Street Light Interference dan Puisi Lainnya

Aris Rahman P. Putra

1 min read

upacara pembakaran kardus

tak ada pampers bayi, kondom lengket, setoples bola cokelat, kue lapis, tiket bioskop robek, buku dimakan rayap separuh, tak ada surat tagihan listrik, telepon, utang, tak ada ponsel yang merekam nasihat kebaikan dan kejahatan, tak ada genteng bocor, tak ada cat dinding kusem, elektronik konslet, dompet bolong.
memutar lagu, upacara membakar kemenyan.

tubuhku nyungsep di kotak kardus. masuk. masuk. masuk. dibakar bareng tumpukan sampah lainnya: di lahan kosong di ujung kampung.

(2017)

street light interference

memejam mata
melihat aku yang bukan aku;
dengan tangan terkepal berlumur darah
dengan sepotong kaca dari botol bir
dalam tong sampah
memegang secarik kertas
berisi wasiat dan nasihat
dengan kedua permukaan
saling melekat penuh sperma
lampu jalan meredup, perlahan, terang-gelap, gelap-terang,
seorang wanita lari tergesa
memegang kitab berisi doa-doa

“Cahaya, cahaya, cahaya …”
lampu jalan bungkuk dan bengkok.
gelap menelan cerita mereka
menjadikannya sebuah istilah
yang sama-sama kita tak ketahui
definisinya.

tapi lain hal,
dengan pistol hampa udara.
ia adalah yang
melesatkan segumpal udara
yang bukan udara
membebaskan sekumpulan laron
dari belenggu cahaya
dan lengang pun mengisap kita semua:
menjadi dentang lonceng gereja
pukul setengah satu dini hari.

(2017)

nasihat yang terlalu panjang dan kepala kita tak bisa menampungnya

jangan gemetar, sayangku
maukah kucubit pipimu, sayangku?
kita berevolusi, sayangku.
lebah-lebah tak pernah mati, sayangku.
bukalah kitab tua itu, sayangku.
mari gantung diri, sayangku.
jangan makan permen gula, sayangku.
kentutlah di hadapan ibu dan bapakku, sayangku.
mari gantung diri, sayangku.
tubuh kita tersusun dari metafora, sayangku.
puisi ini dibangun dengan memutilasi tubuhmu, sayangku.
tanganku, hidungku, kemaluanku, semua milikmu, sayangku.
jangan makan permen gula, sayangku.
jangan sampai molar ketigamu lenyap, sayangku.
sepasang sepatu tak pernah bersatu, sayangku.
jangan menyanyi di pemakaman otakku, sayangku.
mari berenang di katakomba, sayangku.
jangan bugil di depan pemuka agama, sayangku.
tutupilah gunungmu dengan kabut tipis, sayangku.
mari gantung diri, sayangku.
kita menemukan makna dalam kepala orang-orang gila, sayangku.
hentikan aku menuliskan kata-kata buruk, sayangku.
gua yang pernah dihuni selalu dekat dengan sungai, sayangku.
profesor metalurgi mencairkan pondasi-pondasi sosial, sayangku.
aku ngantuk, sayangku.
kata-kata terserap kelopak mataku, sayangku.
mohon malam ini, tidurlah di sampingku, sayangku.
semoga tak ada lagi orang-orang sombong tertawa menonton upacara bunuh diri orang miskin, sayangku.

(2017)

tentang kipas angin di indomaret point

/on/
kipas angin berputar. mendengar last child dan polka wars saling berbenturan, menjadi kenangan tentang duapuluh empat lampu yang nyala bersamaan, menjadi acara pembacaan puisi seharga limapuluh ribu ditambah dua ribu buat parkir.

kipas angin berputar dan menjadi angin dalam horse hooves. orang-orang pada sibuk bertukar proton dengan sentuhan. memberi tenaga listrik cabang seluruh tubuh.

di pojok, seorang wanita jadi bugil dalam kepala seorang lelaki. payudaranya menggantung seperti mangga. mangga atuh. mangga dengan tanda x. menari. menari. sebuah kisah pendek jadi panjang dalam rentang waktu duapuluh empat menit. sebuah burung tidak bisa ngaceng cuma karena mangga dengan tanda x.

tidak dan mungkin belum.
tidak dan mungkin bisa.
kipas angin masih berputar seperti bingung
soal tidak dan mungkin.

/off/

(2017)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Aris Rahman P. Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email