Pada 94 tahun silam, para perumus Sumpah Pemuda menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di antara dua ikrar pemersatu sebelumnya. Kesepakatan itu tidak berjalan secara mulus. Di balik kesepakatan itu, ada alasan dan kontestasi yang terbilang intens. Selain ada perbedaan pendapat tentang pemilihan nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di antara Tabrani dan Yamin, ada juga motif politis dan kultural di balik kesepakatan itu. Sebelumnya, ketika Kongres Pemuda I yang diketuai oleh Tabrani digelar di Jakarta pada 30 April—2 Mei 1926, Yamin memilih nama bahasa Melayu karena bahasa Melayu merupakan bahasa yang egaliter dan sudah digunakan sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di seluruh Nusantara. Sementara itu, Tabrani memilih nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dengan alasan bahwa dua ikrar Sumpah Pemuda sebelumnya sudah berbunyi “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia dan Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”.
Oleh karena itu, menurut Tabrani, nama bahasa persatuan juga harus bernama bahasa Indonesia. Perbedaan pendapat di antara keduanya pada saat itu tidak menuai kesepakatan. Selanjutnya, karena tidak ada kesepakatan ihwal ikrar yang terakhir itu, kontestasi itu pun dilanjutkan pada Kongres Pemuda II di Jakarta 28 Oktober 1928 yang diketuai oleh Yamin. Pada akhirnya, saat Kongres Pemuda II dilaksanakan, nama bahasa Indonesia yang diusulkan oleh Tabrani disepakati sebagai bahasa persatuan. Dari hal tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa para perumus Sumpah Pemuda sangat berhati-hati dalam menentukan bahasa persatuan untuk bangsa yang masyarakatnya terdiri atas berbagai macam latar belakang budaya dan bahasa. Menyatukan masyarakat yang sangat heterogen tentu tidaklah mudah. Maka dari itu, diperlukan bahasa persatuan sebagai bahasa penghubung antarmasyarakat. Saat ini, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbanyak setelah Papua Nugini.
Pada mulanya, alasan Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan adalah karena bahasa Melayu tidak bersifat hierarkis seperti bahasa Jawa. Kolonialisme Belanda membuat kaum elit atau penguasa Jawa kehilangan kedigdayaannya untuk menghegemoni masyarakat kelas bawah. Untuk itu, demi mempertahankan hegemoninya atas masyarakat bawah, para penguasa Jawa membuat klasifikasi bahasa tinggi dan bahasa rendah. Hal itu pun makin mengentalkan sistem feodalisme sehingga kelas sosial menjadi sangat hierarkis. Di samping itu, Belanda juga menerapkan politik bahasa. Pihak Belanda tidak menginginkan penggunaan bahasa Belanda sebagai alat komunikasi umum yang dapat digunakan oleh masyarakat dari kalangan mana pun. Penggunaan bahasa Belanda pada saat itu hanya dibatasi untuk penduduk Eropa dan kalangan ningrat serta hanya diajarkan di sekolah elite yang tidak terjangkau oleh pribumi yang bukan keturunan ningrat. Belanda tentu memiliki alasan yang jelas di balik politik bahasanya. Belanda beralasan bahwa penduduk pribumi dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang luas jika menguasai bahasa Belanda sehingga hal itu dikhawatirkan akan menyulitkan jalannya kepemerintahan kolonial. Oleh sebab itu, kontrol terhadap penggunaan bahasa Belanda oleh pemerintah kolonial makin menguatkan hegemoni dan penindasan bagi masyarakat pribumi.
Dengan demikian, kita bisa memaknai bahwa pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu upaya dalam menunjukkan nilai-nilai kesetaraan untuk melepaskan diri dari belenggu diskriminasi dan penindasan Belanda walaupun saat ini masih ada ketidakadilan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan gender. Di sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa pendeklarasian nama bahasa Indonesia—yang berasal dari bahasa Melayu—sebagai bahasa perstatuan memiliki motif kultural dan politis. Secara kultural, pendeklarasian bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah untuk mewadahi kondisi masyarakat yang heterogen sehingga tercipta determinasi budaya untuk mempererat hubungan antarmasyarakat yang beragam. Secara politis, motifnya adalah untuk menampar penguasa kolonial yang tidak menoleransi segala sesuatu yang dinilai nasionalis dan segala sesuatu yang dianggap mengancam eksistensi mereka.
Penggunaan Bahasa Indonesia Kontemporer
Dengan berjalannya waktu, perkembangan bahasa Indonesia makin tidak terelakkan. Mobilitas masyarakat dan perubahan kondisi sosial, politik, ekonomi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat memengaruhi dinamika penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah mampu menjadi wadah untuk ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan kebudayaan. Di samping itu, berbagai macam istilah asing mulai memasuki ruang-ruang publik, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Akhirnya, pencampuran bahasa pun terjadi. Hal ini tentu saja merupakan hal yang galib dan tidak hanya dialami oleh bahasa Indonesia. Semua bahasa mengalami hal yang serupa. Kemunculan berbagai macam istilah asing seolah-olah dianggap kembali mengusik nilai-nilai Sumpah Pemuda. Tidak sedikit yang menganggap bahwa pencampuran bahasa asing dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang harus dihindari. Tidak banyak juga yang menganggap bahwa kehadiran istilah asing tidak mengancam eksistensi bahasa Indonesia.
Sebagai masyarakat yang merasa menggunakan bahasa Indonesia, bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena itu? Apakah hal itu harus diwajarkan atau dihindari? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yakni bahasa berkembang menurut kebutuhan penuturnya; penggunaan bahasa merupakan pilihan penutur yang tidak dapat dipaksakan; penggunaan bahasa merupakan cerminan kreativitas penutur; dan penggunaan bahasa merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi. Ada berbagai macam alasan di balik pencampuran penggunaan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Seseorang yang mencapuradukkan bahasa tidak selalu beralasan untuk hal-hal yang sifatnya prestisius. Ada seseorang yang mencampuradukkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia karena ketiadaan istilah atau kosakata dalam bahasa Indonesia untuk menampung konsep-konsep yang diperlukan (campur kode). Ada seseorang yang mencampuradukkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia karena sedang belajar bahasa asing. Ada juga yang mencampuradukkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia karena kehadiran mitra tutur lain yang belum bisa berbahasa Indonesia (alih kode).
Di sisi lain, penggunaan bahasa pada kalangan muda juga mendorong kreativitas berbahasa dan pengembangan bahasa. Sebagai contoh, kata-kata seperti baper, ambyar, gabut, oppa, julid sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan label “cak” yang berarti hanya digunakan dalam situasi nonformal. Tentu tidak semua kata dapat masuk sebagai entri baru di KBBI. Setidaknya, ada lima syarat agar sebuah kata dapat masuk sebagai entri baru di KBBI, yakni kata itu unik dan belum ada konsepnya dalam bahasa Indonesia, tidak menyalahi sistem ejaan bahasa Indonesia, tidak berkonotasi negatif, eufonik, dan frekuensi pemakaian kata itu cukup tinggi. Penutur muda juga tidak jarang menciptakan ragam bahasa dalam bentuk ketikan yang mencampurkan angka dan huruf kapital, misalnya, “k4mU lag1 ngapaiN?” atau “Aku tidack bwoleh pergi cekalang”. Tidak ada yang salah dengan ragam bahasa seperti itu selama tidak digunakan dalam situasi formal. Lagi pula, ragam bahasa seperti itu hanya populer pada kalangan penutur muda dan sifatnya hanya sesaat. Penggunaan ragam bahasa seperti itu dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi mereka dan untuk membedakan diri dari generasi yang lain.
Selain itu semua, hal yang perlu ditekankan lagi adalah bahwa bahasa bersifat arbitrer. Dengan kata lain, bahasa tercipta karena kesepakatan para penuturnya. Kalau bahasa bukan merupakan kesepakatan yang tercipta dari para penuturnya, tidak akan ada banyak bahasa di dunia ini. Sebagai contoh lain, jika bahasa bukan merupakan kesepakatan para penutur, orang Indonesia tentu tidak akan menyebut binatang herbivor berkaki empat yang biasa digunakan untuk menarik pedati disebut sebagai kuda, orang Belanda tidak akan menyebutnya sebagai paard, dan orang Inggris tidak akan menyebutnya sebagai horse. Hal lain lagi yang paling dapat membuktikan kearbitreran bahasa adalah adanya perbedaan tiruan bunyi atau onomatope antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Misalnya, bunyi ayam jantan dalam bahasa Indonesia berbunyi [kukuruyuk], tetapi dalam bahasa Sunda berbunyi [kongkorongok]; bunyi letusan senjata api dalam bahasa Indonesia berbunyi [tar], [der], atau [dor], tetapi dalam bahasa Inggris berbunyi [pang].
Walaupun demikian, tidak berarti kebebasan dan keluwesan dalam berbahasa tidak menimbulkan masalah. Bagi masyarakat yang setidaknya mengenyam pendidikan hingga lulus sarjana, mereka lebih memiliki akses yang mudah untuk membangun relasi dan menggunakan teknologi digital, sehingga hal ini memengaruhi pemahaman mereka terhadap bahasa. Keadaan seperti itulah yang kebanyakan tidak dimiliki oleh masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, pada waktu tertentu, karena tingkat pendidikan, kondisi sosial dan, ekonomi masyarakat belum merata, pencampuran istilah asing, terutama bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga merepresentasikan perbedaan kelas sosial masyarakat. Jika hal ini tidak diacuhkan, demarkasi antara kelas masyarakat yang dapat menimbulkan segregasi sosial akan terbentuk. Dalam kondisi yang terparah, kondisi ini dapat membuat masyarakat kelas bawah mudah dimanipulasi. Hal inilah yang tak sejalan dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang menjunjung kesetaraan dalam berbahasa.
Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia kontemporer menemui dua permasalahan. Masalah yang pertama adalah tentang pencampuran istilah asing ke dalam bahasa Indonesia yang dianggap mengancam eksistensi bahasa Indonesia dan masalah yang kedua adalah kesenjangan pemahaman bahasa—menyangkut pencampuran istilah asing—yang diakibatkan dari adanya ketimpangan sosial dan ekonomi. Kunci dari kedua permasalahan tersebut terletak pada pembelajaran bahasa Indonesia. Sesungguhnya, pembatasan yang berlebihan terhadap pencampuran bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sama saja dengan praktik kolonial dalam membatasi penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia perlu bertumbuh dengan napas kemerdekaan penuturnya.
Jadi, alih-alih berusaha dengan sekeras mungkin untuk membendung penggunaan istilah asing, langkah yang harus diupayakan untuk mengefektifkan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia, adalah menghubungkan pembelajaran bahasa dengan segala aspek kehidupan manusia, seperti mengkaji bahasa sebagai aktivitas alamiah manusia yang membedakan manusia (homo sapiens) dengan makhluk hidup lainnya; menelaah bahasa sebagai ciri universal manusia yang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan; mencari hubungan bahasa dengan kehidupan sosial manusia; menelaah bagaimana bahasa itu ada; dan bagaimana bahasa dapat menciptakan kenyataan. Jika pengajaran bahasa Indonesia dapat seoptimal dan seefektif itu, pencampuran bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tidak akan lagi dipandang sebagai persoalan apalagi ancaman karena pembelajaran bahasa telah menemukan esensinya, sehingga penggunaan bahasa tidak akan lagi dianggap sebagai ajang pencarian status sosial yang dapat melanggengkan diferensiasi sosial.
***
Editor: Ghufroni An’ars