Jakarta
Pergilah, kau, pergi!
Jakarta akan mengoyakmu
berkali-kali
: kesepian adalah tanggung jawab pribadi,
rekening dan Kawa-kawa tak akan mampu menolongmu—barang sejenak
Menenggelamkanmu.
Sentuhlah Jakarta!
Atau kalau perlu, dengan rendah hati
peluklah mereka yang berlarian
dikejar waktu. Dituntut perlu.
Dicabik restu.
“Kalau sudah cukup, pulanglah, Nak!
cepat lamar calonmu,”—kata seorang ibu.
Tapi Jakarta tak pernah peduli
kepada anak yang kebelet menikah.
Yang Jakarta tahu bagaimana mereka
berlarian; membeku; kesepian; mampus
: tak lupa banjir, yang menjadi wajah lama serta banjir air mata dari seorang bocah yang lapar dan kakinya yang merindu pada rumput
Pergilah ke Jakarta!
Sampai kau muak pada Jakarta
sampai Jakarta mengusirmu
Perlahan demi perlahan
kau terusir oleh kepengapan dan kesepian Jakarta
yang mendekap isi dompetmu.
–
Pulanglah, Nak!
Setelah berjejal pedih dan tertimbun bangkai
waktu. Ia pulang. Pulang pada
ketakpastian.
Pada perjalanan pulangnya, ia bertemu ratapan
pertanyaan yang brengsek.
“Apakah perjalananmu telah berjalan?”
Waktu seakan berhenti. Matanya sayu
isi kepalanya bisu. Perlahan ia sadar
: sejauh apapun, sebanyak apapun pertemuan. Dirinya tetap sendiri.
sampai pada akhirnya kematian
pun tiba dengan sendiri—namun
entah jika kematian di tangan aparat
Keparat.
–
Nasib
Seorang bijak bestari dari Yunani pernah berfatwa—yang di kemudian hari
didaras-ulang oleh Soe Hok Gie:
“Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang kedua terlahir namun mati muda.
Yang paling sial adalah mati di umur tua. Beruntunglah mereka yang mati di usia muda.”
Sayang seribu kali sayang. Nasib
tak pernah berpihak pada umur.
bahkan terkadang nasib berpihak
pada sumur—orang mati kecebur sumur.
Nasib tak pernah dapat diatur. Meski selalu kerja lembur,
nasib adalah kepongahan yang tak pernah menganggur.
Nasib terbaik adalah tak tahu. Tak tahu akan kesepian
yang selalu berhasil memporak-porandakan filsafat
menjadi keping-keping yang sia-sia
di ujung waktu.
Nasib pada akhirnya menjadi wahana:
Wahana perjudian yang agung dan kudus—karena
yang ditaruhkan adalah nasib itu sendiri.
Maka setiap bangun tidur, sempatkan mewiridkan ini
dengan khidmat dan getir:
“Ah, sialan! Nasibku hari ini akan kembali kutaruhkan dengan
waktu—yang sangat singkat dalam 24 jam; yang sangat panjang
dalam rentetan keterasingan.”
Bangsat!
–
Untuk Apa?
Sekelibat pertanyaan itu hadir
menempeleng isi kepalamu
: yang kokoh oleh konstruksi—mulai dari Thales yang basah, hingga Camus yang gigil dibakar keabsurdan hidup
Untuk apa?
Kau dekonstruksi konstruksi itu. Hancur.
Sia-sia hingga pada akhirnya kau tahu:
Untuk mengetahui kesia-siaan, mula-mula, kau harus berguna—
demi bangsa, agama, dan negara jika perlu—hingga kau sangat
berguna dan dipergunakan. Lalu dengan getir kau mengucap:
“Untuk apa? Jika semua ini adalah kesia-siaan yang sia-sia.”
Lalu menangislah!
Lalu berteriaklah!
Lalu hiduplah!
dalam ketiadaan nilai; dalam ketiadaan
yang ada;
dalam kebergunaan yang sia-sia;
dalam kesia-siaan
yang berguna;
Untuk kesementaraanmu.
–
Menari di Pemakaman
/1/
Sore itu—saat Sukab gagal mencuri sepotong senja—sekumpulan manusia berkumpul. Mulut mereka komat-kamit: merapal dedoa, mendoakan ketenangan, menanyakan penyebab kematian. Tak ada pernyataan dari pertanyaan kematian, selain “karena apa ia mati?”.
Keluarga mulai unjuk gigi. Kematiannya disebabkan oleh negara. Kematiannya direncanakan oleh isi kepala, sampa-sampai, Sang Maut dipaksa lepas dari Sang Maha Ini-Itu-Begini-Begitu-Anu. Sang Maut mulai tunduk dengan konstitusi. Sang Maut menjadi kaki-tangan negara—yang menyengsarakan dan mematikan;
Negara membunuhmu!
/2/
Apakah yang dicari negara?
Dengan mengendalikan Sang Maut,
negara sudah punya kuasa penuh
atas nyawa manusia—nyawa kita yang luka dan sepi ini. “Hati-hati! Jarimu yang bergoyang, nyawamu bisa melayang.”
Dan negara tak dapat apa-apa selain kekekalan yang semu. Kekayaan yang palsu.
Keluarga yang mati masih menangis. Anak yang menjadi yatim semakin melongo
menerima ucapan dan sedikit pesangon dari pembunuh ayahnya.
Keyatimannya pun sempurna.
/3/
Sedangkan aku sedang menari-nari di atas kuburnya.
Bukan. Bukan diriku yang ringkih ini. Tapi segumpalan pertanyaan yang bersenyawa.
“Mengapa yang sudah mati didoakan agar tenang? Bukankah ketaktenangan lebih berpihak pada kita: yang hidup, yang dililit negara, yang tak menentu tapi tentu bersama kesendirian?”
Bagi kita yang hidup, negara tak pernah redup menyinari kesepian dengan senjata
dan gas air mata.
Hati-hati!
Negara selalu berhasil mengisi kekosongan kita dengan kekosongan yang memabukkan.
: ingar-bingar perjamuan akbar G20, aturan-aturan yang mengambil-alih Tuhan, omong-kosong kesejahteraan. Sampai kita diperas waktu, negara hanya butuh suaramu lima tahun selalu.
Lahirlah berkali-kali, jika kau telah mati oleh negara.
Negara akan mati jika kekosongan telah memenuhi
kekosonganmu.
(Yogyakarta, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA
Waw keren sekalii