Ada banyak penulis masyhur yang lahir dan besar di Amerika Latin. Salah satunya adalah Mario Vargas Llosa. Llosa adalah seorang penulis karya fiksi dan nonfiksi yang berasal dari Peru. Ia meraih Nobel Sastra mengenai kartografi struktur kekuasaan dalam melawan tekanan, perlawanan, pemberontakan, serta kekalahan individu.
Esai-esai Llosa banyak membahas tentang sastra, khususnya karya-karya fiksi. Beberapa esai terbaik darinya dihimpun dalam buku Matinya Seorang Penulis Besar yang diterbitkan oleh Immortal Publisher dan Octopus di tahun 2018 lalu. Kumpulan esai serta pidatonya saat meraih Nobel di buku ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus.
Pada bagian catatan penerjemah, Ronny Agustinus menjelaskan bahwa melalui esai-esai di buku ini pembaca dapat mengidentifikasi tahapan-tahapan pemikiran Llosa. Mulai dari Llosa muda yang bersimpati pada sosialisme, Llosa dewasa yang liberal, hingga Llosa tua si penggerutu yang membenci perkembangan zaman.
Baca juga:
Kekuatan Karya Fiksi
Pandangan Llosa terhadap Sastra dapat dilihat pada esai yang berjudul Sastra itu Api (1967), Benarnya Kebohongan (1989), dan pidatonya yang diberi judul Pujian untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010). Dalam esai Sastra itu Api (1967), Llosa menyoroti sulitnya menjadi penulis di tengah-tengah masyarakat yang tidak suka membaca, yang tidak mampu membeli buku, atau mereka yang bisa membaca, tetapi tidak menyukainya. Menurut Llosa, hadirnya penerbit, pembaca, dan lingkungan yang berbudaya adalah syarat utama untuk menciptakan iklim literasi di masyarakat.
Llosa mengingatkan bahwa hakikat sastra adalah untuk membangkitkan kegelisahan manusia atas penindasan yang mungkin dialaminya. Dia juga beranggapan bahwa bukti cinta penulis terhadap negaranya bisa dilihat dari kerasnya kritik yang disampaikan melalui tulisan-tulisan mereka. Bagi Llosa, penulis tidak boleh berkompromi dengan ketidakadilan karena segala bentuk kompromi dalam ranah sastra adalah pengkhianatan.
Misi mulia yang diemban oleh sastra ditegaskan oleh Llosa di esai Benarnya Kebohongan (1989). Secara garis besar, esai tersebut membahas ketidaksesuaian sebuah novel (atau karya fiksi lainnya) dengan realita yang ada. Menurut Llosa, fiksi memang pada dasarnya berbohong karena fiksi hadir untuk meredakan watak manusia yang tidak puas dengan nasibnya dan menginginkan hidup yang berbeda dari yang sedang mereka jalani.
Fiksi tidak ditulis untuk mengisahkan ulang realitas kehidupan nyata, tetapi untuk mengubahnya dengan menambahi sesuatu. Seberapa pun terasa dekatnya sebuah karya fiksi dengan kenyataan, keduanya tetap tidak bisa dibandingkan karena ada jurang antara kata dan fakta, serta antara waktu riil dan waktu fiksi. Lalu, apa yang ditawarkan oleh karya fiksi?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami dahulu bahwa kebenaran sebuah fiksi tidak bergantung pada ada-tidaknya kekeliruan historis (sejarah) dalam isi ceritanya, tetapi bergantung pada kapasitas persuasi, daya komunikatif khayal, dan keterampilan magisnya. Llosa menyebut fiksi sebagai genre amoral karena fiksi memiliki aturan tersendiri dalam menilai kebenaran dan kebohongan dari sisi estetikanya.
Kebohongan yang ditawarkan oleh karya fiksi adalah kebohongan yang menentramkan dan memberi kompensasi atas rasa frustrasi manusia. Kebohongan ini memang bukan untuk menampilkan realita hidup, tetapi untuk menampilkan hasrat-hasrat terpendam yang bergejolak dan mimpi-mimpi indah yang nikmat bagi manusia.
Fiksi meredakan sementara ketidakpuasan manusia, juga memberi bara di dada mereka. Hal inilah yang dianggap berbahaya di tiap rezim tirani. Mereka yang menjalani hidup yang tidak dimiliki sendiri adalah biang keresahan dan ketidaksepakatan dengan eksistensi yang bisa memicu timbulnya pemberontakan, serta sikap tak tunduk terhadap kemapanan.
Hal kedua yang dibahas dalam esai tersebut adalah hubungan antara kebenaran sastra dan kebenaran historis. Dalam pandangan Llosa, rekonstruksi masa lalu dalam sastra nyaris selalu palsu karena kebenaran sastra dan kebenaran historis adalah perkara berbeda.
Kebenaran sastra—kendati penuh kebohongan—mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarawan. Sastra memiliki teknik dan daya untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di jantung kebohongan manusia. Hanya orang-orang naif yang menganggap bahwa sastra harus objektif dan setia terhadap realitas. Yang kemudian menjadi persoalan adalah saat kebenaran sastra dan kebenaran historis mulai rancu dan saling bertukar identitas.
Sementara itu, pada pidato Pujian untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010), Llosa mengisahkan masa kecilnya yang dipenuhi dengan aktivitas membaca dan menulis. Kegemaran Llosa terhadap sastra juga lahir karena keluarga yang mendukung keinginannya untuk menjadi penulis. Hal inilah yang seharusnya ditiru oleh para orangtua agar menanamkan aktivitas membaca pada anak-anak sejak dini. Bukan untuk menjadikan anak mereka penulis, tetapi agar kesadaran kritis bisa tumbuh.
Baca juga:
Membangun Peradaban Tontonan
Tiga esai Llosa yang judulnya Nona dari Somerset (1983), Sastra dan Eksil (1968), dan Matinya Penulis Besar (1994) fokus membahas terkait penulis dan aktivitas kepenulisannya. Nona dari Somerset (1983) adalah sebuah obituari terhadap Margaret Elizabeth Trask—seorang penulis cerita romantis yang sampai akhir hayatnya tidak mendapat popularitas karena menolak menyesuaikan standar moralnya dengan zaman—yang menyumbang 400.000 Pound Sterling untuk Himpunan Penulis Inggris.
Dalam esai Sastra dan Eksil (1968), Llosa menegaskan bahwa tidak masalah seorang penulis menulis di luar negeri asalnya karena yang dinilai dari penulis adalah kedisiplinan dan kejujurannya dalam menulis. Jika dia menulis lebih baik di negerinya, maka menetaplah di sana. Sementara itu, jika dia menulis lebih baik saat eksil, biarkan si penulis tetap di sana. Esai Matinya Penulis Besar (1994) membahas tentang sisi positif dan negatif dari hilangnya penulis “besar” atau penulis yang punya branding ketokohan.
Selain membahas sastra dan penulisnya, Llosa juga menulis berbagai kritik dalam esainya. Kritik tersebut bisa dijumpai dalam esai Menjenguk Karl Marx (1966), Epitaf untuk Sebuah Perpustakaan (1997), Zaman Tukang Obat (1997), dan Peradaban Tontonan (2012). Esai Menjenguk Karl Marx (1966) merupakan bentuk kritik Llosa pada Dean Street (nama jalan) yang saat ini hanya ramai dengan rumah-rumah bordil. Padahal dulunya, Karl Marx mengerjakan kerja-kerja intelektual dan kreatifnya di Dean Street. Jejak intelektual Marx seakan hilang tak bersisa di sana.
Esai Epitaf untuk Sebuah Perpustakaan (1997) berisi kekesalan Llosa karena British Library yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu harus dipindahkan ke St. Pancras yang tersohor karena pelacur dan mucikarinya. Bahkan, Llosa bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya ke sana jika sampai benar-benar tidak ada pilihan lain. Esai Zaman Tukang Obat (1997) berisi ketidaksepakatan Llosa terhadap pandangan Baudrillard tentang eksistensi manusia di zaman yang disebutnya sebagai zaman representasi akbar.
Baca juga:
Esai terakhir di buku ini sekaligus esai yang menurut saya paling menarik adalah Peradaban Tontonan (2012). Esai ini mungkin yang paling merepresentasikan peralihan Llosa menjadi orang tua penggerutu seperti yang disebut Ronny Agustinus pada catatan penerjemah. Pergeseran budaya intelektual menjadi budaya hiburan sehingga dunia saat ini hanya menjadi peradaban tontonan untuk memuaskan hasrat bersenang-senang adalah hal yang dikritik Llosa dalam esai ini.
Peradaban tontonan tersebut terjadi dalam segala lini kehidupan; salah duanya dapat dilihat pada sastra dan jurnalisme. Llosa menyoroti dominasi sastra ringan, remeh, serta hanya bertujuan untuk menghibur dan tidak lagi mampu menumbuhkan pikiran kritis pada pembaca akhir-akhir ini. Tak luput, ia juga menyoroti berkembangnya jurnalisme kacangan yang hanya menghadirkan berita-berita tidak penting dan mencari sensasi dari kisah publik figur, alih-alih menghadirkan reportase yang kritis, mendalam, dan mencerahkan.
Esai-esai Llosa seakan hendak meneriakkan betapa peran kaum intelektual memudar di tengah-tengah masyarakat kontemporer. Menurut Llosa, hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, tercemarnya generasi intelektual oleh totalitarianisme Nazi dan Soviet yang secara tidak langsung dianggap mengamini rezim-rezim yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran HAM lainnya. Kedua, konsekuensi langsung dari minimnya pengaruh pemikiran dalam peradaban tontonan.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Membaca Sastra bersama Llosa”