“Malang bagiku bukan hanya persoalan geografis, lebih dari itu Malang bagiku adalah persoalan dilematis dan problematis.”
Saya ingin membuka tulisan ini dengan mereplika cara mengungkapkan kesan terhadap sebuah kota ala Pidi Baiq, agar tulisan ini sedikit terasa kritis. Meskipun pada akhirnya pembaca akan saya sajikan pandangan-pandangan subjektif tentang dunia persilatan sastra di kota Malang. Sastrawan yang saya maksud dalam tulisan ini merujuk pada orang dengan tingkat kefokusan subtil pada kerja-kerja kepenulisan sastra.
“Menumis itu gampang, menulis tidak.”
Kira-kira begitu jika boleh menukil Mahfud Ikhwan. Menjadi sastrawan tentu bukan perkara mudah. Sependapat dengan Mahfud, saya sudah mulai sinis sekaligus pesimis sejak belum melahirkan karya apa pun yang berbentuk buku. Sekali lagi, menjadi sastrawan memang susah. Dan bertambah susah jika berkeinginan menjadi sastrawan di kota Malang.
Cita-cita tidak mulia menjadi sastrawan di kota Malang ibarat terjun bebas ke kubangan lumpur yang dalam. Sudah kotor, masih harus merangkak perlahan, sembari membersihkan diri. Belum lagi ternyata di dekat kubangan yang satu, ternyata sudah menunggu kubangan lainnya. Cukup njelimet, dan tak heran bila hanya beberapa orang yang masih mau bersastra di Malang.
Sastrawan di Malang, saya rasa harus diakui dan disetujui semua pihak, saling sikut-sikutan. Belum ada kata ramah. Jadi penulis di Malang selain harus kuat dengan kritik senior, juga harus tahan banting dari jegalan kawan seangkatan.
Menggugat Malang yang Malang
Saya iri pada Yogyakarta, Bandung, Surabaya, juga pada DKI Jakarta. Pada kota-kota tersebut, berkecimpung banyak sekali deretan nama penyair. Khusus Jakarta saya tak iri-iri amatlah. Maklum metropolitan, pusat dari segala muara. Kalau tak ada orang yang bergerak di dunia kesusastraan, Jakarta mungkin hanya sekadar bumbung kosong, dan gedung-gedung bertingkat.
Di Yogyakarta banyak sastrawan hilir mudik. Yang “lahir” dan berkarir di sana. Mulai dari angkatan yang satu pantaran dengan Puthut EA, sampai yang muda-muda, seperti angkat Bernard Batubara. Jogja seolah begitu ramah jadi tempat bernaung para sastrawan. Begitu juga yang terjadi di Bandung, Jakarta, maupun kota tetangga, Surabaya. Berbeda dengan Malang, yang sukar sekali dicari siapa sastrawan yang “lahir”, besar, dan kemudian menetap. Royyan Julian? Tidak, Royyan hengkang ke Jogja, lalu besar di Madura. Felix K Nesi? Juga tidak, dia keburu kembali ke tempat asalnya, Nusa Tenggara Timur.
Bahkan untuk yang muda-muda saja, susah menyebut nama sastrawan asal Malang. Kalau toh saya sebut nama Yohan Fikri atau Michael Djayadi, mungkin masih terlalu asing. Paling-paling ada nama Rozi Kumbara, yang dulunya pernah menuntut ilmu di Jogja, dan sekarang sedang menjalani pascasarjana di salah satu kampus negeri ternama di Jogja.
Angkatan yang cukup lawas, sekitar tahun 90-an, mungkin nama Pak Wahyu masih bisa masuk kategori sastrawan. Namun, lagi-lagi tak seperti Jogja yang subur, atau Jakarta yang metropolis, dan Bandung yang memang seni turunan, Malang hanyalah kota yang bernasib malang. Sastrawan seolah tak pernah betah berlama-lama di kota ini.
Sekalipun ada nama Profesor Djoko Saryono, tapi rasanya kurang pas menyebut beliau sebagai sastrawan. Profesor Djoko Saryono bagi saya adalah akademikus sastra, atau bahkan lebih pas disebut budayawan kota Malang.
Meskipun sebenarnya di Malang terdapat beberapa komunitas sastra, tapi saya yakin tak ada yang melampaui nama Pelangi Sastra Malang. Komunitas sastra yang lain kembang kempis, bahkan lebih banyak kempis daripada kembangnya.
Bagi saya, ada beberapa hal yang menyebabkan Malang sepi sastrawan.
Pertama, Malang dihuni oleh rata-rata masyarakat Jawa Timuran yang egosentriknya cukup tinggi. Asa ingin dikenal, ingin dikenang, dan ingin dibicarakan setali tiga uang dengan cara saling sikut dalam berproses menjadi sastrawan.
Kedua, masyarakat Malang belum melihat sastrawan sebagai profesi. Banyak orang Malang yang kemudian kaget dan merasa aneh ketika seseorang ditanyakan pekerjaanya apa, lalu jawabannya bekerja sebagai sastrawan. Bagi kebanyakan orang Malang, sastrawan bukan pekerjaaan dan tidak ada profesionalitasnya.
Ketiga, sulitnya mencari ruang belajar bersama. Saya sebut komunitas Pelangi Sastra Malang. Selain itu, saya kesusahan mencari lagi komunitas sastra di kota Malang yang masih melakukan diskusi kesusastraan. Pelangi Sastra saja sudah mulai rontok, ditinggalkan penghuninya satu-persatu. Ada yang pindah kota, pulang kampung, ada pula yang tiba-tiba menyerah di tengah jalan.
Mencari iklim sastra di kota Malang sesulit mencari satu jarum dalam jerami. Mungkin karena ‘sastra’ dianggap bukan hal yang primer, mahasiswa pun jarang yang berminat pada sastra. Saya rasa, tidak ada alasan kuat juga untuk saya mengajak mereka suka sastra. Toh, juga tidak ada kewajiban.
Setidaknya begitulah curhat sinis dari seseorang yang belajar menulis sastra di kota Malang. Sesekali mencari ide dengan beberapa kawan yang ‘menganggap’ dirinya bakal jadi sastrawan di masa mendatang. Mungkin mereka akan ‘jadi’ suatu hari nanti, mungkin juga tidak. Tapi saya yakin mereka akan meninggalkan kota Malang-dengan ataupun tanpa alasan.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Wah, sedih tau fakta ini. Aku yang lagi demen-demennya belajar dan baca buku sastra emang kepikiran pengen pindah ke kota lain, kelak. Wkwkwk penulis kayak dah meramal mauku sebagai orang Malang 🙂
Terlalu gemas untuk tidak mengungkapkan uneg-uneg, yang ternyata sudah cukup dijelaskan secara (nyaris) gamblang oleh Mas Dani ini.
Mas, maturnuwun sudah menuliskan “curhatan sini” yang besar kemungkinan ndak cuman saya saja yang mengalami ataupun merasakan, tapi juga mereka di luar sana.
Jujur, buat saya tulisan ini terlalu gamblang. Saya salah menulis kata “nyaris” tadinya. Tapi justru ini malah gamblang sekali untuk menuliskan rasa kecewa yang dibalut epic. Maturnuwunn, lur!
Terlalu gemas untuk tidak mengungkapkan uneg-uneg, yang ternyata sudah cukup dijelaskan secara (nyaris) gamblang oleh Mas Dani ini.
Mas, maturnuwun sudah menuliskan “curhatan sini” yang besar kemungkinan ndak cuman saya saja yang mengalami ataupun merasakan, tapi juga mereka di luar sana yang ndak berani bersuara.