Beberapa wilayah di Indonesia sudah memasuki musim hujan. Menurut perkiraan BMKG, babak pertama musim hujan terjadi antara bulan September-Desember 2022. Meski ini normal, setiap tahun selalu saja ada kekhawatiran seiring musim hujan tiba. Rasa khawatir tersebut dimiliki oleh hampir sebagian kalangan. Apalagi kalau bukan bencana alam beserta ragam persoalan yang mengekorinya.
Banyak berita mengabarkan berbagai cerita duka akibat banjir dan tanah longsor di wilayah Indonesia. Kondisi geografis Indonesia memang dikenal sebagai salah satu wilayah paling rawan mengalami bencana alam. Bagaimanapun juga, toh, hari-hari ini kita bisa bertahan hidup.
Tanggung Jawab Bersama
Momen berisiko ini kemudian telah jadi isu yang dikawal cukup lama, meski tidak maksimal. Pemerintah misalnya, selaku penanggung jawab serta pelayan penuh masyarakat, pemerintah kerap menggodok beberapa langkah taktis yang sekiranya tepat untuk menghadapi bencana alam akibat hujan.
Praktik mitigasi seperti pengerukan sungai, membersihkan gorong-gorong, memantau curah hujan dan debit air di bendungan, sampai melakukan perbaikan infrastruktur yang berpotensi menyebabkan banjir menjadi aktivitas yang rutin dan wajib dilakukan jika sudah memasuki musim hujan.
Selain mengupayakan langkah preventif, pemerintah juga menyiapkan mekanisme tingkat lanjut apabila langkah-langkah tersebut gagal. Penanganan banjir kemudian tidak hanya selesai pada skala prabencana, tetapi juga masuk ke tahap pascabencana yang memerlukan peritimbangan matang.
Baca juga:
Kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pihak swasta dan elemen masyarakat menjadi poin penting dalam urusan mitigasi bencana. Jangan lupa, kita (masyarakat Indonesia) paling juara dalam urusan gotong royong plus kedermawanan. Meskipun perlu digarisbawahi bahwa porsi terbesar pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada sang pemangku kebijakan.
Manajemen dan strategi mitigasi bencana ini perlu diimbangi dengan kesadaran penuh dari seluruh kalangan. Bencana alam tidak melulu efek destruktif dari fenomena alam, keterlibatan manusia justru punya dampak yang lebih serius dalam memperparah bencana alam, misalnya eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan tambang.
Bencana Alam dan Sosial
Bila menilik dengan serius menggunakan pisau analisis ilmu sosial makro, kita bisa menemukan klaim seperti yang saya bilang di atas. Dorothea Hilhorst dalam awalan buku Disaster, Conflict and Society in Crises (2013) menyatakan proses sosial hari-hari ini menciptakan kondisi tidak setara yang tidak lagi terbatas pada perkara sosio-ekonomi semata, melainkan lebih jauh lagi, yakni menciptakan kerentanan ketika menghadapi bencana bagi sebagian orang.
Kerentanan ini bisa bervariasi, mulai dari ketidakmampuan menghadapi bencana, pengetahuan terhadapnya, sampai kemungkinan untuk bertahan hidup pada saat atau setelah bencana. Relasi kuasa kemudian berperan penting dalam penciptaan kondisi ketidaksetaraan di tengah masyarakat.
Kita bisa melihatnya dari segi wilayah yang terdampak banjir. Mengapa kawasan pinggir kota dan wilayah kumuh lebih sering kebanjiran ketimbang dengan wilayah lainnya? Atau mengapa pada saat banjir terjadi jaring pengaman sosial kelas menengah ke atas lebih kokoh daripada kelas di bawahnya?
Pada kesempatan lain, Hilhorst bahkan menuding dalam praktik “mitigasi” bencana terdapat beragam peluang meraup untung secara politis. Ia mencontohkan bagaimana kamp-kamp pengungsian setelah gempa bumi Izmit pada tahun 1999 di Turki menjadi arena klaim antar kelompok-kelompok politik yang merasa telah menjadi “Hero” di tengah kemelut.
Baca juga:
Semangat Masyarakat
Perlu diingat tidak semua manusia berperilaku merusak lingkungan, memperparah kesenjangan, dan memanfaatkan situasi seperti bencana demi atribusi politiknya. Hal tersebut hanya terjadi pada sebagian manusia yang memiliki akses lebih terhadap modal dan kekuasaan.
Manusia yang seperti itu tidak diakrapi oleh banyak orang, seperti antropolog Roanne Van Voorst. Riset yang ia lakukan di bantaran kali Ciliwung menunjukkan meski berada dalam kombinasi himpitan ruang, kemiskinan, dan tradisi banjir tahunan, tampaknya masyarakat di sana bisa hidup dengan keunikan dan punya varian metode dalam mengantisipasi berbagai masalah, utamanya perkara Banjir. Ada yang berusaha berdikari, dan ada juga yang mengutuk pemerintah sebagai biang keladi.
Apa yang dialami Roanne dalam bukunya berjudul Natural Hazards, Risk and Vulnerability: Floods and slum life in Indonesia (2016) mungkin juga erat dengan kita. Bukan sesuatu yang langka bila kita mendapati praktik urundaya yang diinisiasi oleh sesama warga dalam kondisi bencana. Begitu juga dengan semangat kolektif yang membara ketika membantu sesama melalui kerja fisik pascabencana. Kita seolah tidak pernah kehabisan para penderma dan relawan dalam perkara ini.
Editor: Prihandini N