Tuntutlah Ilmu Sampai ke Timur Tengah: Menyudahi Stigma dan Salah Kaprah Orientalis

Zahra Shaffa

3 min read

Kenapa ada banyak sekali perhatian yang diberikan kepada kawasan Timur Tengah (atau MENA, Middle Eastern and North Africa) selama beberapa dekade terakhir?

Ketika seseorang menjawab dengan “mereka ‘kan punya banyak konflik!”, agak berat untuk seratus persen mengabaikan kebenaran yang terselip di jawabannya. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), dinamika politik dan ekonomi yang membentuk rangkaian krisis yang terjadi di kawasan Timur Tengah nyaris mendominasi hampir seluruh aspek negara-negara tersebut. Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa semua ini berakar pada sejarah, tekanan demografis, kegagalan perkembangan ekonomi, korupsi dan nepotisme, serta diskriminasi. 

Namun, mengapa masih banyak orang Indonesia yang semangat pergi melanjutkan studi ke Timur Tengah—kawasan yang “penuh dinamika” tersebut?

Menurut data UNESCO Institute for Education, angka pelajar yang melanjutkan studi ke Timur Tengah melonjak tiga kali lebih tinggi sejak tahun 2000, mencapai angka enam juta orang tiap tahunnya. Salah satu alasan yang mendorong peningkatan pelajar asing ini disebut-sebut sebagai “open minds for all” yang menunjukkan bahwa naiknya lanskap demokrasi di negara-negara Arab berperan penting bagi naiknya daya tarik pendidikan Timur Tengah.

Meski pamornya masih kalah saing dengan universitas-universitas ternama dunia macam Oxford dan Harvard, kualitas yang dimiliki oleh universitas-universitas Timur Tengah ternyata tidak main-main. King Saud University di Arab Saudi, misalnya, berhasil bersaing dengan perguruan tinggi lainnya di dunia dan masuk dalam 100 besar universitas terbaik sedunia. Ekspresi nyata dari berkembangnya akademisi Arab adalah peningkatan dramatis dalam penawaran akademis di wilayah tersebut, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Ahmad Taqiyuddin (33) dan Risma (20) adalah dua orang Indonesia yang pernah dan sedang melanjutkan pendidikan tinggi di Timur Tengah. Menurut penuturan mereka, kebanyakan motif yang mendorong orang untuk belajar di universitas-universitas ternama Arab Saudi, Mesir, dan Yaman adalah kualitas pendidikan dan motivasi keagamaan. 

Tercatat, banyak negara Timur Tengah yang secara aktif mencari kemitraan dengan penyedia pendidikan internasional. Hal ini diusahakan demi menghadirkan perkembangan program dan kursus bagi pelajar-pelajarnya. Lalu, negara seperti Uni Arab Emirat juga mulai berinvestasi pada kemitraan-kemitraan internasional. Knowledge Village di tahun 2007, misalnya, kemitraan tersebut berhasil membuat Uni Arab Emirat merumahkan 32 cabang universitas asing dari seluruh dunia, serta mampu mengatur kualitas pendidikan lewat skema operasi investasi bersama dengan negara-negara terlibat.

Selain itu, fakta bahwa Timur Tengah merupakan tempat kelahiran tiga agama samawi menjadikan negara-negara di kawasan ini tanah suci bagi beragam agama–Islam, Yahudi, dan Kristen. Kunjungan-kunjungan yang dilakukan ke tanah suci agama-agama inilah yang memantik keinginan para penganut untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah, dengan dalih keutuhan ilmu dan kemurnian ajarannya. 

Bingkai Muram Timur Tengah

Muramnya penggambaran Timur Tengah merupakan buah malfungsi media sebagai alat bagi usaha perdamaian. Media berperan penting mendokumentasikan dan memaparkan realitas yang ada pada masyarakat di seluruh dunia, dalam waktu yang cepat. Media seharusnya menciptakan peluang pada tahap awal proses perdamaian, termasuk membantu pengumpulan dan analisis data, memperkuat pesan perdamaian, dan mendiversifikasi dialog.

Namun, lihatlah apa yang mereka lakukan pada Timur Tengah. Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh MENA Arts Advocacy Coalition menemukan bahwa 242 acara TV dan streaming bernaskah yang ditayangkan pertama kali antara tahun 2015-2016 kurang mewakili aktor MENA. Saat memasukkan karakter MENA dalam acara TV primetime, mayoritas (78%) menggambarkan peran teroris, tiran, agen, atau tentara yang menggunakan aksen mengolok-ngolok. Sudah bukan sekali-dua kali media asing yang justru bersikap “sok tahu” tentang bagaimana isi dari kawasan Timur Tengah itu sendiri.

Sebagai usaha memitigasi dampak negatif penggambaran media terhadap pendidikan di kawasan MENA, penting untuk mendorong partisipasi keberagaman, keterwakilan yang akurat, dan literasi media yang kritis. Hal ini termasuk melibatkan individu MENA dalam pembuatan konten, meningkatkan kesadaran tentang warisan budaya kawasan, dan mempromosikan pemahaman dan apresiasi terhadap beragam budaya dan kontribusi kawasan MENA. 

Baca juga:

Pelajar-pelajar Indonesia sendiri tampaknya tidak begitu terganggu dengan gambaran-gambaran media asing terhadap Timur Tengah. Buktinya, setiap tahun pendaftar beasiswa ke Timur Tengah semakin meningkat. Tahun 2023 saja, ada lebih dari 170 mahasiswa yang mendaftar ke Al Azhar, Mesir, menurut Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Per 2022 saja, setidaknya ada lebih dari 12 ribu mahasiswa yang belajar di Mesir. Itu belum dengan universitas-universitas di negara lain.

“Kalau di Yaman, saya tidak merasa asing walaupun jumlah kami (para mahasiswa yang berangkat  waktu itu) hanya sekitar 120 orang. (Hal ini) dikarenakan penduduk lokal menghormati tamu, dan mereka terkenal berhati lembut,” begitu tutur Ahmad ketika ditanya soal impresinya sebagai pelajar Indonesia di Timur Tengah. Dirinya sendiri sudah lama lulus dari Universitas Al Iman, Yaman, yakni pada tahun 2015. 

Konflik di Timur Tengah, seperti perang di Palestina, Irak, dan Suriah memang ternyata turut berkontribusi terhadap persepsi negatif ke kawasan tersebut. Akan tetapi, dua narasumber wawancara kali ini justru berkata lain. Sungguh benar setidaknya pikiran soal konflik tersebut melintas, tetapi kesan-kesan pertama mereka setelah menginjakkan kaki di sana justru sebaliknya. “(Stereotipe itu) tergantung masing-masing negaranya: kalau Saudi cenderung ingat haji dan umroh, kalau Mesir cenderung ingat sungai Nil dan Al Azhar, kalau Libya dan Yaman untuk sekarang cenderung dianggap negara yang sedang konflik dan perang saudara.”

Kisah lain dituturkan oleh Risma yang saat ini sedang menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Mesir. Bagi Risma, impresinya saat mendarat di Timur Tengah pertama kali melekat pada perilaku warga lokal. “(Mesir) punya temperatur yang lebih panas dari Indonesia dan orangnya sopan-sopan,” begitu katanya. Lalu disambung dengan, “Sejauh ini, ilmu yang didapatkan rasanya tidak mungkin didapatkan di Indonesia dengan sedetail ini. Hasil lulusan (dari universitas-universitas di Timur Tengah) berkualitas dan akhlaknya terjaga, juga karena ilmu agama di sini lebih baik (jadi saya memilih untuk melanjutkan studi di sini).”

Heterogenitas demografinya juga menyumbang impresi baik ke Timur Tengah. Menurut Statista, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang beragam dengan populasi lebih dari 381 juta orang. Beberapa kelompok etnis terbesar di kawasan ini ada Arab, Azerbaijan, Kurdi, Persia, dan Turki. Masing-masing negara memiliki ciri khas yang memperkaya keunikan budaya di kawasan tersebut. 

Selain itu, peningkatan jumlah pelajar Indonesia yang berangkat ke Timur Tengah juga disinyalir memiliki hubungan historis dengan kebijakan luar negeri Indonesia sekarang dan di masa lampau. Tentunya, Konferensi Asia-Afrika (KAA) masih segar di dalam ingatan kita. Kerja sama-kerja sama yang lahir semenjak konferensi tersebut terbukti masih terjalin erat sampai sekarang, membuktikan kalau Indonesia dan negara-negara Timur Tengah masih mesra. Bila di masa lampau KAA menjadi saksi usaha dan pengakuan terhadap negara-negara Asia dan Afrika yang ingin merdeka, di masa kini perpanjangan dari hubungan mesra tersebut hadir dalam bentuk penerimaan bahwa mahasiswa Indonesia pun bisa bersaing dalam pendidikan internasional lewat keberangkatannya ke Timur Tengah.

Jadi, kawasan yang “penuh dinamika” itu tidak buruk-buruk amat, ‘kan?

 

Editor: Emma Amelia

Zahra Shaffa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email