Yang pasti, waktu itu tak ada yang menyangka kalau kobaran api akan terlihat menjilat-jilat di salah satu bilik suara. Hal itu pertama kali disadari oleh seorang perempuan yang ada di bilik sebelahku. Dia lantas meloncat seraya menjerit ketakutan—membuat geger seluruh isi Tempat Pemungutan Suara.
Sebelum kejadian itu, beberapa jam yang sebelumnya aku masih asyik mengumpulkan sampah-sampah yang berserak di halaman depan rumahku. Dengan mengenakan kaus putih polos yang kerahnya sudah belel, serta sarung yang di bagian pinggangnya kukencangkan dengan sabuk kulit agar tidak mudah melorot, aku menyapu apa saja yang bertebaran di halaman: daun kering yang berjatuhan, buah mangga bekas dimakan codot yang akan segera membusuk dan dikerubungi lalat, hingga sampah puntungan rokok bekas adikku.
Setelah berusaha memasukkannya ke dalam serokan yang terbuat dari kaleng biskuit bekas lebaran, sampah-sampah itu akan kutumpuk di satu sisi halaman yang agak jauh dari rumah. Seperti kata pepatah, tumpuk, tumpuk, dan tumpuk, lama-lama menjadi gunung. Kemudian, dengan semprotan burung yang telah kuisi dengan bensin, akan kusemprot tumpukkan itu secukupnya. Kuambil salah satu daun kering, lalu kusulut dengan sebuah korek gas. Ketika nyala api mulai memantik di ujung daun kering itu, kulempar daun itu ke arah tumpukan. Dan, voyla! Api lantas berkobar, dan memancarkan hawa panas.
Biasanya, sambil menyaksikan api melakukan tugasnya, ada suatu rasa girang yang memenuhi dadaku. Rasanya seperti ada parade drumband yang membawakan mars Perindo di dalam dadaku.
“Marilah seluruh rakyat Indonesia.
Arahkan pandanganmu ke depan …”
Aku pun mulai mengambil jarak aman dengan menepi di bangku panjang yang berada di bawah pohon mangga, ketika api makin membesar, dan hawa panasnya terasa menampar bolak-balik wajahku.
Kegiatan ini rutin kulakukan ketika hari libur tiba, semenjak bapakku sudah tak ada. Bapakku adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Meski, sekali dua kali dia suka membersihkan halaman ini di akhir pekan, baru di masa pensiunnya dia benar-benar mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengurus halaman ini. Bapak yang sehari-hari bekerja di kantor, mengerjakan pekerjaan yang berbeda seratus delapan puluh derajat di halaman ini. Dia menanam pohon pisang, singkong, dan bayam. Dia juga memelihara beberapa ekor ayam. Dan, ketika musim panen tiba, dia sendiri yang akan memetik buah mangga yang bertengger di atas sana menggunakan galah.
Di sela-sela kegiatannya itu, dia suka sekali mengumpulkan sampah-sampah yang bertebaran di halaman. Dia akan mengenakan kaus putih polosnya yang belel, dan sarung dengan sabuk di pinggang—persis seperti yang kini kupakai—lalu membakar tumpukan sampah yang telah dikumpulkannya.
Kalau sedang ada di rumah, biasanya aku akan ikut membantunya mengumpulkan sampah yang berserakan, sedang dia yang akan bertugas menyiram bensin dan melempar satu batang korek api yang telah menyala ke arah tumpukan.
Kemudian, bersama-sama kami akan duduk mengawasi tumpukan sampah yang tengah dilumat api di bawah pohon mangga itu. Sambil berbincang menanyakan pekerjaanku atau perihal kuliah adikku, biasanya aku dapat menangkap sorot matanya yang berbinar-binar, dan seulas senyum yang terlukis di bibirnya. Kurasa waktu itu orkes keroncong sedang memainkan lagu karangan Ismail Marzuki di dalam dadanya.
“Engkau gemilang, malam cemerlang.
Bagaikan bintang timur sedang mengembang …”
Kalau dipikir-pikir sekarang, agaknya lucu juga. Pasalnya, meski secara tak langsung, dulu bapakku selalu mencoba untuk menghindarkan aku dari kegiatan yang berhubungan dengan api. Semua itu bermula karena satu kejadian yang terjadi di sekolah. Dulu, di SD, aku sering kali mengalami perundungan karena namaku. Bapakku menamaiku Abu Farhan, yang lantas dipelesetkan oleh anak-anak di sekolahku menjadi Abu Gosok. Di beberapa kesempatan, anak-anak itu—yang kujuluki sebagai pasukan monyet karena senang bergerombol—sering kali memanggilku dengan sebutan itu disertai dengan gestur mengejek. Awalnya, kubiarkan saja para monyet itu terus mengejekku. Hingga pada suatu hari, pada jam olahraga, para monyet itu menjadikan fisikku sebagai alasan untuk tak mengajakku bermain sepak bola. Menurut mereka, postur tubuhku yang kecil teramat lemah dan payah untuk olahraga sekelas sepak bola. Padahal beberapa dari mereka juga bertubuh kecil sepertiku. Tetapi mereka kembali berkelit. Katanya, jumlah pemain sudah cukup, jadi aku mesti menunggu pemain yang lain kelelahan.
Waktu mendengar alasan itu, ingin sekali rasanya aku menghajar wajah mereka satu per satu. Tetapi, apa daya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin aku bisa memulainya dengan memukul anak yang bertubuh paling kecil. Tetapi, aku yakin mereka akan mengeroyokku, seperti segerombolan monyet yang melihat setandan pisang. Belum lagi, kalau mesti berurusan dengan ketua pasukan monyet yang memiliki badan agak gempal dan bulu di sekujur tangan, persis seperti wujud kingkong yang ada di film layar lebar.
Perasaan tak berdaya itu timbul di dalam dadaku. Bukannya membantu, dia malah balik menyerangku. Dihunuskannya belati tepat ke arah relung hatiku yang serapuh serpihan kaca. Tak terasa mataku telah mendung dan siap untuk menumpahkan segala isinya. Kuputuskan untuk kembali ke kelas. Aku tak mau ada yang melihatku meneteskan air mata. Bisa-bisa, pasukan monyet itu tambah gencar mengejekku. Aku segera berlari seraya menahan air mataku agar tak jatuh.
Sebelum memasuki kelas, berulang kali aku menarik napas untuk mengendalikan suasana hatiku. Air mata yang sempat jatuh ke pipi sudah kuseka dengan lengan seragam olahragaku. Setelah agak tenang baru kubuka pintu kelas itu. Hening saja di dalam kelas. Deretan bangku dan meja berbaris rapi seumpama pasukan prajurit yang sedang apel pagi. Selain diriku, tak ada satu pun murid yang berada di dalam kelas, karena semua masih sibuk berolahraga setelah selesai melakukan pemanasan. Kututup pintu kelas itu rapat-rapat, lalu aku berjalan ke arah mejaku untuk mengambil bekal yang ada di dalam tas. Rencananya aku akan memakan bekal itu lebih awal, karena setelah jam olahraga adalah jam istirahat.
Pada saat merogoh isi tas, aku tak sengaja menemukan kotak korek api bekas tahun baru. Kuraih kotak itu, lalu kubuka untuk mengecek isinya. Berjejer batang-batang korek api dalam keadaan tertidur seperti ikan sarden di dalam kaleng. Tiba-tiba saja timbul rasa panas yang terasa janggal dari dalam dadaku, seakan ada yang sengaja membakar tumpukan sampah di dalam sana. Lantas, terdengar sayup-sayup bisikan di telinga kiriku.
“Bakar saja tas mereka biar ramai! Biar mengaduh sampai gaduh!”
Aku menoleh ke kiri dan kanan, mencari dari mana sumber suara itu datang. Tetapi, suara itu malah menggema di dalam kepalaku. Meski kepalaku mencoba untuk melawannya, tetapi hatiku yang telah membara berjalan seia sekata dengan perintah suara itu.
Kutaruh kembali tasku di tempatnya yang semula, lalu kuputuskan untuk berjalan ke arah belakang kelas. Tampak tas pasukan monyet tergeletak di deret bangku belakang. Kukumpulkan tas itu satu per satu. Setelah memastikan tak ada tas yang terlewat, aku mulai berjalan ke depan kelas. Di sana, kutumpuk tas itu di lantai keramik yang belum disapu di dekat papan tulis putih yang masih menyisakan sedikit coretan bekas pelajaran matematika kemarin. Kurogoh kantung celana olahragaku. Sekotak korek api siap untuk melaksanakan tugasnya. Kuambil sebatang korek api dari dalam kotak, lalu kugesekkan ke permukaan kasar yang berada di salah satu sisi badan kotak itu.
Pada percobaan yang pertama, korek kayu itu patah karena tanganku yang terburu-buru ketika menggeseknya. Kemudian, percobaan yang kedua, api menyala tetapi langsung padam, padahal tak ada embusan angin di dalam kelas.
Kreeek. Aku menoleh ke arah belakang ketika mendengar bunyi dari arah pintu. Puluhan tinju berulang kali terasa menghantam dadaku. Keringat membasahi keningku yang tertutup oleh poni. Hatiku menciut, takut kalau salah seekor monyet menguntit perbuatanku.
Untungnya, ketika menengok, aku hanya mendapati pintu kelas yang bergeming. Aku kembali menarik napas, lalu melanjutkan percobaan untuk yang ketiga kalinya. Sreeeek! Sreeeek! Sreeeek! Buuuuz!
Api lantas berkobar dari ujung korek kayu. Tanpa diberi aba-aba, tanganku otomatis merangkul api itu agar tak terembus oleh angin. Perlahan, api itu mulai menjalar, melumat batang korek yang terbuat dari kayu. Kupandangi api itu, ada sebuah perasaan yang hangat menyelimutiku, seakan-akan tubuhku tenggelam di dalam nyala api yang menari-nari itu. Setelah puas memandanginya, kualihkan pandangku ke arah tumpukan tas yang ada di depan. Bibirku membentuk seulas senyum. Kini, di hadapanku terhampar luas kesempatan untuk membalas dendam.
Tak ingin membuang-buang waktu, kulempar sebatang korek itu ke arah tumpukan tas. Awalnya, terlihat tak ada perubahan, namun api itu perlahan mulai menjalar—membinasakan senyum para tokoh kartun yang menempel di tas itu hingga menjadi kobaran yang besar. Bukannya takut, entah mengapa malah timbul rasa girang di dalam dadaku. Lantas, aku tertawa bagai orang yang sedang kesetanan. Kepulan asap disertai bau sangit mulai merebak. Baunya yang terperangkap di dalam kelas membuatku terbatuk-batuk dan meneteskan air mata ketika berembus ke arah wajah. Perlahan, kepulan asap itu mulai menyelimuti tubuhku. Meskipun begitu, tak ada rasa cemas yang singgah di dalam hatiku.
Berbondong-bondong mereka mulai menimbulkan rasa gatal ketika melintasi kerongkonganku. Kututup mulut dan hidungku dengan lengan kananku. Berulang kali aku berkedip untuk meringankan rasa perih yang menyengat kedua mataku. Tetapi semuanya sudah terlambat. Mereka sudah menguasai tubuhku. Kucengkeram dada kiriku, mencoba untuk menahan paru-paruku yang terasa ingin meledak. Tetapi, keinginan untuk batuk kembali menyergapku. Kali ini cukup hebat, hingga tubuhku mesti meringkuk di lantai, seperti seekor ulat kaki seribu yang sedang dalam keadaan terancam. Penglihatanku seutuhnya buyar. Dan, untuk kejadian yang selanjutnya, aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Aku tersadar dengan posisi terbaring di salah satu ranjang di ruang Usaha Kesehatan Sekolah, ditemani wajah cemas bapakku. Melihatku sudah siuman, Bapak tak langsung menanyakan apa yang telah terjadi. Dia malah menyuruhku untuk kembali beristirahat. Beberapa hari kemudian, aku mulai mengumpulkan potongan-potongan cerita selanjutnya dari penuturan bapakku, anak-anak di sekolah, dan narasumber kunci yaitu Pak Dirman, tukang bersih-bersih di sekolah, hingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh.
Jadi begini ceritanya: ternyata bunyi pintu bergeser yang ditangkap telingaku bukan sekadar serangan panik belaka, tetapi bunyi itu berasal dari Pak Dirman yang sempat mengintip ke dalam kelas. Awalnya, dia tidak menemukan keanehan ketika mengintip melalui pintu kelasku. Dia hanya melihat tubuhku yang tengah berdiri dalam posisi memunggunginya. Lantas, dia kembali menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. Sepulangnya dari kamar mandi, dia kembali melewati kelasku, tetapi kali ini dia mencium bau gosong yang cukup menggangu hidungnya. Dia memutuskan untuk kembali melongok ke dalam kelas. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati kepulan asap kelabu terperangkap di dalam kelas dan tubuhku yang tergeletak di lantai.
Tanpa tedeng aling-aling, dia memasuki kelas dengan menutup hidungnya untuk menyelamatkanku. Dibopongnya tubuhku yang kecil keluar dari kelas itu. Kemudian, dia berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang ada di sekitar kelas untuk memadamkan api yang tengah berkobar. Berbondong-bondong orang datang menghadiri undangannya. Tak butuh waktu lama, dengan beberapa ember air, akhirnya api dapat dipadamkan. Para guru mencoba menyelidiki apa yang menyebabkan kebakaran itu terjadi. Akhirnya, mereka menemukan tumpukan tas yang hangus di depan kelas, dan sekotak korek api di kantung celana olahragaku.
Meski aku tak mendapat hukuman, tetapi Bapak mesti menanggung malu akibat ulahku. Tak sampai di situ, Bapak juga mesti mengganti tas-tas para monyet yang kubakar. Dan, pasukan monyet itu, bukannya jera, malah memanggilku dengan sebutan baru: Abu Bakar.
Semenjak itu, Bapak memperingatkanku untuk tidak bermain-main dengan api. Di sisi lain, kudapati diriku yang lemah ini luluh dalam tiap nyala api. Jadi, meski Bapak telah melarang, aku masih suka mencuri-curi kesempatan ketika amarah mulai menguasai dadaku. Aku selalu menyiapkan sebuah korek gas di dalam kantung celanaku. Korek gas itu akan kunyalakan, dan api yang menyala dari sana akan kupandang untuk beberapa saat sampai amarah di dalam dadaku agak mereda.
Aku masih duduk di sebuah bangku panjang yang ada di bawah pohon nangka—menyaksikan kobaran api yang makin lama makin membesar. Ujung lidahnya menari berjingkrak-jingkrak, diiringi bunyi gemeletak dari ranting-ranting yang hendak jadi bara. Di dalam dadaku, bunyi gemeletak itu memberikan suatu gairah yang meletup-letup, seumpama festival kembang api pada malam tahun baru. Seraya memandangi api itu melahap habis tumpukan sampah, tiba-tiba suara yang tak asing terdengar dari arah belakang.
“Lha, dari pagi kerjaannye nabun doangan, lo? Bukannya ikut nyoblos sono.”
Ketika menengok ke arah belakang, kudapati adikku, Panji di teras telah mengenakan jaket, helm, masker, dan segala perlengkapan yang memungkinkan dirinya untuk mengurangi risiko jika terjadi kecelakaan.
“Lha iye, lupa gue. Lo sendiri mau ke mane, Ji?” tanyaku balik.
“Mau ngojek gue.”
Diparkirkannya salah satu sepeda motor yang ada di depan teras, lalu dipanaskan mesinnya dengan cara menekan starternya berkali-kali. Bunyi mesin motor pun menderu, sekali dua kali ditariknya gas motor itu agar mesin tak berhenti menyala.
“Kagak nyoblos dong, lo?”
“Nyoblos kagak ada untungnye. Mending gue ngojek, dapet duit buat bayar kuliah.”
“Ye, goblok!”
Spontan saja makian itu terlontar dari mulutku. Sebab, si goblok yang satu ini tak pernah berpikir kalau orang-orang yang ada di atas sana ikut mempengaruhi profesinya sebagai pengemudi ojek online. Lagi pula, aku sudah tahu alasan yang sebenarnya. Dia mengojek agar uangnya bisa dipakai untuk bermain judi online, karena selama ini uang hasil mengojeknya tak pernah kelihatan wujudnya. Dan, untuk biaya kuliahnya dibayarkan setengah-setengah menggunakan uang pensiunan Bapak dan gaji bulananku.
“Gue berangkat dulu, ye. Kalo lo mau nyoblos, surat dari Pak RT gue taro di atas meja deket TV.”
Tanpa meladeni makianku, dia segera menaiki sepeda motornya dan menancap gas meninggalkan halaman rumah. Suara deru mesin motor perlahan berlalu ikut membawa perasaan jengkel yang sempat singgah di hatiku.
Nyala api perlahan mulai padam, menyisakan asap kelabu yang bergerak ke atas tak beraturan. Sedang, matahari memancarkan sinarnya yang mengintip di antara rindangnya pepohonan di halaman. Tak mau kalah, semilir angin pun ikut berembus, menepuk-nepuk punggungku, menyelinap ke dalam sela-sela kausku. Dan, seekor burung mampir di salah satu dahan, setelah lelah melakukan perjalanan.
Kupikir hari ini akhir pekan seperti biasanya. Kalau saja tadi Panji tidak mengingatkan, mungkin aku lupa kalau hari ini libur karena sedang diadakan pemilihan calon presiden. Padahal, kemarin sore, aku baru saja berpapasan dengan Pak RT. Dan, dia memberitahuku perihal surat pengantar yang telah diterima oleh Panji. Aku segera beranjak—masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Di kamar, kusisir rambutku yang berantakan, lalu kusemprotkan minyak wangi sekadarnya di bagian tengkuk dan ketiak agar badanku yang belum tersentuh oleh sabun tidak menguarkan baunya yang kentara. Kemudian, kuambil surat pengantar pemilihan yang berada di atas meja, lalu kusisipkan surat itu ke dalam kantung belakang celana jinku agar mudah dijangkau. Setelah semuanya rapi, aku lantas mengunci pintu, dan kutinggalkan halaman beserta tumpukan sampah yang lekas jadi abu.
***
Pertama kali memasuki sekolah dasar yang dijadikan Tempat Pemungutan Suara (TPS), perhatianku langsung tertuju kepada seorang pemuda yang mengenakan kemeja putih, berkaca mata hitam, serta peci hitam di kepalanya, karena perawakannya mirip dengan Garing, seorang penyanyi kondang yang memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Aku tebak dia adalah bagian dari tim sukses salah satu capres yang tengah mengawasi jalannya pemungutan suara di TPS ini.
Waktu aku datang, ternyata sudah tak banyak orang, karena jam di dinding kelas sudah menunjukkan pukul dua siang. Tak ingin berlama-lama, aku langsung menuju ke salah satu meja panitia dan menyerahkan surat pengantar ke salah seorang pemuda yang ada di situ. Sambil mendata keikutsertaanku, kupandangi satu per satu wajah para pemuda yang menjadi panitia di TPS itu. Dengan mudah aku dapat mengenali wajah-wajah mereka. Ah, mereka-mereka ini aku kenal benar kecilnya. Umur mereka sebenarnya tak terlampau jauh dari umurku, bisa dibilang malah sebaya. Hanya saja aku tak pernah bergaul dengan mereka. Di antara mereka pun aku dapat mengenali satu-dua orang mantan pasukan monyet yang dulu merundungku. Sedang pemuda yang mirip Garing itu memang salah seorang anggota tim sukses, karena wajahnya terasa tak familier di mataku.
Selesai mendata, pemuda itu menyuruhku untuk menunggu di salah satu bangku lipat yang telah disediakan. Baru saja kuistirahatkan pantatku di salah satu bangku lipat, namaku segera disebut. Aku kembali melangkah ke arah meja panitia untuk menemui pemuda itu. Sebelum memberikan surat suaranya kepadaku, pemuda itu memperingatkanku untuk tidak membawa barang apa-apa ke dalam bilik suara. Aku yang mendengar peringatan itu hanya mengucap terima kasih, dan segera memasuki salah satu bilik yang kosong.
Di dalam bilik, kubuka lembar surat suara itu. Mataku meneliti dengan cermat seperti seorang murid yang baru saja diberikan soal ulangan kenaikan kelas. Ternyata hanya ada dua calon yang akan merebutkan bangku kehormatan sebagai seorang presiden dan wakil presiden. Meski sudah tak mengikuti perkembangan dunia politik, tetapi aku yakin capres dan cawapres tahun ini tak akan terdengar asing di telinga kebanyakan orang, karena nama-nama mereka selalu muncul di media diiringi dengan pernyataan kontroversial yang mereka lontarkan, yang tentunya banyak mengundang kecaman dari berbagai pihak.
Calon yang pertama, Gangga, ketua umum Partai Golongan Kuasa, di periode lalu menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi Maju. Berpasangan dengan Yahud, pensiunan pasukan khusus yang di periode lalu memiliki banyak jabatan yang dipercayakan oleh Presiden. Terhitung dia pernah mengemban 6 jabatan sekaligus, di luar jabatannya sebagai seorang Menteri Koordinator Investasi. Kalau diibaratkan sebagai pemain sepak bola, Yahud bisa dipasang di posisi mana saja. Dia bisa menjadi bek, gelandang, penyerang, bahkan dia bisa menjadi kiper, kalau orang yang menempati posisi itu sedang dalam keadaan cedera.
Agak janggal sebenarnya, meski aku tahu kalau jauh-jauh hari Gangga—yang masih menjabat sebagai seorang menteri—tanpa malu sudah memasang wajahnya di beberapa baliho di jalan-jalan besar Ibu Kota. Tetapi, entah kenapa Yahud mau saja menjadi wakil Gangga yang jelas-jelas memiliki elektabilitas jauh di bawahnya. Atau karena jabatan sebagai wakil presiden tidak akan banyak menyita energi, sehingga Yahud dapat lebih fokus dengan bisnis batu baranya di lahan Ibu Kota Nusantara? Entahlah, apa urusanku untuk mencampuri persoalannya? Salah-salah, aku bisa dipenjara, macam dua aktivis yang mencoba membongkar bisnis gelap milik Yahud di tanah surga, tanah Papua. Lebih baik kita beralih ke calon berikutnya.
Kemudian, dari kubu seberang, sang penantang, calon nomor dua, Prabawa, ketua umum Partai Gerinda, dia juga mantan pasukan khusus sama seperti Yahud, di pilpres tahun lalu dia mencalonkan diri sebagai capres menentang Sarkowi. Meski kalah, dia didapuk menjadi Menteri Bertahan dari Invasi Tiongkok di Perairan Laut Natuna dalam kabinet Presiden Sarkowi. Tahun ini dia kembali mengundi peruntungannya dengan berkoalisi bersama Nyonya Maharini, yang di periode lalu memangku jabatan sebagai ketua Dewan Perundung Rakyat sekaligus anggota dari Partai Moncong Putih.
Kalau yang ini cukup cocoklah. Bukannya aku tak menjunjung kesetaraan gender. Masalahnya, meski Nyonya Maharini memiliki ibu seorang mantan presiden, tetapi elektabilitasnya masih terlampau jauh dibanding dengan Prabawa yang sudah berulang kali mencalonkan diri sebagai capres, meskipun gagal. Belakangan banyak masyarakat di kota-kota besar yang mencemooh baliho yang terpasang wajah Nyonya Maharini, dan memelesetkan slogan yang terpampang di bawahnya. Kampanyenya ke daerah-daerah terpencil pun tak disambut dengan antusias karena banyak masyarakat belum mengenal sosoknya, sehingga mencalonkannya menjadi seorang presiden sama saja seperti mengundi nasib dengan anak panah bagi Partai Moncong Putih.
Semestinya, dari surat suara ini, masyarakat sudah bisa menebak dengan mudah siapa yang bakal memenangi pilpres tahun ini. Ya, benar. Yang menang tidak jauh dari badut-badut yang sama. Yang tahun lalu menjabat di beberapa jabatan penting. Yang kebijakannya secara langsung ataupun tak langsung telah membuat ratusan orang kehilangan beberapa anggota keluarganya. Yang jika muncul di televisi membuatmu ingin segera mengganti saluran atau langsung mematikannya saja. Maka itu, aku tak akan pura-pura terkejut jika nanti ada yang menggambar alat kelamin pria di atas kertas surat suara, atau menulis “SEMUANYA KORUPTOR!” dengan huruf kapital seperti pada pilpres tahun lalu. Aku rasa orang-orang itu telah melakukan tindakan yang paling tepat.
Ah, tiba-tiba saja darah dalam tubuhku menggelegak, seumpama samudra tenang yang diusik oleh sang topan. Lantas, kuraih paku yang tergeletak di salah satu sudut meja bilik suara, lalu kucoblos wajah mereka satu per satu, seperti seorang dukun yang diperintah untuk mengirim guna-guna kepada orang yang diserahkan fotonya kepadanya. Mula-mula, kucoblos kedua mata mereka agar tak silau harta, kemudian kucoblos mulut mereka agar tak umbar janji, yang terakhir kucoblos telinga mereka yang pura-pura tuli. Selanjutnya, kucoblos saja di mana kusuka, sampai jas dan kebaya yang mereka kenakan penuh lubang.
Sekonyong-konyong datang bisikkan di telinga kiriku. Bisikkan yang sama persis seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku membakar tas anak-anak yang merundungku.
“Bakar saja biar ramai! Biar mengaduh sampai gaduh!”
Kugeletakkan kembali paku pada tempatnya. Tangan kananku lantas merogoh salah satu kantung jinku. Tetapi, tak kudapati benda yang kucari berada di sana. Sambil mencari, sebentar-sebentar mataku menyelidik ke depan dan samping, awas-awas kalau ada yang mencium gelagat anehku. Di depan sana, para pemuda tengah berbincang-bincang sembari merokok, dari mulut mereka berhamburan asap putih yang berbentuk tak keruan. Sedang, di bilik sebelahku tampak seorang perempuan yang tengah sibuk memperhatikan surat suara miliknya, seakan dia tak mau salah memilih pemimpin yang lima tahun ke depan akan mempengaruhi jalan hidupnya.
Aku masih terus mencari, kini bantuan ekstra datang dari tangan sebelah kiri. Sedang, beberapa butir keringat sebesar bulir jeruk yang muncul di keningku telah berkomplot untuk menertawakan perilakuku. Ah, akhirnya ketemu juga. Sebuah korek gas yang biasa kubawa ke mana-mana.
Ada perasaan yang menggelitik benakku. Ternyata selama ini dia terselip di kantung kecil, tempat biasa aku menaruh uang recehan. Aku kembali menyelidik ke depan dan samping. Suasana cukup aman, pikirku. Keduanya masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Lantas, kunyalakan korek itu, dan kurapatkan ke surat suara milikku. Kubiarkan api itu menjilat-jilat ujung surat suara sampai puas. Ketika nyala kecil mulai terpantik, surat suara itu kutaruh perlahan-lahan di sebelah kotak suara.
Degup jantungku berdetak tak keruan, antara senang dan cemas, persis melihat seorang anak manusia tumbuh dewasa. Meski tak memiliki nyawa, api yang kuberikan kepercayaan itu tak berlarut-larut dalam mengerjakan tugasnya, tak seperti kebanyakan pemimpin di atas sana. Perlahan, api kecil itu tumbuh dan menyambar kotak suara yang terbuat dari kardus. Kubiarkan api itu terus menjalar, seiring dengan timbulnya dendang yang dimainkan oleh parade drumben di dalam dadaku.
Sambil mengawasi api yang tengah melahap pinggiran kotak suara, sepintas ingatanku melayang ke beberapa tahun silam sepulang dari kejadian membakar tas di sekolah. Di rumah, Bapak mencoba menanyakan tentang kejadian yang sebenarnya, sedang aku hanya bisa menangis sesenggukkan. Berulang kali dia menanyakan pertanyaan yang sama. Bagaimana kejadian itu bisa terjadi? Tetapi aku tak bisa berkata apa-apa. Apa lagi, ingus dan air mata membuat kata-kata itu makin tertahan di tempatnya.
Melihat reaksiku seperti itu, Bapak tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Dia mengusap-usap kepalaku seraya berkata kalau api bukanlah benda yang dapat digunakan untuk main-main. Lantas, kalau dipikir-pikir sekarang, apa bedanya api dengan rakyat? Toh, keduanya sama-sama tidak boleh dipermainkan. Mungkin, sekali dua kali keduanya dapat dipermainkan, tetapi tidak untuk yang ketiga kalinya. Mereka yang mencoba untuk mempermainkan akan binasa dilahap kobaran api, atau digulung massa.
Dendang di dalam dadaku makin lama makin bergema, seiring dengan hawa panas yang mulai terasa menampar wajahku. Tak kuasa lagi menahannya, akhirnya dendang itu keluar dari mulutku dalam wujud tawa yang keras, yang lantas mengundang perhatian perempuan yang ada di bilik sebelahku. Dari situlah terjadi geger, karena perempuan itu segera melonjak dan berteriak, “Astaghfirulloh! Kebakaran!” semua mata di TPS tertuju ke arah bilik suaraku.
Suasana teramat gaduh. Banyak orang meraung-raung meneriakkan satu kata yang sama. Kebakaran! Beberapa ada yang kocar-kacir ke belakang mencari air untuk memadamkan. Aku berhenti tertawa. Dari sela-sela kobaran api, aku mencoba untuk mengedarkan pandang ke arah depan. Lantas, mataku bertemu pandang dengan mata pemuda yang kubilang mirip dengan Girang, meskipun dia masih mengenakan kaca mata hitamnya. Entah bagaimana perasaanku saat itu, tetapi kulontarkan senyum ke arah wajahnya, seakan-akan mengisyaratkan sebuah kemenangan yang telah lama terpendam. Melihat reaksiku itu, sekonyong-konyong dia melayangkan jari telunjuknya ke arahku seraya berkata, “tangkep tuh orang!”
Seperti sekumpulan prajurit yang diberi tugas oleh komandannya, para pemuda yang menjadi panitia itu langsung menghampiriku, termasuk pemuda yang tadi mengurus surat suaraku. Mataku yang terhalang oleh kobaran api terus beralih pandang ke arah para pemuda yang mengepungku dari berbagai arah. Anehnya, meski jantungku sudah berdebar tak keruan, tetapi tiada sedikit pun kutemui rasa gentar. Malah yang terjadi sebaliknya, dadaku makin lama makin terasa membara, seakan-akan panas dari kobaran api itu telah memasuki tubuhku dan mengaliri seluruh aliran darahku.
Dalam keadaan terpojok, kepalaku lantas menyusun rencana untuk kemungkinan yang terburuk. Berulang kali kurenggangkan jari jemariku. Kupancangkan kedua kakiku, mengokohkan tekad untuk tak beranjak sedikit pun dari tempatku berpijak. Hampir saja kulayangkan tinju ke arah salah seorang pemuda yang ada di sebelah kiri bilikku, kalau saja sebuah seboran air yang datang secara tiba-tiba tidak mengejutkanku.
Seluruh persiapan yang sudah kurencakan buyar berantakan, karena untuk beberapa saat aku tak dapat melihat dengan jelas. Seraya berulang kali menyeka air yang membasahi wajahku, tiba-tiba dari arah belakang sebuah lengan yang cukup besar mencekik leherku. Tubuhku merespon dengan cara meronta sekuat tenaga, seraya berteriak.
“Pembunuh! Pembunuh! Pemerintah pembunuh!”
Sayang, perlawananan yang kuberikan tak bertahan lama. Lengan itu membuat tubuhku yang kurus seperti sehelai tisu yang dapat dienyahkan sesuka hatinya. Dia membekap mulutku, dan membuatku kesulitan untuk bernapas. Darahku kembali tenang, seumpama lautan yang habis dihempaskan sang badai. Disusul hatiku yang berubah menjadi kecut. Sekonyong-konyong air mata meruap di pelupuk mataku, karena teringat dengan kejadian yang telah berselang empat tahun lalu.
Waktu itu aku tengah mengantre di salah satu depot isi ulang oksigen di bilangan Manggarai. Antrean luar biasa mengular memenuhi Jalan Minangkabau, persis rombongan ibu-ibu yang mengantre saat minyak goreng tiba-tiba menjadi langka. Sedang dari arah berlawanan kendaraan tak henti-hentinya menderu, dan mata para pengendara silih berganti memandangi antrean kami. Sayang, aku tak dapat membaca sedikit pun raut wajah mereka. Bukan karena aku sibuk mengawasi antrean depan, tetapi karena wajah mereka tertutup oleh masker. Meski begitu, aku tahu, waktu itu mereka melihat kami sebagai golongan manusia yang mesti dikasihani.
Memang, kurang lebih raut wajah kami yang mengantre hampir seragam, meski sama seperti mereka, kami juga mengenakan masker. Tetapi aku dapat menangkap raut itu melalui sorot mata yang redup disertai kerutan di sekitar kening, raut wajah orang-orang yang tengah diburu waktu. Tanpa peduli, berduyun-duyun kami kembali mengantre. Matahari makin lama makin tinggi. Debu-debu yang dihamburkan oleh kendaraan mulai merayapi tubuh kami, dan bercampur dengan keringat yang membanjir di tiap sisi. Hingga kurang lebih dua jam gilaranku hampir tiba—mungkin tinggal dua atau tiga orang lagi di depanku—tiba-tiba ponsel di dalam kantungku berdering. Lantas, kuambil dan kubuka karena terpikir akan ada kabar penting.
Ternyata sebuah pesan dari Panji yang mengabarkan tentang keadaan Bapak yang tengah dirawat di rumah sakit. Pesannya singkat saja, tak sampai semenit aku sudah menandaskannya, tetapi empat kalimat terakhir membuat reaksi yang luar biasa terhadap tubuhku. Untuk sepersekian detik ke depan, kepalaku terasa disetel dalam mode senyap, karena aku tak dapat menangkap suara bising kendaraan, atau keluh kesah para pengantre. Kepalaku hanya dipenuhi hening, seakan waktu yang tengah kujalani sedang berhenti. Kemudian, tubuhku yang kurus terasa meleleh bagai gumpalan es krim yang mencair dipapar teriknya matahari siang itu.
Aku tersadar dengan sebuah hantaman yang sekejap singgah di pipi, dan meninggalkan rasa panas di sana untuk waktu yang cukup lama. Ternyata salah seorang telah mengambil kesempatan untuk menampar wajahku. “Udeh matiin aje!” Satu hantaman kembali menyentakku, kali ini di pelipis kiri, meninggalkan bekas darah segar bercampur keringat yang tertahan oleh alis mataku. “Udeh bawa aje ke kantor polisi!”
Kutundukkan kepalaku, hanya memandang ke arah celanaku yang sudah basah kuyup. Entah, puluhan, ratusan, atau ribuan makian tengah berlomba-lomba mengerayangi telingaku. Hatiku yang membara telah padam sepenuhnya, menyisakan arang yang hitam kelam. Di antara makian-makian itu, yang terasa seperti pisau yang menusuk-nusuk kepalaku, telingaku menangkap suara yang agak berbeda. Bukan suara yang menenangkan, suara itu seumpama godam yang menghantam kepalaku—membuyarkan segala isi yang ada di dalamnya. “Lha, ini mah si Abu anaknya Pak Ali, yang bapaknye meninggal gara-gara corona.”
Cibubur, sepanjang krisis
di bulan April—Mei 2022
Editor: Ghufroni An’ars
Anjay. Keren ini euy cerpennya. :’)