Khazanah kesusastraan tidak pernah luput dari dialektika perdebatan. Sepanjang sejarahnya, berulang kali perbedaan pandangan membawa ke titik gelanggang perdebatan. Salah satu momen perdebatan penting – yang kian hilang dari ingatan – adalah perdebatan mengenai arus kritik sastra baru yang cukup menggoncangkan dan memantik banyak komentar, Kritik Ganzheit.
Di akhir tahun 1960-an, Kritik Ganzheit ramai menjadi perbincangan para pegiat kesusastraan. Dibawakan oleh duet Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, Kritik Ganzheit sontak menjadi perdebatan karena membawa gaya baru dalam pembacaan karya sastra dan praktik kritik sastra yang bertolak belakang dengan arus yang sudah mapan kala itu – sampai sekarang – yakni, apa yang selama ini dikenal dengan metode analitik atau metode akademis.
Diperkenalkan pertama kali melalui esai dengan judul “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” yang dimuat di majalah Horison No. 4 Th. III, April 1968, Arief Budiman dan Goenawan Mohamad berkeinginan mengajak pembaca sastra melakukan pembacaan dan melakukan kritik sastra secara ‘totalitas’ serta mengembalikan kedudukan ‘pengalaman unik’ pembaca dalam memaknai pembacaannya. Berpaku pada dasar argumen yang disampaikan lanskap psikologis Gestalt-nya Wilheml Wundt, Kritik Ganzheit tumbuh sebagai paradigma baru yang berbeda.
Pertemuan dengan Totalitas
Dalam praktiknya, metode Kritik Ganzheit membayangkan pembacaan karya sastra dan praktik kritik sastra seperti pertemuan antara manusia dengan karya itu sendiri. Selayaknya sebuah ‘dialog’, proses pembacaan dan praktik kritik sastra merupakan pertemuan dua subjek yang otentik. Lebih lanjut, pertemuan dua subjek (manusia-karya) tersebut melahirkan suatu proses yang dinamis, suatu penghayatan langsung, usaha reflektif tanpa terlebih dahulu melalui analisa dan pendekatan diskursif.
Para penganut metode Kritik Ganzheit membayangkan, memahami suatu karya sastra seperti halnya memahami seorang manusia. Bukan terlebih dahulu memahami bagian tiap bagian, atau unsur tiap unsur (bagian tubuh, sifat, dsb, jika dalam konteks analogi manusia), melainkan memahami manusia sebagai totalitas atau keseluruhannya. Sebuah penegasan yang kuat, peran psikologi Gestalt dalam membangun dasar argumen metode Kritik Ganzheit.
Bayangan soal pertemuan dengan totalitas tersebut membawa kritik Ganzheit mengajak pembacaan karya dan praktik kritik sastra, pertama-tama adalah menemui – menghayati – karya secara totalitas, bukan memalui unsur tiap unsurnya satu per satu. Melaluinya, pertemuan dua subjek secara dinamis tersebut merupakan bentuk reflektif yang menghasilkan pengalaman tersendiri dalam membangun makna dari proses pembacaan karya sastra.
Sedangkan unsur-unsurnya, yang selama ditekankan dalam metode analitik, yang terkesan kaku-beku tersebut seakan kembali hidup sebagai sebuah totalitas lain yang baru. Yang mampu direkreasi sebagai makna-makna baru yang selama ini tersungkup..
Metode Kritik Ganzheit berjalan dengan tujuan menempatkan kembali suatu karya sebagai subjek bukan semata objek, disamping subjektivitas manusia (pembaca) itu sendiri.
Membongkar Objektivitas, Mengembalikan Subjektivitas
“Apa yang disebut benar, barulah benar, jika dan sesudah saya akui. Apa yang disebut pasti, barulah pasti, jika dan sesudah saya akui.” Begitulah sederhananya Kierkegaard membagikan pengalaman reflektifnya pada kehidupan. Selaras dengan itu, metode Kritik Ganzheit pun turut ingin mengembalikan ‘pengalaman unik’ pembaca yang selama ini tersungkup dibalik pengaruh kuatnya pakem objektivitas.
Sejauh ini, karya sastra diposisikan sebagai suatu yang objektif dalam proses pembacaan. Begitu pun dalam praktik kritik sastra, pembaca seakan menyembunyikan pengalaman unik atas pembacaannya dibawah kuasa metode dan ukuran umum kritik yang selama ini dilestarikan dalam budaya akademis sastra.
Melawan kuasa tersebut, metode Kritik Ganzheit membawa suara penyingkapan dengan menempatkan kembali karya sastra sebagai realitas khusus. Lebih dari itu, ‘pengalaman unik’ atau subjektivitas pembaca turut diberikan tempat dalam usaha reflektif pembacaan untuk membangun makna dari hasil proses pembacaannya.
Baca juga: Pembantaian Ilmu Pengetahuan
Pengembalian subjektivitas keduanya, yang dalam awal pembahasan dianalogikan sebagai ‘dialog’ tersebut, menyiratkan bahwa dialog yang dibayangkan bukanlah pembaca dengan karya sebagai hasil-teknik, melainkan karya sebagai pengarang-pribadi itu sendiri.
Melaluinya, kaidah-kaidah kesusastraan yang selama ini berpengaruh cukup kuat harus diakui sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan terbatas. Sebab, selayaknya kehidupan itu sendiri – jika kita membayangkan sastra adalah semesta kecil kehidupan – adalah sesuatu yang terus mengalir, bersifat infinity dalam mereproduksi dan merekreasi makna itu sendiri.