Kognisi Kapitalis dan Manusia Pengejar Uang

Angga Pratama

3 min read

Perkembangan pesat akibat kapitalisme tak dapat dipungkiri membentuk manusia-manusia yang berorientasi uang. Seseorang yang berorientasi uang memiliki tendensi untuk memperhitungkan setiap hal dengan nilai nominal. Ia akan merasa rugi apabila setiap tindakannya tidak dapat menghasilkan nilai nominal.

Perilaku tersebut tanpa kita sadari telah ada dan dapat dikaji melalui pendekatan empiris, khususnya pada bidang kognisi. Bidang ini merupakan bagian dari diri manusia yang menjadi dasar dari aktivitas mental atau proses untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman melalui tindakan, pikiran, dan indra. Kita akan bertolak melalui suatu penolakan rasionalisme yang dilakukan oleh empirisme. Hal ini didasari bahwa sesuatu yang nyata adalah apa yang dapat kita alami secara langsung.

Dengan pendekatan empirisme Hume, kita akan menelusuri kognisi seseorang yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan ajaran yang diwariskan orang tua. Ajaran itu terkait tujuan dalam kehidupan serta anjuran untuk melakukan aktivitas. Peran kognisi sangat penting bagi manusia. Di dalam kognisi, setiap orang dapat mengetahui sesuatu dengan analisis yang baik setelah bersinggungan secara langsung dengan beberapa pengalaman yang terjadi. Akibatnya, kognisi yang dibentuk sejak kecil dan sudah memiliki motif tertentu akan membentuk distingsi antara yang penting dan tidak penting.

Manusia Kejar Duit Terus

Manusia Kardus atau Manusia Kejar Duit Terus menempatkan dirinya seproduktif dan sematerial mungkin untuk mengejar nilai tukar yang mungkin ia dapatkan melalui berbagai macam aktivitas. Secara menyeluruh, uang merupakan istrumen yang memiliki pengaruh besar untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Manusia Kardus merupakan bentuk radikal manusia dari prinsip materialisme. Ia mengkultuskan nilai tukar sebagai aset yang wajib didapatkan sekuat tenaga.

Kita dapat tidak sepakat ketika uang dinisbatkan sebagai segala-galanya, namun kita tidak dapat menutup suatu realitas yang ada di sekitar kita, tidak jarang seseorang akan menempatkan uang di posisi utama dalam hidupnya. Manusia Kardus terbentuk dan berkembang dalam era kapitalisme—kapitalisme menyebabkan setiap aktivitas manusia diukur dengan nilai nominal dan motif ekonomis. Kapitalisme juga membuat manusia tidak mendapatkan ruang untuk melepaskan diri dari nilai-nilai nominal.

Nilai-nilai nominal ini mengambil peran penting bagi eksistensi seseorang. Secara subjektif, kita akan melihat distingsi radikal dalam masyarakat kapitalis, seseorang dengan uang yang lebih banyak akan lebih dihormati daripada seseorang dengan uang yang lebih sedikit. Tindakan-tindakan ini membentuk pengalaman yang diproses melalui aktivitas mental dan membentuk kognisi yang memiliki kecondongan pada aspek tertentu.

Proses kognisi manusia yang berorientasi uang terbentuk melalui pengalaman masa kecil yang tanpa kita sadari diukur melalui untung-rugi tindakan hasil ajaran orang tua. Kita tidak menolak bahwa orang tua akan mengajarkan segala sesuatu yang terbaik bagi anaknya, sehingga di masa depan anak tersebut akan menjadi sosok dewasa yang mampu mencari unsur-unsur partikular yang keliru. Akan tetapi, relasi kognisi dan kuasa setelah ia dewasa membangkitkan kecenderungan untuk memilih beberapa pilihan yang diterima secara umum.

Baca juga:

Orientasi Keuntungan Struktural

Prinsip umum masyarakat kapitalisme adalah melakukan segenap upaya agar mendapatkan keuntungan struktural di setiap kesempatan. Prinsip masyarakat kapitalis tersebut didasari oleh siklus kapital komersial, siklus tersebut harus dijaga untuk memastikan setiap proses produksi tetap stabil. Akibatnya, Manusia Kardus berperan penting bagi dirinya sendiri dan agen kapitalis untuk menghasilkan nilai lebih bagi sistem kapitaslime. Nilai tersebut nantinya digunakan untuk pengembangan dan ekspansi industri.

Apabila kita kembali pada proses kognisi—anak kecil terbiasa menerima suatu penjelasan yang bersifat partikular tentang aktivitas ekonomi masyarakat. Aktivitas tersebut dijelaskan dalam konsep-konsep mikro. Misalnya ketika seorang anak kecil hendak menjalin suatu hubungan pertemanan. Orang tua secara tidak langsung akan memberikan arahan kepada anaknya untuk mencari teman yang memiliki potensi yang setara atau lebih, tujuannya agar anak tersebut dapat mendapatkan pelajaran dan keuntungan yang simultan selama pertemanan tersebut.

Hume memiliki ketertarikan pada “gejala-gejala” yang terjadi sehingga membentuk suatu daya dorong pada pembentukan pengamatan dan pengalaman. Gejala yang dibentuk oleh kapitalisme mendorong seseorang untuk mengikuti perkembangan teknologi dan perubahan budaya yang cukup radikal. Ini terjadi hampir di setiap negara.

Perubahan-perubahan ini menyebabkan pengalaman yang beragam pada setiap generasi yang lahir para era kapitalisme. Akibatnya, muncul suatu pendekatan ekonomi dan konsumsi yang menjadi titik tolak untuk mengejar uang secara terus-menerus. Seseorang jadi tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia menjadi sosok egois hingga mampu menciptakan permasalahan yang cukup kompleks di masyarakat. Masalah yang timbul adalah perilaku saling menguasai yang menyebabkan seseorang harus mendapatkan pengaruh tertentu di dalam lingkungan sosial—apabila ia berhasil memiliki kuasa yang cukup besar bagi dirinya sendiri, ia akan mampu mendapatkan keuntungan dari kuasa tersebut.

Manusia Kardus adalah generasi yang terbiasa dengan upaya komodifikasi motivasi dan iklim produktivitas. Kita akan terbiasa dengan konten-konten yang mengedepankan motivasi sebagai upaya untuk memberikan semangat dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, tanpa kita sadari, beberapa hal yang tersirat dalam kalimat-kalimat motivasi memiliki kecenderungan yang cukup bertolak belakang dengan realitas manusia—homo homini lupus. Prinsip ini yang menyebabkan motivasi yang biasa kita dengar menimbulkan pertentangan struktural untuk mencapai kuasa dan memperoleh uang.

Bagaimana Kognisi yang Baik?

Kognisi sebagai proses mental untuk mengenal sesuatu dari kegiatan berpikir seseorang, dapat menjadi dualitas yang cukup berbahaya. Pertama, kognisi yang baik akan menimbulkan kemampuan kritis manusia dalam mengkaji suatu fenomena secara holistik. Kedua, kognisi yang tidak baik hanya akan membentuk analisis subjektif dan menimbulkan analisis partikular, sehingga seseorang akan sulit membedakan fokus  yang harusnya diterapkan dalam bermasyarakat.

Pengalaman-pengalaman yang menjadi salah satu sumber cukup penting bagi perkembangan manusia perlu dikaji secara historis. Hal ini didasari keterikatan pengalaman pada perkembangan sejarah manusia yang mencatatkan berbagai macam pertentangan kelas dalam masyarakat. Pertentangan kelas ini salah satunya dilatarbelakangi oleh motif ekonomis—mendapatkan berbagai sumber daya alam agar suatu kelompok dapat memaksimalkan motif produksinya.

Proses kognisi memainkan peran penting. Ia akan mengkaji dan meminimalisasi perilaku homo homini lupus di dalam masyarakat. Faktor empiris yang dikaji secara historis dan dikritisi adalah cara yang dapat ditempuh agar manusia tidak mengkultuskan uang dalam berbagai aspek kehidupannya.

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email