Bisakah kita menggunakan karya sastra untuk memahami kompleksitas masalah dalam politik global? Bisakah karya-karya fiksi dipakai buat memahami realitas ekonomi politik hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya tak asing dalam studi Hubungan Internasional (HI), terutama bagi para ilmuwan yang meneliti budaya populer dan politik visual dalam politik internasional.
Studi HI –terutama yang berkembang di Indonesia— seringkali dicitrakan sebagai studi yang sempit membahas ‘hubungan antar-bangsa’. Belajar HI identik dengan belajar soal perang, perdamaian, diplomasi, atau hal-hal yang terkait dengan ‘politik tingkat tinggi’. Mahasiswa HI dicitrakan sebagai calon-calon diplomat, pejabat di organisasi internasional, atau pekerja di perusahaan multinasional.
Tentu hal ini tidak keliru. Namun, kita juga sadar kalau realitas politik internasional itu kompleks. Hal yang sifatnya remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari seperti mandi atau mencuci pakaian sebenarnya juga menggambarkan apa yang terjadi dalam politik internasional. Masalah remeh-temeh ini kerap ditinggalkan oleh peneliti politik, yang mungkin lebih suka mendiskusikan masalah besar semacam perang, damai, atau kebijakan politik.
Ambil satu contoh sederhana. Setiap hari kita mandi dengan menggunakan sabun, sampo, atau perkakas lain. Tapi sadarkah kita kalau pilihan untuk menggunakan sabun sebetulnya juga terkait dengan kampanye global tentang sanitasi dan kebersihan, yang banyak digawangi oleh organisasi internasional semacam Organisasi Kesehatan Global (WHO) dan dikampanyekan oleh pemerintah setelah Perang Dunia II? Bukankah dalam banyak hal, alat kebersihan yang kita gunakan juga terkait dengan industri dan rantai pasokan global, dan dalam banyak hal juga menggambarkan budaya dan kelas sosial tertentu?
Baca juga Berbondong-bondong Menuju Metaverse
Hal-hal sepele inilah yang dipotret oleh pendekatan estetik dalam studi HI. Dengan melihat bahwa politik internasional adalah juga soal problem budaya dan kehidupan sehari-hari, pendekatan estetik mencoba memotret problem budaya dalam kehidupan sehari-hari sebagai problem politik, dan melihat –secara lebih spesifik—bagaimana karya-karya fiksi, kesusastraan, seni, dan produk kebudayaan lain punya fungsi politik yang juga menggambarkan masalah politik global hari ini.
Salah satu peneliti yang mula-mula mendiskusikan pendekatan estetik dalam studi Hubungan Internasional adalah Roland Bleiker. Ia menulis buku Estetika dan Politik Dunia (2009) dan artikelnya yang memberi fondasi teoretis dari buku tersebut, “Balikan Estetik dalam Teori Politik Internasional” (2001) kini dianggap sebagai karya klasik dalam pendekatan estetik di studi HI.
Argumen Pak Bleiker berangkat dari sebuah kritik terhadap apa yang ia sebut sebagai pendekatan mimetik dalam studi HI. Yang ia maksud sebagai pendekatan mimetik adalah cara berpikir tentang politik internasional yang cenderung kering dan ‘apa adanya’ –dalam arti politik internasional dipahami sekadar sebagai hubungan antara manusia dan negara. Disebut “mimetik”, karena pandangan ini tidak banyak menelaah bagaimana manusia menampilkan dirinya dengan menggunakan medium-medium tertentu ketika berhubungan dengan orang lain.
Inilah yang disebut oleh Pak Bleiker sebagai problem representasi, di mana hubungan internasional dianggap berjalan alami tanpa adanya proses menampilkan diri di mata manusia lain. Padahal, problem representasi ini penting dalam politik internasional. Ketika para diplomat bernegosiasi untuk mengatasi masalah perubahan iklim, mereka menampilkan banyak sekali repertoar, bahasa lisan, sampai seting agenda yang ditampilkan secara terorganisir. Diplomasi adalah panggung penampilan para diplomat yang mewakili/merepresentasikan negara mereka, di mana mereka menampilkan bahasa, kata-kata, dan proses manipulasi untuk meyakinkan lawan mereka, baik di meja perundingan, di media massa, hingga dalam pertemuan bilateral dengan negara sahabat.
Problem semacam inilah yang ditangkap oleh Pak Bleiker melalui pendekatan yang beliau ajukan, yaitu “pendekatan estetik”. Yang dimaksud dengan pendekatan estetik ini bukanlah soal seni atau sastra yang bertajuk keindahan (hal yang sering disalahpahami ketika bicara tentang estetika), namun, seperti kata pak Bleiker, pendekatan yang mengakui bahwa ada ‘bentuk-bentuk representasi’ dari sebuah obyek politik dan menganalisis bentuk dan relasi kuasa yang membentuk representasi tersebut. Di sini, pendekatan estetik melihat bahwa adanya tampilan-tampilan atau representasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik internasional. Yang perlu dilihat adalah bagaimana representasi tersebut membangun hubungan kuasa yang lebih luas dengan praktik politik yang lain.
Baca juga Superhero yang Bertarung, Politik Identitas yang Diusung
Menurut Pak Bleiker, pendekatan estetik, bahasa, visual, dan praktik-praktik diplomatik sejatinya adalah proses politik. Ia dijalankan oleh satu logika dan tatanan politik tertentu dan dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Dalam konteks praktik kebudayaan, misalnya, apa yang dilakukan oleh pematung, pelukis, dan penulis fiksi punya dimensi ‘representasi’, dalam arti mereka berupaya menampilkan pengalaman, imajinasi, dan ide mereka melalui karya-karya yang ditulis. Pendekatan estetika melihat apa yang ada di balik representasi ini: dengan melihat, misalnya, bagaimana seorang sastrawan, mengolah dan menginterpretasikan imajinasinya dalam media karya sastra. Olahan imajinasi dan kreativitas itu tidak muncul dengan sendirinya: mereka terikat dengan hubungan sosial dan politik yang terbangun di lingkungan sosial mereka masing-masing.
Contoh lain yang mungkin relevan dalam konteks politik internasional: Ketika seorang diplomat atau pemimpin politik menampilkan ‘negara’-nya dalam proses negosiasi, ia menggunakan pakaian-pakaian tertentu, citraan yang dibentuk oleh tim negosiator, diksi dan bahasa tertentu, dan strategi yang diolah sedemikian rupa untuk meyakinkan lawan negosiasinya. Kita bisa melihat, misalnya, jamuan-jamuan makan malam bersama duta besar negara sahabat di KBRI Canberra, atau kunjungan Raja Arab Saudi yang disambut dengan meriahnya tampilan “budaya Indonesia”. Semuanya adalah representasi estetik yang ditampilkan untuk kepentingan politik internasional.
Di sinilah pendekatan estetik jadi punya kontribusi menarik dalam studi HI. Dengan pendekatan estetik, kita bisa membaca realitas politik internasional dari representasi subjek melalui objek, entah itu melalui novel-novel, lukisan, patung, hingga baliho-baliho. Cara memahami representasi ini kemudian banyak dikembangkan terutama oleh ilmuwan-ilmuwan yang mendalami ‘analisis diskursus/wacana’. Melalui analisis diskursus, kita diajak untuk melihat sesuatu yang lebih kompleks dari apa yang ditampilkan di dunia sosial, yakni dengan melihat kelindan erat antara identitas, pengalaman, keseharian, hingga interaksi sosial antara seniman dan sastrawan dengan lingkungan sosialnya.
Belajar HI dari Pramoedya
Nah, mari kembali ke polemik di media sosial baru-baru ini: bisakah kita menggunakan karya sastra untuk memahami realitas semacam kapitalisme, kerentanan pekerja, atau fenomena politik global hari ini?
Jawaban singkatnya adalah ya. Namun, kita perlu melihat bahwa karya sastra punya cara pandang dan cara bicara yang berbeda dengan laporan hasil penelitian atau disertasi doktoral. Yang diceritakan karya sastra adalah refleksi penulis atas pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan sosialnya, melalui karya sastra yang ditulisnya. Karya sastra, dengan demikian, adalah refleksi dari realitas sosial yang dituliskan secara dramatis oleh penulisnya. Ia, dengan demikian, adalah realitas sosial yang diceritakan dengan cara yang lain.
Di sini, cara pandang estetik berguna untuk memahami karya sastra secara kritis, menginterogasi cara berpikir dan ideologi yang melatar-belakanginya, hingga menunjukkan sejauh mana hubungan tersebut muncul karya-karya fiksi mereka. Dalam konteks politik internasional, karya sastra akan membantu kita untuk memahami dinamika dan kompleksitas politik melalui tindakan keseharian yang diceritakan penulis novel untuk pembacanya.
Kita bisa belajar dari, misalnya, karya penulis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kuartet karya yang beliau tulis di Pulau Buru tidak hanya menceritakan perjuangan melawan penjajahan Belanda dari sudut pandang Minke, yang konon adalah personifikasi dari RM Tirto Adhisurjo. Tetralogi Buru juga adalah refleksi dari interaksi Pram dengan revolusi kemerdekaan, bergiat melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat, hingga kemudian dipenjarakan oleh rezim Orde Baru.
Tetralogi Buru menghadirkan kompleksitas perjuangan memperoleh kemerdekaan. Ia tidak bisa disempitkan melalui narasi sejarah hitam versus putih –kelompok nasionalis melawan penjajah—tetapi juga punya banyak cerita: dari sosok Nyai Ontosoroh hingga Pangemanann yang membuat persoalan anti-kolonialisme menjadi dinamis dan tidak melulu soal asing versus pribumi. Membaca Pram –dan juga novel-novel dengan tema sejenis dari penulis di negara lain—akan memberikan kita sebuah gambaran tentang politik antikolonialisme global, yang berakar dari perjuangan kaum pribumi yang tertindas oleh politik kolonialisme yang sangat otoriter dan rasis.
Pram menulis Tetralogi Buru sebagai sebuah penggambaran sejarah melalui fiksi. Tentu saja tulisan Pram tidak bisa dikutip sebagai sebuah bukti sejarah, meskipun Pram menjaga keakuratan narasi sejarahnya dalam proses penulisan. Karya Pram memberikan kita gambaran tentang dinamika sejarah politik global yang diwarnai oleh pertentangan-pertentangan sosial. Dalam Tetralogi Buru, ini artinya pertentangan melawan kolonialisme. Kita bisa membaca pertentangan sosial lain di karya-karya sastra lain, yang menggambarkan hubungan produksi dan kekuasaan di masanya.
Baca juga Pembantaian Ilmu Pengetahuan
Sehingga, di titik ini, penting untuk mengapresiasi karya sastra sebagai bagian dari cara memahami politik global kontemporer. Alih-alih menganggap sastra atau karya fiksi ‘tidak ilmiah’ –atau mempertanyakan ‘HI-nya di mana?’— kita bisa memulai dengan membaca mereka secara kritis. Melihat apa pesan yang ingin ditampilkan penulisnya, dan relasi produksi dan kekuasaan macam apa yang membentuk mereka. Atau pada level yang serius, memahami cara berpikir penulisnya dan merangkai pandangan filosofis apa yang mereka anut.
Sebagaimana pendekatan estetik, karya sastra memberikan cerita ‘yang lain’ tentang politik internasional yang pada akhirnya membuat pandangan kita tentang politik internasional makin luas dan kaya.