Rasisme merupakan istilah yang sudah cukup akrab dan dapat dengan mudah dijumpai dalam diskursus akademik Ilmu Sosial maupun Ilmu Alam. Dalam sejarahnya, istilah rasisme merujuk pada suatu sistem eksploitasi manusia yang didasarkan kuat pada perbedaan ras.
Eksploitasi ini mendapat legitimasi dari Ilmu Biologi maupun Ilmu Sosial. Baru pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan berkembangnya semangat dekolonisasi di dunia, praktik ini mulai ditentang keras baik dalam keseharian maupun akademik.
Mulanya, di lingkup keilmuan Hubungan Internasional, jangankan mendapat kritik yang masif, diskursus ras maupun rasisme justru tidak mendapat perhatian yang begitu besar. Jurnal International Studies Quarterly, misalnya, dari Januari 2000 sampai Desember 2007, tidak ada satu pun diskurus ras maupun rasisme yang muncul dari 260 judul artikel yang telah diterbitkan.
Baca juga:
Kondisi inilah yang menginspirasi penulisan buku Race and Racism in International Relations: Confronting the Global Colour Line dalam rangka mengajukan suatu perbincangan serius tentang isu ras dan rasisme dalam Hubungan Internasional. Meminjam semangat dan konseptualisasi dari seorang sejarawan Afrika-Amerika, W. E. B. Du Bois, buku ini berusaha melakukan refleksi akademik terhadap konsep, teori, maupun realitas dunia internasional.
Masing-masing artikel dalam buku ini mengartikulasikan apa yang Du Bois ajukan sebagai persoalan eksploitasi ekonomi hierarki rasial global antara ras yang lebih gelap dengan ras yang lebih cerah. Ujung-ujungnya, setiap tulisan menawarkan argumen tentang betapa pentingnya konsep ras dan rasisme dalam pengembangan teorisasi maupun pemahaman terhadap hubungan internasional.
Hierarki Rasial
Paradigma dominan dalam studi Hubungan Internasional seperti realisme dan liberalisme mempunyai tujuan untuk menjelaskan bagaimana sistem internasional bekerja. Dalam menjelaskan hal ini, kedua paradigma sama-sama mengajukan penjelasan dunia internasional sebagai suatu sistem yang bersifat “anarkis”.
Sistem internasional yang bersifat anarkis di sini diartikan sebagai konsekuensi dari ketiadaan entitas politik yang lebih tinggi dari negara dan sifat negara yang selalu egois dan mandiri. Dari asumsi ini, pendekatan realisme menjelaskan bagaimana sistem ini membuat dunia diwarnai konflik karena negara yang egois pasti ingin memenuhi kepentingannya secara maksimal. Sementara itu, pendekatan liberal, meski menerima fakta bahwa kondisi anarki bisa berujung pada konflik, mengajukan bahwa negara masih mampu bekerja sama.
Lebih lanjut, secara filosofis, asumsi anarki berangkat dari filsafat Thomas Hobbes dan John Locke tentang kontrak sosial dan mengapa masyarakat membutuhkan suatu entitas politik bernama negara. Menurut Hobbes, negara berdaulat dan kekuatannya mesti ada karena dalam kondisi alaminya (state of nature), masyarakat akan selalu barbar, miskin, dan terpencil. Sifat negara yang egois, mandiri, dan merupakan entitas politik tertinggi berasal dari konseputualisasi ini. Sementara itu, menurut Locke, negara atau pemerintahan mesti ada untuk mencegah hancurnya kondisi alamiah masyarakat yang secara kodrati bersifat bebas, baik, dan setara.
Dalam Ilmu Hubungan Internasional, pendekatan Hobbes kemudian diadopsi oleh realisme, sedangkan Locke oleh liberalisme. Sekilas, paradigma tersebut tidak menampakkan wacana rasial sama sekali. Namun, dalam artikel pertama yang ditulis oleh Errol Henderson, memproblematisasi pemahaman ini.
Henderson menawarkan gagasan tentang “kontrak sosial” sebagai “kontrak rasial”. Melalui penelusuran yang teliti, Henderson mengemukakan argumen bahwa Hobbes merujuk pada masyarakat Eropa dan masyarakat non Eropa ketika mengasumsikan kondisi alamiah suatu masyarakat dan Locke memberi justifikasi filosofis terhadap kolonialisme. Hobbes merujuk masyarat non Eropa ketika berbicara tentang keadaan barbar, miskin, dan terpencil, sedangkan pendapat Locke terhadap tanah dan kepemilikan properti menjadi justifikasi terhadap pencaplokan lahan dalam praktik kolonialisme.
Itulah yang mendasari asumsi Henderson tentang anarki dalam Ilmu Hubungan Internasional yang sudah dari sananya mengisyaratkan dunia internasional yang hierarkis secara rasial. Di bagian atas hierarki, ada masyarat kulit putih Eropa dan di bawahnya ada masyarakat non Eropa.
Konsekuensi logis dari asumsi tersebut mewujud dalam rekomendasi tindakan terbaik suatu negara dalam sistem internasional yang anarkis. Realisme mendorong tindakan negara memaksimalkan keuntungan, termasuk dengan mempertahankan struktur internasional yang sedari sananya timpang. Sementara itu, liberalisme menekankan pentingnya suatu sistem demokrasi dalam politik setiap negara untuk menjamin perdamaian dunia dalam sistem internasional yang anarkis. Hal ini justru memberi suatu “peran mulia” bagi negara-negara kulit putih sebagai pihak yang “mempelopori” demokrasi.
Problem-problem ini secara langsung juga menggarisbawahi luputnya kebanyakan paradigma Hubungan Internasional dalam melihat warisan rasisme dalam dunia internasional. Tulisan Hobson dalam buku ini menjelaskan bahwa problem itu mengarah pada kealpaan untuk melihat imperialisme sebagai suatu praktik eksploitatif berikut warisan historisnya dan penekanan krusial terhadap agensi negara-negara Eropa dalam politik internasional.
Dalam realisme, misalnya, karya klasik Hans Morgenthau, Politics Among Nation membahas tentang relasi antara great power (negara-negara Eropa kulit putih) dengan memperlakukan imperialisme sebagai suatu praktik lumrah dalam politik internasional. Sementara itu, pendekatan liberalisme mengajukan diskursus penyebaran demokrasi sebagai misi penyebaran peradaban yang rasional. Pada konteks realisme, terlihat jelas normalisasi imperialisme, sedangkan dalam konteks liberalisme, glorifikasi misi pemberadaban negara-negara Barat dalam demokrasi demokrasi.
Salah satu bentuk nyata dari hal ini adalah kemunculan konsep dan fenomena negara gagal atau rogue state. Pada praktiknya, fenomena ini kerap melekat pada negara-negara Afrika dan negara-negara Dunia Ketiga. Kendati muncul dengan berbagai macam standarisasi dan kalkulasi matematis dalam mengukur negara itu gagal atau tidak, konsep ini tetap menyimpan problem rasis yang akut. Konsep ini gagal menangkap proses historis spesifik yang membuat suatu negara bisa gagal, misalnya warisan kolonial di Afrika. Kedua, konsep ini memosisikan negara Barat sebagai “penolong” dan negara-negara Dunia Ketiga sebagai yang mesti ditolong.
Rasisme sebagai Fenomena dan Praktik Internasional
Tulisan Sankaran Khrisna menunjukkan bagaimana konsep rasisme ini dapat menangkap kompleksitas realitas internasional secara lebih tajam. Mengambil contoh kasus India, Khrisna menunjukkan bagaimana warisan kolonialisme menghasilkan diskriminasi kasta yang berkepanjangan terhadap kaum Dalit di India. Di masa kolonial, kaum kelas atas India kerap memosisikan diri mereka sedekat mungkin dengan ras Arya sembari memandang orang-orang Dalit sebagai sesuatu yang jauh lebih rendah dari mereka. Praktik ini masih terus berlanjut meski India telah menjadi salah satu pusat perkembangan teori-teori poskolonial.
Richard Seymour membahas tentang hierarki rasial global dalam Perang Dingin. Menurutnya, wacana anti komunisme yang diusung oleh Amerika berangkat dari diskursus rasial yang berfungsi dalam dua hal, yaitu menundukkan gerakan anti rasialisme domestik di Amerika Serikat dan memberi legitimasi untuk melakukan intervensi militer ke negara-negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, Perang Dingin adalah juga usaha untuk mempertahankan hierarki rasial global.
Pada konteks yang lebih kontemporer, Robert Knox menganalisis diskursus rasial dalam pembuatan hukum internasional. Secara spesifik, ia menyoroti bagaimana hukum internasional terkait intervensi militer bisa muncul. Berbeda dengan kebanyakan tulisan dalam buku ini yang menyoroti peran dominan dan primer diskursus ras dalam menjelaskan fenomena, Robert Knox mendudukkan diskursus rasialisme sebagai suatu produk dari rivalitas geopolitik antara negara-negara besar.
Knox mengambil contoh diskursus pre-emptive war yang dikembangkan oleh Amerika Serikat ketika ingin melakukan invasi militer ke beberapa negara Timur Tengah. Menurut Knox, Amerika Serikat mengambil jalan tersebut karena rivalitas geopolitik antara negara-negara pemegang hak veto di PBB tidak memungkinkan itu. Dalam konteks ini, Knox tetap menyoroti bagaimana diskursus pre-emptive war juga menyimpan asumsi rasis tersendiri.
Pada bagian penutup buku, tulisan Mills mengajukan suatu catatan penting tentang diskursus ras dan rasisme dalam studi-studi Hubungan Internasional ke depannya. Secara spesifik ia menekankan pentingnya riset-riset terkait penyebaran ide-ide rasis serta perlawanan domestik maupun global terhadap rasisme sistemik. Dengan begitu, menurut Mills, Ilmu Hubungan Internasional akan lebih reflektif, serta akomodatif terhadap tumbuhnya teorisasi dan realitas dunia internasional yang jauh lebih setara dan tidak rasis.
Baca juga:
Buku terbitan Routledge tahun 2015 ini relevan dengan konteks Indonesia. Dalam suatu diskusi publik Hubungan Internasional yang pernah saya ikuti, beberapa akademisi secara tersirat mendiskusikan suatu semangat untuk melakukan dekolonisasi Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia yang sejak lama terlalu “Amerika Serikat”. Untuk itu, buku ini adalah rujukan literatur yang penting untuk merangsang ide-ide tersebut.
Sekurang-kurangnya, buku ini mampu menawarkan pemikiran kritis terhadap paradigma dominan dalam Ilmu Hubungan Internasional, sekaligus mewanti-wanti untuk senantiasa melihat Indonesia sebagai suatu entitas politik warisan kolonialisme. Sama seperti India, pembelajar Hubungan Internasional perlu untuk mencurigai praktik rasisme yang terjadi di Indonesia; sesuatu yang kerap luput dalam semangat dekolonisasi di negara Dunia Ketiga.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Rasisme Terselubung dalam Hubungan Internasional”