Salah seorang kawan saya mengutarakan keinginannya untuk hijrah ke Suriah. Ia ingin bergabung dengan sebuah komunitas yang menyebut dirinya sebagai Islamic State (IS). Ketika ditanya apa yang membuatnya begitu berani memasuki wilayah konflik tersebut, dia hanya menjawab singkat, “Karena ingin mengamalkan hadis Rasulullah saw.”
Kemunculan IS ini tentu saja sangat penting untuk kita siasati. Kita perlu melihat, membaca, dan menganalisis mengapa kelompok seperti ini muncul. Apakah kemunculan IS murni karena faktor agama? Atau dipengaruhi oleh kepentingan politik sebagian kelompok untuk merebut kekuasaan dengan mengatasnamakan agama?
Orang-orang yang mengenal kelompok Islamic State, atau lebih populer dengan sebutan ISIS, pasti tahu bahwa mereka sangat aktif mempromosikan agenda dan kegiatannya. Mereka menyebarkan doktrinnya lewat YouTube, Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya untuk merekrut mujahid baru.
Unggahan mereka bermacam-macam. Mulai dari video indahnya berada di bawah naungan khilafah, hingga menjanjikan 72 bidadari di surga bagi pengikutnya. Tidak sedikit penelitian menyatakan banyak orang hilang dan ikut bergabung bersama IS setelah mendengar khotbah dan ceramahnya di media sosial.
Hadis menjadi salah satu senjata andalan IS dan kaum jihadis sejenisnya untuk melakukan kaderisasi dan mencari mangsa baru. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, disebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata, “Akan ada hijrah setelah hijrah. Orang-orang terbaik di muka bumi adalah mereka yang tinggal di tempat hijrah Nabi Ibrahim (Syam).”
Menguji Kebenaran Hadis
IS menggunakan hadis Nabi tentang hijrah ke Syam sebagai basis teologis untuk mengajak umat Islam di seluruh penjuru dunia pindah ke wilayah kekuasaannya. Tidak sedikit orang terpengaruh propaganda mereka karena salah paham dan keliru memahami hadis Nabi.
Meski pada dasarnya hadis memang sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, perlu diingat bahwa memahami hadis tidak boleh sembarangan. Mesti dipahami pula ilmu musthalah hadis, takhrij hadis, ilmu sanad, kritik hadis, dan metode pemahaman hadis.
Setiap informasi yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, atau pun persetujuannya harus diuji terlebih dahulu kebenaran dan keabsahannya dengan menggunakan ilmu takhrij hadis, kritik sanad, serta matan hadis.
Setelah diketahui kebenaran informasinya, dan dapat dipastikan bahwa hadis itu memang benar dari Rasulullah, langkah selanjutya adalah memahaminya berdasarkan metode pemahaman hadis. Belum tentu hadis sahih mesti diamalkan, karena faktanya tidak semua hadis mengandung unsur syariat, di dalamnya juga terdapat unsur budaya, politik, dan gambaran realitas sosial masa Nabi Muhammad.
Baca juga:
Sebagian besar hadis yang digunakan IS adalah hadis-hadis yang berisi ramalan Nabi Muhammad tentang masa depan. Hadis semacam ini diistilahkan dengan “hadis futuristik”. Melalui hadis futuristik ini, IS ingin menunjukkan kepada semua orang, khususnya umat Islam, bahwa mereka adalah representasi dari kelompok akhir zaman yang sering disebut Nabi di dalam hadis. Mereka mengeklaim dirinya sebagai kaum terasing (ghuraba) yang diprediksi Nabi Muhammad akan muncul pada akhir zaman dan itulah kelompok terbaik.
Perlu diketahui, dalam pandangan IS, hijrah dan jihad adalah dua ajaran yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jihad tidak mungkin terlaksana tanpa melakukan hijrah. Ideolog IS mengatakan, “Tiada hidup tanpa jihad dan tiada jihad tanpa hijrah.”
Untuk menarik perhatian dan mencari simpatisan serta mujahid baru, IS mewacanakan kewajiban jihad bagi setiap orang. Mereka juga sudah menyiapkan ladangnya untuk orang yang ingin berjihad. Saking tegasnya kewajiban jihad, menurut IS, orang yang tidak terlintas sedikit pun niat hijrah di dalam hatinya, mereka layak disebut munafik. Istilah munafik ini sering kali disematkan kepada individu atau pun kelompok yang tidak mau mengikuti jalan dakwah IS.
Propaganda jihad yang disebarkan IS ini merujuk pada hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan.”
Berdasarkan hadis ini, IS mengeklaim orang yang semasa hidupnya tidak pernah berjihad atau minimal niat jihad, maka dia mati dalam keadaan munafik. Mereka disamakan dengan orang munafik, karena tipikal munafik adalah selalu menghindar dari jihad.
Secara umum, hadis di atas hukumnya sahih menurut mayoritas ulama, apalagi diriwayatkan oleh Muslim Ibn Hajjaj, al-Baihaqi, dan ulama hadis senior lainnya. Kendati demikian, hadis riwayat Muslim ini tidak dapat dipahami secara tekstual dan literal. Supaya mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap hadis di atas, perlu dilakukan penelusuran terhadap latar belakang atau konteks sabda Nabi itu. Sebab, tidak semua hadis sahih berlaku umum, dapat diterapkan pada semua kondisi, dan harus diamalkan oleh setiap orang.
Jihad Tak Sekadar Perang
Ibn Mubarak misalnya berkata, hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ini tidak berlaku umum dan hanya boleh diterapkan pada situasi perang. Memahaminya secara mentah-mentah, tanpa kritis, dan mengamalkannya pada situasi damai adalah sebuah kekeliruan.
Pada masa perang, jihad identik dengan kualitas keimanan seseorang. Sehingga sangat wajar bila orang yang tidak mau berjihad, atau tidak terlintas dalam hatinya sedikit pun niat jihad, dikategorikan sebagai orang munafik.
Kalau kita telisik dalam literatur fikih, jihad tidak selalu identik dengan perang. Makna jihad sebenarnya lebih luas dan tidak sesempit pemahaman IS. Perang hanyalah salah satu bagian terkecil dari jihad, dan hanya boleh digunakan pada kondisi darurat dan untuk membela diri. Bahkan, sebagian mengatakan bahwa perang hanyalah sebatas instrumen jihad (wasilah), bukan tujuan jihad (ghayah). Jihad adalah bersungguh-sungguh dalam menyiarkan agama Islam, mengajarkan ilmu syariat, melindungi warga sipil, menebar kebaikan dan perdamaian.
Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menjelaskan bahwa jihad tidak mesti dengan angkat senjata atau perang. Mengajarkan ilmu agama dan menyelesaikan permasalahan masyarakat juga termasuk bagian dari jihad. Bahkan, dalam pandangan sebagian para ulama, ikut serta dalam menyejahterakan masyarakat, seperti membantu pembayaran gaji dokter, harga obat, dan membayar gaji pegawai yang belum dibayar gajinya, juga dapat dikategorikan sebagai jihad.
Jihad di Tengah Kedamaian
jihad tanpa berperang lebih tepat diamalkan pada situasi masyarakat damai seperti saat sekarang ini. Di beberapa negara misalnya, hubungan umat beragama sudah mulai membaik. Muslim dan umat agama lain dapat bergaul satu sama lain tanpa mempermasalahkan agama, dan mereka juga mampu melakukan kerja-kerja sosial meskipun berbeda agama. Pada situasi ini, memahami jihad sebatas perang justru akan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan anti kekerasan.
Oleh sebab itu, hadis-hadis jihad yang identik dengan perperangan seharusnya dipahami berdasarkan konteksnya. Kebanyakan hadis perperangan lahir dalam situasi konflik antara muslim dan nonmuslim. Memahami Islam haruslah komprehensif. Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis yang berbicara mengenai perperangan, dan pada saat bersamaan ada pula yang menganjurkan perdamaian.
Keduanya mesti diterapkan berdasarkan konteksnya. Dalam hal ini, ayat tentang perperangan diterapkan saat perang, dan ayat tentang damai diterapkan pada saat damai, bukan sebaliknya.
Editor: Prihandini N