Perasaan menggelitik muncul kala menyaksikan drama The Devil Judge (2021) di layar gawai. Dalam cuplikan drama kita menyaksikan aktor Baek Hyun-jin yang berlakon sebagai presiden Korea sedang meyampaikan pidatonya. Dengan berapi-api dan agak konyol ia mengobarkan semangat patriotisme. Seruan lantang untuk menjaga kemurnian ras asli Korea digaungkan. Tak ketinggalan pula dengan slogan Negara yang hebat, Korea. Warga Korea murni! Reaksi anarkisme dari sekelompok pemuda pun lahir. Di jalan-jalan mereka melakukan kerusuhan dan pengroyokan terhadap warga negara asing. Kisah fiksi ini dengan apik memotret keadaan distopia sebuah tatanan masyarakat.
Di masa lalu kita membaca kisah seorang Hitler. Ia bersama sekte humanisnya, Nazi membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan “mereka”. Teori bahwa ras Arya memiliki kualitas terbaik ─rasionalisme, keindahan, integritas, dan ketekunan─ pun diimani. Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2010) mencatatkan, karena alasan keunggulan ras inilah yang membuat Nazi berambisi untuk melindungi dan memperkuat ras Arya. Sedangkan jenis-jenis Homo sapiens yang dainggap rendah seperti Yahudi, kulit hitam, Roma, homoseksual, dan sakit mental harus dikarantina bahkan dilenyapkan.
Melihat yang bukan bagian dari “kita” sebagai Liyan akan menetaskan sikap sentimen dan intoleran. Keberadaan hak-hak dari “mereka” pun kerap direnggut paksa. Perlakuan buruk inilah yang diterima pula oleh kaum Yahudi saat masa Perang Dunia II. Kepapaan hidup kaum yang dianggap inferior ini bisa ditengok melalui pengalaman Wladyslaw Szpilman, seorang pianis muda Yahudi. Kisah nyatanya diabadikan dalam sebuah film berjudul The Pianist (2005) yang disutradarai oleh Roman Polanski.
Berlatarkan masa pendudukan Jerman atas kota Warsawa, Polandia pada tahun 1940an. Keseharian Szpilman dan orang Yahudi lainnya diatur oleh tentara Jerman. Setiap orang Yahudi di atas usia 12 tahun wajib memakai emblem bergambar bintang Daud di tangan kanan. Emblem jadi lambang identitas orang Yahudi yang memisahkan mereka dengan orang Polandia non-Yahudi. Para Yahudi dilarang menggunakan fasilitas publik seperti taman dan trotoar jalan. Dalam sebuah adegan Szpilman dan teman kencannya bahkan dilarang untuk masuk ke kedai kopi. Puncaknya adalah ketika 400.00 ribu lebih orang Yahudi diisolasi dalam distrik khusus yang disebut ghetto. Saban hari mereka semua hidup sebagai kuli-kuli macam romusha. Tak berhenti di situ, genosida besar-besaran terhadap orang Yahudi pun terjadi, sehingga hanya menyisakan puluhan ribu nyawa dari mereka.
Mengapa identitas tunggal seorang manusia menjadi begitu penting untuk menentukan perlakuan apa yang pantas diterima oleh mereka?
Ilusi Identitas Tunggal
Jauh sebelum Indonesia terbentuk, pemerintahan Hindia Belanda pun memperlakukan manusia berdasarkan rasnya. Pramoedya Ananta Toer lewat novelnya Bumi Manusia (1980) menggambarkan bagaimana strata sosial ditetapkan berdasaran ras atau etnisnya. Orang-orang Eropa atau Belanda totok berada di kelas satu, orang-orang Arab, Tionghoa dan Indo berada di kelas dua, dan di kelas terakhir ada orang-orang pribumi. Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, hukum dan bidang lainnya tak pernah didapatkan pribumi di masa itu.
Kekerasan yang terkait dengan konflik identitas tampak terjadi berulang kali di seluruh dunia dan berkembang secara terus menerus. Seakan menginternalisasi sikap bangsa penjajahnya, Indonesia mutakhir menunjukkan sikap diri sebagai penindas. Dari mulai diskriminatif terhadap orang Papua sampai sentimen anti-Tionghoa. Rezim orde baru aktif melarang segala sesuatu yang bertalian dengan Tionghoa. Dari mulai praktik kepercayaan, kebudayaan dan politik. Hingga peritiswa Mei 1998 meletus, korban penjarahan, pembunuhan, kekerasan terhadap etnis Tionghoa berjatuhan. Ribuan perempuan Tionghoa pun diperkosa. Kisah pilu para perempuan ini minim terungkap dan tak pernah tuntas. Namun Seno Gumira Ajidarma mencoba menceritakan kebiadaban sejarah itu lewat cerpennya bertajuk Clara Atawa Wanita yang Diperkosa (1998).
Konflik dan kekerasan jamak terjadi sebab adanya ilusi tentang sebuah identitas tunggal yang serba mutlak. Pandangan ini menafikan bahwa sesungguhnya manusia memiliki beragam identitas dan afiliasi lainnya. Akibatnya kita secara kaku memisahkan atau mengotak-ngotakkan orang berdasarkan ras, suku, agama, ideologi, budaya, bangsa, atau peradaban. Ilusi tentang identitas tunggal inilah yang dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kekerasan (2006) dapat memecah belah.
“….ilusi ini bahkan bisa mengalahkan rasa simpati dan kebaikan manusia apapun yang lazimnya kita miliki. Hasilnya bisa berupa kekerasan buas di dalam negeri, maupun keberingasan dan terorisme yang canggih di arus global.” (hal.XVI)
Amartya Sen mengenang kembali saat-saat kerusuhan komunal berdarah Hindu-Muslim pada tahun 1940an. Konflik ini pula yang membelah negaranya menjadi India dan Pakistan. Kala itu Sen baru berusia 11 tahun. Di depan pagar halaman rumahnya ia melihat seseorang ditusuk hingga mati. Orang itu adalah Kader Mia, buruh serabutan Muslim. Ia mati ketika berjuang mencari kerja demi upah yang kecil untuk menghidupi keluarganya di masa-masa yang amat sulit itu. Penikamnya adalah sekelompok Hindu yang sebenarnya juga buruh yang sama-sama miskin. Nyatanya kesamaan identitas kelas ekonomi tak mampu membangkitkan rasa kemanusiaan mereka. Kader Mia dilihat hanya memiliki identitas tunggal, yakni Muslim yang dianggap bagian dari komunitas “musuh” sehingga “mesti” dilenyapkan.
Tanpa menimbulkan paradoks, seseorang dapat memiliki identitas sebagai seorang warganegara Indonesia, asal Malaysia, keturunan China, pemeluk Muslim, seorang liberal, seorang perempuan, seorang feminis, seorang heteroseksual, seseorang yang mengakui hak-hak LGBT secara bersamaan. Kemajemukan identitas seseorang menjadi hal yang tak terelakkan. Menafikan kemajemukan tersebut dengan memandang manusia berdasarkan identitas tunggal akan melahirkan kepicikan.
Kita mendengarkan John lennon dalam syair lagu Imagine yang diciptakannya pada 1971. Lagu diputar di radio-radio Amerika Serikat pasca tragedi WTC 20 tahun silam. Lewat syairnya Lennon mengajak kita untuk membayangkan sebuah dunia utopis. Dunia dimana orang-orang dapat hidup dalam damai tanpa perbedaan. Dunia tanpa negara, tanpa agama, tanpa politik sehingga tak ada orang-orang kelaparan dan mati karena kekerasan.
Saya tak berani ikut bersama Lennon. Memimpikan sebuah kemustahilan. Tapi bukankah dengan sadar dan nalar kita selalu mencoba mengupayakan mencapai keutopiaan itu? Dengan tetap memahami secara jernih terhadap kemajemukan identitas manusia. Memandang bahwa kita semua berbeda-beda dalam keragaman.