Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Rusia-Ukraina dan Lahirnya “Pakar-Pakar”

Kukuh Basuki

2 min read

Perang antara Rusia dan Ukraina yang berjalan hampir sepekan ini menjadi berita utama di setiap media massa baik cetak maupun online. Liputan singkat (breaking news) tentang keadaan terkini di tanah Ukraina berseliweran di media sosial baik Facebook, Twitter ataupun Instagram. Segala sesuatu yang menjadi trending topik, sudah seperti biasanya, akan menjadi pancingan bagi netizen untuk turut berkomentar.

Untuk merasakan kegaduhannya kita cukup mengunjungi laman twitter atau masuk ke kolom komentar dari akun media massa di Instagram yang membahas tentang perkembangan terkini perang antara Rusia dan Ukraina. Grup-grup Whatsapp yang kita tinggali pun mulai memunculkan ‘ahli geopolitik’ barunya, atau sebut saja karbitan.

Berbekal share link dari portal website, share foto dari sumber yang tidak jelas, artikel atas nama orang terkenal yang belum terbukti kebenarannya, ditambah beberapa artikel berita dari media online, beberapa orang mulai memberikan tausiah tentang sejarah hubungan Rusia dan Ukraina. Dengan berbekal narasi yang emosional, mereka mulai mendengungkan ‘kebenaran’ yang mereka yakini, seolah tidak ada alternatif lagi selain itu.

Dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas tentang siapa yang salah atau siapa yang benar antara Rusia dan Ukraina. Saya lebih ingin mendiskusikan bagaimana netizen menjadi komunitas yang kagetan. Mereka menanggapi hal yang sedang trending atau viral bukan karena kompetensi, tapi hanya karena ingin eksis, dianggap pintar, peka perkembangan politik internasional, tapi sejatinya mereka miskin literasi. Jarang sekali, dari pemantauan saya, netizen yang membahas perang Rusia-Ukraina mengambil literatur dari buku apalagi dari jurnal ilmiah. Mungkin itu terlalu rumit dan njlimet bagi mereka. Mereka lebih nyaman mendapatkan ‘literatur’ dari utas twitter, screnshoot story IG.

Satu lagi hal yang membuat saya risau adalah bagaimana mereka merespon sesama netizen yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan politiknya. Sumpah serapah, hujatan, dan makian menjadi hal yang jamak di laman media sosial kita. Misalkan saja ketika netizen pendukung invasi Rusia melihat ada netizen yang mendukung perdamaian atau terang-terangan mendukung kedaulatan Ukraina, mereka dianggap antek NATO, pendukung NAZI Fasis, dan bahkan seperti iblis.

Di sisi lain, banyak juga netizen yang minus empati dengan sibuk mengunggah dan menyebarkan meme perang dunia ke-3. Mereka menganggap perang ini adalah sebuah hiburan langka yang patut dirayakan dan ditertawakan. Seolah perang hanyalah masalah kehilangan peluru dan senjata. Padahal jatuhnya korban jiwa entah itu dari tantara ataupun rakyat sipil merupakan tragedi kemanusiaan.

Hal ini seperti pola-pola lama yang terulang kembali. Bangsa kita seringkali tidak siap dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia. Semua perubahan yang terjadi disikapi dengan naluri cepat tanpa pemikirann yang mendalam. Netizen sering dipengaruhi emosi dalam berkomentar tanpa mau mengendalikan diri untuk membentuk lapisan-lapisan berpikir sebelum mengambil keputusan dalam berkomentar.

Hasrat ingin eksis dan takut ketinggalan trend juga menjadi kebiasaan netizen yang sangat menyebalkan. Alih-alih menjernihkan situasi, mereka malah membuat tulisan-tulisan yang sok pintar tapi minim literatur. Apalagi dibumbui dengan kata-kata yang emosional dan tidak mau tahu dengan pihak yang berseberangan pendapat dengannya.

Baca juga: FOMO: Takut Tertinggal, Takut Membuat Keputusan

Dalam lanskap warganet, eksistensi dan kekompakan netizen Indonesia sudah diakui dunia. Setidaknya beberapa kali berhasil melakukan gerakan masif misalnya memberikan serangan kepada media sosial BWF dan AFF di tahun 2021. Namun paradoksnya adalah netizen tidak homogen. Mereka juga saling serang antara satu dengan lainnya. Biasanya hal ini akan ramai dalam kancah politik menjelang pemilu atau pilkada. Netizen pendukung pasangan calon presiden atau kepala daerah tertentu akan saling serang dengan netizen pasangan calon lainnya. Mereka akan membuat kegaduhan-kegaduhan baru dengan tema-tema yang baru.

Munculnya fenomena netizen yang terkesan liar dan frontal ini tak lepas dari sejarah komunikasi di Indonesia yang di era pemerintahan Orde Baru ekspresi kebebasan berpendapat sangat dikekang. Ketika Orde Baru tumbang, era Reformasi datang dan disusul munculnya internet yang mendukung lahirnya media sosial, masyarakat Indonesia seolah mendapatkan surga dalam berpendapat. Mereka bisa menuliskan apa saja yang mereka inginkan. Mereka bisa menyuarakan apa saja yang dirasakannya. Dan yang lebih menarik lagi mereka bisa saling mengomentari pernyataan yang ditulis di media sosial.

Anonimitas dan keberjarakan membuat mereka lebih berani dalam berpendapat terlepas siapa yang dihadapinya. Di dalam media sosial mereka mendapatkan rasa kesetaraan yang baru yang tidak didapatkan di dunia nyata. Namun itu juga bisa menjadi bumerang ketika mereka tidak lagi merasa harus wajib mempertanggungjawabkan apa yang mereka unggah atau tulis di media sosial.

Baca juga: Keberingasan Para Anonim

Keberadaan netizen yang sudah cukup kuat eksisensinya ini haruslah berkembang dan tidak stagnan. Dalam artian, mereka harus mengembangkan literasi digital, menambah bacaan dan literatur dari buku, jurnal, dan artikel-artikel ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan proses dan sumbernya. Dengan demikian, netizen diharapkan tidak hanya menjadi penyerang dan penggaduh media sosial, tapi mereka menjadi komunitas yang mencerahkan, punya kompetensi tinggi, mampu bernalar kritis, mempunyai gairah literatur tinggi dan tidak mudah terbawa arus.

Kembali ke masalah kegaduhan netizen dalam menghadapi informasi tentang perang Rusia dan Ukraina, semoga semangat menggebu-gebu netizen untuk berkomentar bisa mendorong minat untuk mempelajari sejarah kedua negara dan sejarah pada umumnya, termasuk sejarah negeri sendiri.

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email