Puisi akrab dengan kehidupan sehari-hari. Lagu yang kita putar di Spotify tersusun dari lirik. Spanduk-spanduk konyol kampanye menggunakan tagline yang—agar mudah diingat dan menarik—memiliki bunyi semacam rima di akhir larik. Belum lagi iklan rokok yang terkesan kreatif—bisnis yang menawarkan produk secara samar. Dibanding menampilkan rokok yang terancam kena sensor, lebih aman menampilkan gambaran simbolis.
Baca juga:
Industri film tak ketinggalan mengadopsi puisi. Lewat citraan yang dikandungnya, kata-kata menyiratkan pesan secara konotatif. Dalam film The Last Samurai (2003), Katsumoto, samurai pemberontak yang menolak modernisasi Jepang tahun 1876, bertempur di Yoshino bersama pengikutnya. Berhadapan dengan Nathan Algren, mantan kapten Amerika yang memerangi suku Indian dan dibayar kekaisaran untuk melatih militer Jepang, Katsumoto yang unggul memilih menyelamatkannya.
Salah satu adegan kemudian mengungkap bagaimana puisi yang digubah Katsumoto berdasarkan mimpinya menghindarkan Algren dari eksekusi. “Tatapan macan itu menyerupai tatapanku… tetapi dia berasal dari seberang lautan yang dalam dan ganas…,” tulis Katsumoto. Kata-kata mendorongnya untuk bersabar. Kepada pengikutnya, mempelajari musuh untuk menang dijadikan alasan agar Algren tetap aman dan boleh tinggal di kampung mereka. Puisi menjadi pertimbangan spiritual, menggerakkan sang tokoh dalam memilih naluri dibanding dendam.
Film lain bernama Sunset In My Hometown (2018) menyiratkan bahwa bahasa selalu mengandung suara gaduh orang ramai yang ikut membentuknya. Seorang rapper membenci kampung halamannya karena riwayat kekecewaan yang mesti ia emban. Tokoh utamanya, Hak Soo, menulis dalam buku catatan sekolah, “Kampung halamanku adalah pelabuhan yang terabaikan… Kota miskin/ di mana matahari terbenam selalu gratis….” Puisi itu akhirnya dimuat di koran atas nama guru yang mencurinya.
Serial populer Peaky Blinders (2022) juga memunculkan puisi di episode pertamanya. Di Miquelon, pulau para penyelundup di Perancis, Thomas Shelby mengutip The Poison Tree karya William Blake sewaktu diminta membacakan puisi oleh rekan bisnis dari Boston.
Tidak seperti profesi lain yang memiliki prestise dalam masyarakat, penyair seringkali dihilangkan keberadaannya. Seseorang yang mengenalkan diri kepada calon mertua akan beroleh tatapan sinis sekalinya mengaku bekerja sebagai penyair. Jangankan calon mertua, orangtua sendiri pun tak sepaham jika menulis sastra setiap malam dikatakan sebagai pekerjaan tetap. Ketika tetangga-tetangga bertukar kabar soal naiknya pangkat atau golongan gaji anak, tidak jelas siapa yang membicarakan penyair dengan begitu hebohnya selain pembaca, pelaku, dan akademisi sastra.
Sejak di bangku sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia diremehkan dengan sirkus guru setengah-setengah. Instruksi untuk membaca halaman yang dipilih dengan keras, mengenalkan penyair-penyair familiar hasil periodisasi sastra tanpa menyodorkan nama-nama baru yang sungguh aktif hingga sekarang, selingan pertunjukan drama sebagai formalitas penutup semester adalah rutinitas pembelajaran yang kita kenal. Tidak banyak inisiatif yang diperlihatkan guru untuk mengerek minat membaca siswa. Tugas tersebut lebih sering diwakilkan oleh papan slogan di perpustakaan sehingga cukup muluk mengharapkan tumbuhnya generasi yang gemar bersastra.
Namun, dalam budaya yang sengaja mengerdilkan sastra, buku-buku tetap diterbitkan. Penerbit minor mewadahi penulis-penulis baru setiap tahunnya. Komunitas sastra tiap daerah unjuk gigi dalam menyiarkan karya anggotanya; entah itu lewat pembacaan puisi, bedah buku, kelas menulis untuk mengantar karya anggota dimuat portal digital, kolom koran, maupun antologi bersama. Walaupun statusnya semenjana di tengah masyarakat, sastra tetap memiliki penikmat.
Menanggapi kesusastraan yang tidak dipandang sebagai ilmu pengetahuan, disebut “cuma ngarang” atau “cuma perlu bakat”, sastrawan Seno Gumira Ajidarma menolak mengukuhkan stereotip zero point semacam itu. Baginya, ilmu pengetahuan susastra termasuk paling tua dalam peradaban manusia dan semua bidang ilmu berasal dari dalam kandungannya sebelum menjadi semesta ilmu pengetahuan seperti sekarang.
Tanpa disadari, sastra berperan dan meresap dalam keseharian kita. Puisi menjadi fungsional kala ditujukan sebagai surat cinta atau pedoman untuk mempererat komunitas seperti dalam Sumpah Pemuda dan Sumpah Mahasiswa. Tak terhitung aksi teatrikal dilakukan saat demonstrasi—begitu juga pembacaan puisi demi mengakomodir tuntutan maupun pesan reflektif kepada institusi negara yang diprotes.
Pramoedya Ananta Toer menyebut bahwa karya sastra adalah produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu kepada kolektivitas.
Opini Pram merujuk sastra yang bukan hanya dimiliki oleh kolektif masyarakat. Selain orang-orang yang memakainya sebagai tuntutan, untuk melawan kesenjangan yang dihasilkan oleh produk undang-undang negara. Individu berperan dalam produksi sastra. Puisi slogan yang dibaca di depan gedung dewan itu tetap ditulis oleh seseorang.
Baca juga:
Amy Lowell dalam Mata Puisi (2020) menyimpulkan, “Tanpa puisi, jiwa dan hati manusia menderita dan mati.” Pada pidato yang disarikan oleh Hasan Aspahani itu, Lowell mengumpamakan kebutuhan manusia atas puisi sama halnya dengan makan tiga kali sehari. Perbedaannya, tak seperti makan yang bila urung dilakukan akan menyebabkan mati, manusia tak sadar tanpa puisi hati menjadi kering.
Pernyataan Lowell soal kualitas rasa manusia dapat menjawab mengapa siapa pun boleh menulis puisi. Ada kesadaran terkait sastra. Sarana metaforis dan kekayaan imajinasi dapat membebaskan individu dari beban keseharian, baik itu psikis maupun fisik, dalam kata-kata.
Mengandaikan kebutuhan manusia akan puisi dalam antologi Penyair Midas (2013), Nanang Suryadi menggambarkan lirik yang menepi sebentar dari hiruk-pikuk normatif masyarakat, orang-orang yang mendedikasikan waktu sebatas kerja, gaji bulanan, aktualisasi diri dalam media sosial tanpa mengindahkan nilai-nilai kearifan. Nanang menulis, “Kita pura-pura menjadi penyair karena tak tersisa kamar… di rumah sakit jiwa….” Larik-larik Willy Fahmi dalam antologi berjudul Mencatat Demam menambah desakan atas pentingnya puisi bagi personalitas. Ke-aku-an seperti melepas sumbat dari kecemasan yang tak pernah diungkap, “Jika aku tak menulis puisi… terasa ada batu dalam kelaminku….”
Baca puisi terbaru di Omong-Omong:
Walau minim apresiasi, puisi tetap beredar di seputar kita. Ia—meminjam istilah Yusri Fajar—menjadi obat mujarab yang meredakan sakit psikologis dan sosial. Itulah mengapa orang-orang perlu mengonsumsinya.
Editor: Emma Amelia
Puisi adalah aku, dunia adalah aku, kau kita dia dan mereka tenggelam di dalam aku.
percaya pada perubahan takdir
usia yang terus berkurang
intuisi tak lagi bermakna
sampai malam datang menjemput
inilah hidup merah durjana,,