Bermain-main transdisiplin.

Lapisan Analogi dan Puisi Lainnya

Amos Ursia

2 min read

Lapisan Analogi 

seperti Tuhan yang meninggalkan tubuh-Nya di kayu salib,
seperti alam raya yang melepas diri dari teori-teori kuantum dan lamunan para saintis
seperti estetika yang terbirit-birit berlarian dari kejaran para seniman kontemporer di Kassel
seperti bubur kacang hijau yang mengusir ketan hitam dan santan hangat racikan Kang Usep
seperti trumpet yang hilang dalam komposisi-komposisi Miles Davis
seperti bumi yang terhempas dari relasinya dengan tata surya,
seperti mie instan rasa rendang yang menjauh dari nasi panas,
seperti Zizek tanpa kaus oblong, pilek, “and so on, and so on…”
seperti “Rahim Ibu” tanpa dengarlah Cholil dan rima-rima Najwa
seperti Maria yang merelakan Yesus
seperti Ibu yang mengeluh lupa bagaimana caranya ia memasak sayur asem
seperti menggali artefak ’65 tanpa Jembatan Bacem, Bengawan Solo, Plantungan, dan Bukit Duri
seperti diajak berkenalan oleh manusia yang sedang tak hadir dalam ruang ditambah waktu sama dengan kontinuitas
seperti berantem dengan samsak tanpa bentuk, tanpa tali, dan tanpa kabarmu
seperti suara subaltern yang masih tetap sembunyi dalam teks-teks Spivak
seperti botol plastik air mineral yang bertumpuk pada kamar aktivis pecinta lingkungan hidup
seperti analgesik yang ditelan tupai-tupai sambil berlari pada kabel tiang listrik
seperti rusa merindukan air tapi kemudian dipanah Ekalaya
seperti drama Korea tanpa gadis remaja tertawa lalu terbinar sedih
seperti kopi hitam tanpa percakapan tentang seni performans dan teater absurd.

Kado Revolusi
: untuk Abang Ganta

pernah ada seorang petani miskin di Rusia bertanya: “Apakah Lenin merupakan Tsar baru?”

nyanyian pemberdayaan yang jatuh tertimpa tangga dan dosa representasi adalah nyanyian pembebasan yang represif

memberdayakan, mewakili, merebut suara suara Yang Liyan, apa bedanya?

This Lenin—will he be the new Czar, then?/////Sergei dan banyak petani miskin yang terbuai ide-ide Bolshevik berakhir pada pertanyaan, apakah Lenin adalah Tsar baru?////Sang Mesias kita, apakah opresor baru? sang juru selamat kita, apakah sang penyelamat atau juru kiamat? apakah suara-suara kita sekedar jadi bahan orasi gagah-gagahan pemimpin besar revolusi? atau, sabda pembebasan?

Puskesmas Kuba

“Antrian nomor 65!”

“Woy! Siapa itu nomor 65!”

“Saya, kamerad!”

“Ya, keluhannya apa kamerad?
Udah berapa lama sakitnya?”

“Perut saya sakit luar biasa, kayaknya bayi Lenin mau keluar dari sana. Ujung-ujung jari kaki sudah melinu, dada saya rasanya ingin terbelah dua, tiga, empat, lima, tujuh, sembilan, lima belas, dua puluh enam, seribu sembilan ratus tujuh belas, seribu sembilan ratus enam lima, entah sampai berapa kepingan. Meledaklah wahai perut, beri jalan untuk pembebasan!”

“Baik kamerad, tahan dulu. Kami coba carikan penawar racun itu untuk anda. Ini cuma akan jadi fase baru gerakan sosial yang mengokupasi ginjal anda. Boleh minta kartu BPJS sama KTP sekalian?”

Panduan Menyusun Puisi Cinta

“Gimana sih boy cara nulis puisi cinta?”

“Coba baca baca puisi-puisi Sapardi
dulu aja, ide dasarnya adalah dengan mendeskripsikan hal-hal sederhana soal hubungan maneh sama sosok yang
maneh sayang.”

“Soal toko buku boleh? Soal makanan?”

“Ya sebenernya apapun, hal-hal yang dianggap kecil banget malah bagus, otentik.”

“Wah anjing susah boy!”

“Susahnya gimana sih? Coba jelasin.”

“Apa sebenernya yang dimaksud sayang? Cinta itu apa?”

“Aduh, maneh mulai gak jelas, coba dengerin AriReda dulu. Simak gimana dia gambarin surat cinta, hujan, senja, kota.”

***

“Gimana? Udah bisa belum?”

“Belum boy, susah gila!”

“Yang sederhana aja nulisnya, dengan isyarat yang gak sempet disampaikan awan kepada hujan, dengan kata yang gak sempet diucapkan kayu …”

Bacot sia, tah kumbah huntu!

Arsip Rahasia Jaap Kunst

aku temukan dokumen berdebu itu,
ia tak pernah digenggam siapapun sebelumnya, selain tangan penulisnya sendiri.

aku coba membacanya, dokumen rapuh, bau jamur:

Ik weet niet wanneer je dit gaat lezen, en ik weet niet of je dit gaat lezen (buram). Ik weet niet of …. dit (ada kata yang hilang karena arsip berjamur) zal lezen, wie dan ook. (kalimat robek) Ik weet niet of dit pas de laatste schreeuw om hulp zal zijn die weergalmt in lege grotten, als ik erin val, (bolong-bolong digigit rayap) wachtend op de komst van iemand, ik weet niet wanneer.

Ia membuka catatan itu dengan kesedihan, katanya entah apa akan ada yang membaca teriakannya dalam teks itu.

schrijvers hebben (tak terbaca karena buram) woordenschat meer om verdriet te beschrijven. anders dan door dingen, ruimtes, (tulisan samar-samar) momenten en al die herinneringen te beschrijven. zelfs muzikanten (tak terbaca karena robek) hebben geen noten meer om de vreugde van het uitwisselen van stemmen met je te beschrijven.

Ia mencatat dengan frustasi, bahwa bahkan seorang penulis kehabisan kosakata untuk menguraikan rasa—selain dengan mendeskripsikan benda-benda, ruang, momen, dan segala memori itu tentang seseorang yang entah siapa—bahkan seorang pemusik kehabisan nada untuk mengurai rasa.

Dalam arsip rahasia ini, ia ingin bilang bahwa seni memiliki ruang-ruang hampa yang entah di mana, entah bagaimana, entah siapa, entah beribu entah lainnya, meraba setiap kata yang ditulis Kunst membuatku sadar, bahwa aku adalah Jaap Kunst itu sendiri, atau jangan-jangan aku hanya denging yang melakat pada arsip-arsip suara itu, sendiri dalam gudang berdebu itu, sendiri berteriak entah kapan, pada siapa, pada ruang mana.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email