Saat ini, Ramayda Akmal menjadi salah satu penulis muda yang diperhitungkan. Karya-karya yang dihasilkannya mampu memenangkan berbagai penghargaan. Novelnya Jatisaba berhasil menjadi pemenang unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2010. Selain Jatisaba, kumpulan cerpennya yang berjudul Lengkingan Viola Desingan Peluru dan novel Tango & Sadimin juga berhasil meraih penghargaan di ajang berbeda.
Pada Mei 2022 kemarin, Ramayda Akmal kembali menerbitkan buku kumpulan cerpen yang berjudul Aliansi Monyet Putih. Cerpen dalam buku ini banyak mengambil latar belakang Jerman. Hal ini tidak terlepas dari penulis yang saat itu sedang menempuh studi doktoral di Hamburg University.
Ada sebelas cerita pendek di buku ini yang secara garis besar mengambil tema kehidupan para diaspora yang bermukim di Jerman, baik itu imigran, buruh, atau pun pelajar.
Asmara Para Diaspora
Ada tiga cerita pendek tentang asmara yang ada di buku ini—asmara versi saya tentu saja—yaitu Peniup Harmonika, Kunci Kecilnya Sudah Hilang, dan Aliansi Monyet Putih. Namun, jangan berharap untuk menemukan kisah cinta yang biasa dalam ketiga cerita yang telah disebutkan tadi, karena setiap kisah mungkin akan mengusik definisi cinta yang kita pegang selama ini.
Peniup Harmonika bercerita tentang cinta pertama—seberapa lama pun—akan selalu sulit untuk dilupakan. Hal ini dirasakan oleh tokoh utama yang meskipun sepuluh tahun berlalu rasa cintanya tetap sama. Dan meskipun sudah tahu akhirnya, dia tetap terjatuh di lubang yang sama. Saya tidak berani menyebut apakah kisah cinta ini adalah heteroseksual atau homoseksual karena penulis tidak menyebut jenis kelamin para tokoh secara eksplisit.
Kunci Kecilnya Sudah Hilang adalah tentang kisah cinta ganjil yang penuh gelora antara Sarah dan Druv. Sarah, seorang perempuan Jawa yang bekerja sebagai penjaga museum dan memiliki trauma pada cermin. Dan Druv, seorang dokter keturunan Brahmana dari Himalaya yang tampaknya memiliki fantasi seksual yang eksentrik. Hadirnya Druv berhasil mengobati trauma masa kecil Sarah, namun luka-luka baru justru bermunculan terutama saat Druv perlahan meninggalkan Sarah dalam kebingungan.
Sementara itu, cerpen Aliansi Monyet Putih yang juga dijadikan judul buku ini mengambil tema LGBTQ+. Tema tersebut diwujudkan pada kisah cinta Volker, seorang profesor sejarah eropa abad pertengahan yang jatuh cinta dengan Marquis (Sumartono Hidayat) yang berasal dari Jawa. Selain soal asmara, cerita ini juga sedikit menyinggung tentang stigma buruk terhadap manusia yang hidup di negara dunia ketiga.
“… Dia masih yakin, di salah satu tempat di Jawa ada orang-orang yang menjual orangtuanya untuk bisa jadi makanan kanibal. Bahkan ia mengingatkanku berkali-kali untuk jangan sampai memegang kepala orang Jawa, disengaja atau tidak. Ia bercerita tentang seorang budak di utara Jawa nekat membunuh rajanya yang tidak sengaja memegang kepalanya. Menakjubkan.” – Hal. 70
Kemanusiaan dan Prasangka
Berbagai prasangka buruk banyak melekat pada para diaspora di mana pun mereka berada. Prasangka akan semakin parah kalau mereka bukan berasal dari negara yang dianggap maju. Alhasil para diaspora dianggap sebagai warga kelas dua dan terkadang mengalami kejadian-kejadian yang mengaburkan kualitas mereka sebagai manusia. Hal itu bisa dilihat pada salah satu dialog dari cerita Bulan Lemon tentang persahabatan dua mahasiswa yang senang berjudi.
“Aku adalah orang asing yang belajar di sini. Meskipun aku bicara bahasa selancar mereka, bekerja dengan mereka, bercanda dan tertawa akan hal-hal yang lucu bagi mereka, aku tetap orang asing. Mereka yakin, orang asing selalu kesulitan menyesuaikan diri. Selalu berbicara dengan logat yang berwarna. Selalu dimaklumi jika salah, atau bahkan selalu dianggap salah. Selalu mendapat nilai tambahan sebagai pemakluman karena nilai kami tidak bisa disamakan dengan nilai orang sini.” – Hal. 1-2
Anggapan diaspora sebagai warga kelas dua semakin diperkuat pada cerita Tuan yang Dianggap Mulia. Dalam cerita tersebut, pemerintah lebih peduli pada anjing liar dibandingkan manusia. Kehidupan Joachim sangat bergantung pada donasi departemen sosial yang diberikan kepada anjingnya yang dia sebut dengan Tuan.
Sama seperti Joachim yang tidak memiliki rumah yang layak, kesulitan memiliki rumah di Negara asing juga diceritakan pada cerpen Jalan Menuju Rumah. Menariknya, banyak dari diaspora yang sulit memiliki rumah bukan karena tidak memiliki uang, namun karena alasan-alasan lainnya yang sulit untuk dijelaskan.
Lelaki yang Melempar Koin bercerita tentang Karam, seorang transporter asal Suriah yang menjadi satu-satunya orang dari keluarganya yang berhasil bermigrasi ke Jerman. Karam percaya dengan melempar koin mampu menghilangkan masalah hidup yang ada. Ritual ini pula yang dianjurkannya pada pasien-pasien di Rumah Sakit Asklepios, tempat kerjanya, dengan tujuan memberi mereka harapan untuk tetap bertahan hidup.
Kesulitan tidak hanya dialami oleh para diaspora. Namun juga dirasakan oleh mereka yang berkulit putih namun jatuh cinta pada budaya Timur. Hal ini dapat ditemukan pada cerpen Lelaki yang Menabur Rempah. Kecintaan Heidrich pada hal-hal yang oriental didukung dengan prestasinya memenangkan lomba pidato di beberapa Negara Asia. Akan tetapi, Heidrich justru disomasi oleh para mahasiswa yang tergabung dalam kelompok orang berwarna dengan berbagai alasan semacam white savior complex, reproduksi struktur kolonial dan rasisme, kegagalan dekolonisasi, dan slogan lainnya. Apa yang dialami oleh Heidrich mungkin saja banyak terjadi pada manusia kulit putih lainnya, saat kecintaan pada oriental justru dianggap sebagai bentuk baru dari kolonialisasi.
Sulitnya Hidup di Negeri Orang
Kesulitan para diaspora tidak hanya dari sisi stigma dan prasangka, tetapi juga kesulitan keuangan. Empat cerpen yang masing-masing berjudul Pada Suatu Hari, Ombak, dan Camar, Doktor Kafkasque, dan Bayi Cokelat menceritakan perjuangan diaspora untuk mencari uang meskipun harus melakukan pekerjaan yang membahayakan mereka.
Cerpen Pada Suatu Hari, Ombak, dan Camar bercerita tentang sekumpulan mahasiswa diaspora yang menciptakan bisnis jasa yang dinamakan Pos Ninja. Pos Ninja hadir di tengah pandemi Covid saat banyak orang yang khawatir keluar rumah serta dana beasiswa yang dipotong bahkan dibatalkan. Jasa yang ditawarkan awalnya hanya membantu membelanjakan kebutuhan pokok, namun lama kelamaan mereka menerima permintaan yang berbahaya seperti membeli ganja. Lagi pula, siapa yang bisa menolak uang?
Doktor Kafkasque sendiri saya rasa lebih ke tribut penulis kepada Franz Kafka. Meskipun begitu, ceritanya masih sedikit mengangkat tema kesulitan hidup di Jerman. Sementara Bayi Cokelat bercerita tentang para diaspora yang selalu menunggu musim semi karena pabrik-pabrik akan membutuhkan lebih banyak buruh saat musim semi tiba. Dalam cerpen ini, diselipkan pula kisah seorang pria yang digosipkan menjual spermanya kepada pasangan lesbian yang ingin memiliki anak.
***
Editor: Ghufroni An’ars