Mata Kota dan Puisi Lainnya

Asri Eka Mutiara

52 sec read

Op. 9 No. 2

Musim rerintikan telah tiba
Waktunya senggama dengan cuaca
yang kian tak tertata
Hujan bawa pesan rindu dari udara
yang tak dikenal sesiapa

Kita hidup berkawan luka, nona
Di matamu tergenang segara,
tempatku melarut senyawa tawa
Sesekali meluap menyusuri rongga dada
Tempat Chopin berdenting nyaring
dan menggema

Bu?

Tuhan petakan liku semesta
di tubuhku yang tabah
Linu tapi terus melaju

: duduklah bu, tolong rajut kembali
bahuku yang koyak digerus waktu

Ibu mengelus kantukku yang pulas,
Lembut, jarum ibu merajut
nyeri di ulu hati

Ibu bergegas pergi,
saat pagi mulai menyergap gelap

Bagaimana malammu, Bu?
Apa cengengku mengusik tidur
panjangmu di kedalaman mimpi?”

Berita Kepada Mas Ebiet

Kupu-Kupu kertas itu
hinggap di kelopak mata Camellia
Saat ia membuka jendela,
ditemuinya seikat berita
Bahwa Ayah kini telah renta
dibentur peristiwa-peristiwa
Rambutnya berubah warna,
kakinya ke mana-mana selalu tiga
Giginya raib dicuri-dirampas usia
Tak ada waktu merenungkan
seraut wajah lelaki tua
Beribu bayang membututi
ke mana pun aku pergi

Ayahkah itu?
Rumput sibuk bergoyang,
tak sempat jawab tanyaanku
Aku ingin pulang, o Ayahku …

Mata Kota

Telah lama ia terbaring
menopang gedung
yang congkak berdiri
Sesekali ia terkantuk
dan terbatuk-batuk
pandangannya sering kabur
merekam kejadian-kejadian
yang lenyap ditelan
jahanamnya debu jalanan
Atau, terselip di antara
deru hilir mudik mesin politik

Aku di sini saja, menatap nyala
senja yang redupnya itu
persis seperti matamu

Semacam Gerak

Seperti rindu
yang diperam seharian
Lalu dikupas temu pada malam
kemudian
Ah, brengsek!
Hatiku tak karuan

*****

Editor: Moch Aldy MA

Asri Eka Mutiara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email