SAJAK MERAH
Jika saling meradang membuat kita lupa
bagaimana memainkan bidak catur dan bumerang,
coba dengar ketuk palu yang meraut di dinding wajah;
Mereka melukis merah di kerut kulit, sepotong amarah
diikatkan darah juga patuk moncong senjata
merangsang pelatuk di urat vena.
–
SAJAK JINGGA
Di akhir pekan, biasanya kamu pergi memingit
tapi dua tangkai mawar, menghadap ke arah langit
yang memancar semburat jingga, menyerakkan sisa pilu,
juga air mata yang runtuh dalam sehelai tisu
merayakan sedih setahun lalu jatuh di retak telapak.
–
SAJAK KUNING
Aku tak bisa menaruh ceria
di antara teluk dan dangkalnya senyummu
pun doa para pendoa pada gagang laci atau juga
kotak hadiah: isi rayu dan sekantung emas dalam butir debu.
mengempas daun-daun gugur pada batang jemari manis
yang kamu sesap seperti menyesap ampas serbuk kayu.
–
SAJAK HIJAU
Siul burung masuk dalam perangkap
gelak tawa tuan rumah memisahkan pelan
dari kenyataan malang. Di sayapnya robek.
Di rumah asalnya, induk merunduk lesu dan mengigau
ke mana kamu nak? Kuderaskan mohon untukmu
//Sedang lambaian pohon-pohon di taman memberi petunjuk//
Dari arah barat tumbuh meluap
siul yang terjebak. Selebar poster yang tersebar,
membawa kabar duka. Tak ada lagi tekanan yang menjumpai kematian.
–
SAJAK BIRU
Rintik abu jatuh di dada pintu
langkah kaki dan derap sepatu
ikut luruhkan hati yang rapuh
tak pernah sebelumnya juga laut berniat
berkhianat kepada tenang, hening dan biru
sementara kamu tak mampu membendung haru.
–
SAJAK NILA
Tak ada kemenangan tanpa pengorbanan
juga kepercayaan setangkas bulu awan
pupus ditelan krikil-krikil kecil jalanan
gelap berkepanjangan, terentang pasrah
kita yang asing terpenjara di perca kabut harapan.
–
SAJAK UNGU
Manisku, aku tak ingin mengganggu istirahatmu dari kacau dan bingung. Tapi
bolehkah aku jadi bagian dari guling, selimut, dan doa-doa
yang kau sebut? Atau yang lain, misal aku menjadi gelas berisi keluh
yang kau tuang dengan hujan sebelum benar-benar reda?
Begitupun alarm jam di atas pena, bianglala yang kau gantung di
kepalamu yang sunyi, juga perabotan yang menggunung
menertawai; betapa bodoh aku menyimpan cerah pagi dalam almari
dan rahasia-rahasia besar dan konspirasi dan apapun yang membuatku larut dalam sihirmu.
–
DEKONSTRUKSI WARNA-WARNA
Semesta menata ulang ulir rindu
di lengkung horizon
ketika kumbara angin mencari
tujuh warna, digambar dengan cinta
jarak sejengkal dari pangkal kanvas,
dari pekat waktu dan napas
mempertemukan bumi kita
menyapa anak-anak kita yang berlarian
di sore hari menuju mimpi-mimpi
yang tak pernah selesai meninggalkan
jejak-jejak pelangi.
*****
Editor: Moch Aldy MA