provokasi-provokasi yang ingin menurunkan Jokowi dari kursi kepresidenan pun sering terdengar.
Baca juga:
Ganti Ratu
Kini yang terjadi tidak lagi “Petruk Jadi Raja” atau dalam bahasa Jawanya “Petruk Dadi Ratu”, tetapi sudah bergeser menjadi—yang jika saya kutip seperti judul esai Triyanto Triwikromo—”Ganti Ratu”. Tulisan yang termuat dalam buku kumpulan esai berjudul Nggragas! (2021) itu membahas mengenai zaman edan atau Kaliyuga, suatu masa ketika rakyat hidup sengsara dan pajak sangat tinggi. Masa itu adalah masanya raja-raja gampang tumbang, yang didahului oleh pemberontakan dan usaha merebut kekuasaan raja.
Gerakan pemberontakan itu biasa disebut sebagai Gerakan Ratu Adil—suatu indikasi gerakan suci dari para oposan karena Ratu Adil dianggap sebagai juru selamat. Triyanto yang mengutip Ong Hok Ham menyebutkan, dari tahun 1830 hingga masa pergerakan nasional, hampir tak ada tahun yang lewat tanpa timbul gerakan Ratu Adil di Jawa, dan ini bukan hal yang aneh. Akan tetapi, Gerakan Ratu Adil ini tidak selalu berhasil karena masih ada raja yang memiliki wahyu kedhaton (legitimasi raja dari Tuhan) sejati. Raja seperti ini memerintah dan berkehendak sesuai dengan keinginan Tuhan
Menarik untuk melihat bagaimana Triyanto mengakhiri esainya itu dengan suatu pertanyaan dan juga jawaban:
“Kita yang hidup di masa pasca ratu, apakah masih sibuk mempercakapkan pergantian ratu? Ternyata masih. Apakah sang ratu akan tergantikan?
Tak perlu menjawab pertanyaan itu dengan buru-buru. Jika saat ini kita memang hidup dalam zaman edan atau Kaliyuga, kita berhak untuk mengusulkan pergantian ratu. Jika kita ternyata berada dalam kehidupan yang adil makmur atau sedang ikhtiar menuju masa keemasan, maka mengganti ratu hanyalah tindakan yang ceroboh. Kecerobohan itu justru bisa menghancurkan bangsa. Dalam konteks masa lalu, kecerobohan itu bisa menghancurkan keraton dan wahyu kedhaton. Bisa menghancurkan apa pun…”
Namun, sekiranya masa sekarang pun Gerakan Ratu Adil itu memang tampak tidak diperlukan. Seperti kata Ong Hok Ham dalam Wahyu dalam Sejarah Raja-Raja Jawa (1976), gerakan ini dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi kelompok masyarakat atau pribadi tertentu. Adanya saluran-saluran baru untuk menyampaikan ketidakpuasan pada pemerintah di era pergerakan nasional, membuat gerakan ini semakin sedikit. Maka dari itu, yang kita temukan sekarang adalah demonstrasi-demonstrasi alih-alih gerakan pemberontakan—suatu hal yang barangkali perlu kita syukuri meskipun masalah-masalah yang ada belum selesai.
Baca juga:
Ratu Adil sebagai Individu dan Sistem
Sekali pun Ratu Adil dan pemberontakannya sudah tidak ada lagi, bukan berarti sudah hilang sama sekali. Kuntowijoyo dalam Krisis Kebudayaan: Kesenjangan Antara Kesadaran dan Perilaku berusaha mengingatkan kita bahwa Ratu Adil yang seharusnya kita percayai bukanlah orang, melainkan sistem. Anggapan bahwa Ratu Adil adalah orang, hanya akan menunjukkan bahwa sejarah kita mundur seperti di masa lalu. Bagi Kuntowijoyo, Ratu Adil yang menjelma menjadi sistem adalah perwujudan dari sistem demokrasi, clean government, dan rule of law seperti yang dikehendaki oleh gerakan Reformasi. Hal-hal seperti pemilu yang luber jurdil, konstitusi, dan hukum diharapkan membawa sistem yang adil.
Petruk sendiri, walaupun ia dianggap sebagai individu yang mengakhiri krisis, nyatanya ia tidak mampu memerintah dengan baik dengan kekonyolan-kekonyolan yang ia lakukan.
Maka sebenarnya, alih-alih menyebut Ratu Adil baik sebagai individu atau sistem saja, nyatanya keduanya bersifat komplementer. Ratu Adil dibutuhkan secara individu sebagai menjadi jalan pembuka untuk menegakkan sistem yang bobrok. Sistem yang baik akan memberi jalan juga bagi orang-orang “Ratu Adil” selanjutnya. Naiknya Petruk sebagai raja memang berhasil mengatasi krisis untuk sementara, tetapi ia tidak memperbaiki sistem.
Anggapan bahwa Ratu Adil adalah orang, hanya akan berujung pada kultus individu yang terlalu menyederhanakan berbagai masalah, seakan-akan masalah bisa diselesaikan oleh satu orang. Sedangkan menganggap bahwa Ratu Adil hanyalah sistem, akan mereduksi bahwa sistem seakan sesuatu yang berdiri sendiri, bukan suatu hal yang diciptakan oleh berbagai tangan.
Seseorang dapat memperbaiki sistem, dan sistem dapat memberi jalan bagi orang-orang yang bijak seperti Ratu adil agar dapat menjadi penguasa. Zaman edan memang bukan hal yang benar-benar akan hilang. Kesengsaraan rakyat baik pada zaman dulu hingga zaman sekarang masih seperti siklus yang berputar. Namun, selama sosok penguasa yang teguh pada kebenaran tetap ada, dan sistem yang akan diperbaikinya dapat terus bertahan, harapan akan hal-hal baik bagi negeri ini tetap akan ada. Ditambah lagi dengan sikap kritis kita sebagai rakyat.
Belum terlihatnya keberhasilan Jokowi dalam memperbaiki sistem (yang berulang-ulang kali disebut dikendalikan oleh oligarki menurut berbagai pengamat) adalah tanda bagi kita bahwa “ganti ratu” tidak dapat selesai hanya dengan ganti penguasa, tetapi juga dengan memperbaiki sistem.
Editor: Prihandini N