Di tahun 1950an, Indonesia punya beberapa figur yang dikenal dengan kiprah diplomatiknya untuk mendorong gerakan Asia-Afrika di tingkat global. Sebut saja Roeslan Abdulgani dan Ali Sastroamidjojo, selain tentu saja Bung Karno yang kontribusinya hingga saat ini dikenal sebagai penggerak utama dekolonisasi global. Dulu banyak tokoh komunis yang aktif di gerakan-gerakan komunis internasional, seperti Tan Malaka, kemudian Aidit dan lingkarannya di tahun 1950an.
Namun demikian, ada satu figur yang juga memainkan peran penting di jejaring gerakan sosial-demokrat Asia dan global namun kurang terkenal, yakni Suryokusumo Wiyono, Sekretaris Jenderal Konferensi Sosialis Asia (KSA).
Penting mengetengahkan peran Wiyono dan kiprahnya di gerakan sosialisme Asia untuk memberikan kita perspektif yang internasionalis dalam memahami isu-isu sosial politik. Sehingga kita tidak melihat gerakan sosialisme demokrasi semata-mata gerakan yang berakar dari ‘modernitas Barat’ tanpa ada kontribusi gerakan-gerakan serupa di Asia. Sebaliknya, gerakan sosialisme Asia adalah aktor aktif dalam pergerakan sosialisme demokrasi dunia sejak tahun 1950an. Sebagaimana terlihat dari kiprah Wiyono, intelektual dan aktivis Indonesia juga punya sumbangan yang penting terhadap gerakan sosialisme global.
Baca juga:
Syahdan, Pak Wiyono sudah aktif dalam pergerakan kemerdekaan sejak tahun 1930an. Wiyono menjadi pengurus DPP Pendidikan Nasional Indonesia di tahun 1930an, di bawah pimpinan Sjahrir. Menurut Pradipto Niwandhono, Wiyono juga pernah menjadi guru di Perguruan Taman Siswa, dan mengaktifkan lingkaran Pendidikan Nasional Indonesia di kalangan guru Taman Siswa. Wiyono adalah seorang figur pergerakan yang pada mulanya memang berlatar belakang sebagai seorang pendidik.
Selepas kemerdekaan, Wiyono bergabung dengan tentara dan kemudian menjadi staf Biro Politik di Kementerian Pertahanan. Ia juga ditarik oleh Sjahrir di Partai Sosialis Indonesia (waktu itu masih bergabung antara faksi Sjahrir dan Amir), dan Wiyono dikenal sebagai bagian dari Kelompok Yogyakarta yang kuat dengan pemikiran dan gerakan agraria. Bersama Moh. Tauchid, Sardjono, dll ia mendirikan Barisan Tani Indonesia, dan konon ini membuatnya dekat dengan kelompok Amir Sjarifuddin dibanding Sjahrir. Namun, di tahun 1950an ia masuk sebagai Anggota DPP Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir, dan kemudian – atas arahan Sjahrir dan Sjachroedzah – menjadi delegasi Indonesia di Konferensi Sosialis Asia (ASC).
Kiprah Wiyono di Konferensi Sosialis Asia banyak menjadi perhatian para sejarawan global kontemporer, seperti Su Lin Lewis dan Gerard McCann, dan baru-baru ini diriset secara lebih serius oleh dua sejarawan muda Tom Shillam dan Wildan Sena Utama. Konferensi Sosialis Asia sendiri adalah jejaring kaum sosial demokrat Asia yang muncul setelah berdirinya Sosialis Internasional (SI), jaringan global kaum sosial demokrat yang dimotori oleh aktivis buruh dan sosdem Eropa Utara. Beberapa partai sosdem Asia, seperti Partai Sosialis Jepang dan Partai Sosialis Praja di India berkumpul di Tokyo untuk membangun kerjasama partai-partai sosialis Asia. Gayung bersambut, beberapa partai sosialis di Asia –termasuk Indonesia di bawah pimpinan Sjahrir dan Djohan Sjachroedzah—setuju untuk mendirikan sebuah organisasi yang memayungi partai sosialis di Asia.
Baca juga:
Di tahun 1952, partai-partai tersebut membentuk Komite Persiapan yang dimotori oleh Partai Sosialis Praja di India, Partai Sosialis Burma, dua partai sosialis Jepang –sayap kanan dan sayap kiri—serta Partai Sosialis Indonesia. Akhirnya, di tahun 1953, berdirilah Konferensi Sosialis Asia (KSA) yang diadakan di Yangoon Burma. Para tokoh Partai Sosialis Asia, Afrika, dan Yugoslavia diundang hadir di Konferensi ini. KSA disepakati didirikan dengan sekretariat di Yangoon, dengan Ketua Umum U Ba Swe (Burma) dan Sekretaris Jenderal Wiyono (Indonesia).
Sebagai Sekretaris Jenderal KSA, Wiyono punya peran dalam menjembatani hubungan antara gerakan sosialis di Asia dan Eropa. Aktivis-aktivis sosialis Asia di KSA sangat kritis dengan agenda sosialis internasional yang bagi mereka sangat Eropasentris, dan mendorong agenda mereka sendiri. Waktu itu juga bertepatan dengan momen dekolonisasi, dan aktivis-aktivis KSA juga banyak mendorong dekolonisasi di negara masing-masing, selain juga menginspirasi berdirinya partai sosialis di Asia. Di tahun 1954, KSA membentuk Biro Anti-Kolonial yang diketuai oleh U Kyaw Nyein, Sekjen Partai Sosialis Burma, yang kemudian turut mendorong gerakan sosialisme anti-kolonial Asia untuk memerdekakan diri dari penjajahan.
Konon menurut Su Lin Lewis, Wiyono tinggal di Yangoon sejak tahun 1953 bersama istrinya, Suyatin. Ia kemudian banyak hadir ke pertemuan-pertemuan dengan tokoh sosialis Eropa, dan menjalin hubungan baik dengan aktivis sosialis India – terutama Ram Manohar Lohia dan Jayaprakash Narayan. Dalam kapasitas sebagai Sekretaris Jenderal KSA, Wiyono bergerak di balik layar untuk membina aktivis muda India dan Myanmar di Serikat Pemuda Sosialis Internasional (IUSY), serta berkeliling Asia dan Eropa untuk menggerakkan jejaring partai-partai sosialis.
Sebagai contoh, sebagaimana ditulis oleh Tom Shillam, di tahun 1954, Wiyono dan beberapa tokoh sosialis lain seperti Roo Watanabe (Jepang), Jim Markham (Ghana), dan Menachem Bargil berkeliling Semenanjung Malaya dan Indochina untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian di Perang Vietnam. Wiyono dkk. mempelajari proses-proses perdamaian di Vietnam dan melihat sejauh mana gerakan sosialis bisa berperan. Konon menurut Tom Shillam
Kiprah KSA memudar di tahun 1960an. Junta militer melakukan kudeta di Burma dan aktivis Partai Sosialis Burma dipenjara. PSI dan Masyumi di Indonesia dilarang zaman Orde Lama. Di India sendiri, Indira Gandhi mendeklarasikan masa darurat dan beberapa tokoh sosialis seperti Jayaprakash Narayan melawannya dengan mendirikan Partai Janata. Wiyono kembali ke Jakarta di tahun 1959, persis di saat Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden. Di tahun 1961, KSA sudah tidak lagi aktif dan digantikan perannya oleh Biro Sosialis Asia-Pasifik yang berbasis di Selandia Baru.
Kiprah Suryokusumo Wiyono memberikan kita refleksi pada kiprah intelektual dan aktivis Indonesia dalam konteks global. Di masa ketika ‘pengabdian’ dan ‘kontribusi’ seorang intelektual direduksi sekadar sebagai ‘kontribusi pada elit dan birokrasi dalam negeri, cerita Suryo Kusumo Wiyono memberikan kita refleksi tentang perlunya perspektif global bagi intelektual dan pemimpin bangsa.
Selain itu, cerita Wiyono juga memberikan kita refleksi bahwa pemikiran orang-orang Asia –dan Indonesia, pada khususnya— punya kontribusi bagi gerakan-gerakan sosial global. Yang mestinya mendorong kita juga untuk memahami khasanah pemikiran dan intelektual kita untuk memahami politik global hari ini.
Lanjut baca: Bisakah Memahami Politik Global Melalui Fiksi?