Kemampuan literasi pelajar di Indonesia berada pada posisi bawah. Kemampuan membaca 46,83% pelajar Indonesia berada di kategori kurang dalam data rata-rata nasional distribusi literasi keluaran Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016). Sementara itu, kemampuan literasi siswa di Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara partisipan survei yang diadakan oleh Central Connecticut State University (2017). Kemudian, Indonesia menempati posisi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah berdasarkan skor PISA (2018).
Temuan-temuan tentang kemampuan literasi pelajar Indonesia tersebut menarik perhatian banyak orang, baik di kalangan praktisi pendidikan maupun di ruang diskusi publik. Namun, lebih ironisnya lagi, orang-orang juga masih banyak yang keliru memahami makna kemampuan literasi.
Selama ini, orang menganggap bahwa kemampuan literasi hanya berkaitan dengan kemampuan membaca. Padahal, lebih dari itu, kemampuan literasi juga mencakup kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Sementara itu, kemampuan literasi dasar yang harus dikuasai oleh siswa meliputi literasi baca dan tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi budaya, hingga literasi finansial.
Baca juga:
Pengembangan berbagai kemampuan literasi siswa hadir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran di sekolah. Guru dan sekolah selaku fasilitator pembelajaran harus mendukung dan membantu siswa untuk memiliki kemampuan literasi dasar. Meskipun begitu, pengembangan literasi siswa tidak boleh dilakukan secara sembarangan, apalagi berdasarkan pemahaman yang salah kaprah terhadap kemampuan literasi.
Usaha pengembangan literasi siswa yang dilakukan secara sembarangan dan salah kaprah akan berujung sia-sia. Ambil contoh, usaha sekolah untuk menguatkan literasi baca-tulis dengan cara membaca senyap selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai yang berakhir gagal karena pelaksanaannya setengah hati dan tanpa didasari pemahaman yang tepat tentang kemampuan literasi. Pelaksanaan kegiatan membaca senyap hanya gencar di awal, lalu mulai disepelekan hingga sama sekali tidak dilakukan setelah beberapa minggu kemudian.
Agar pengembangan literasi baca-tulis siswa lebih efektif, sekolah dapat mengenalkan kebiasaan baru dengan mengenali terlebih dahulu potensi belajar siswa. Pendekatan yang menyenangkan akan membuat siswa lebih tertarik melakukan pembiasaan literasi baca-tulis. Pembiasaan literasi baca-tulis pun tidak harus dengan membaca buku, tetapi bisa dengan menggunakan sumber daya yang lain.
Siswa dengan gaya belajar kinestetik, misalnya, tidak mungkin dapat duduk tenang selama lima menit. Akan lebih sulit lagi bagi mereka jika harus duduk tenang dan membaca yang mungkin bukan kebiasaan mereka di rumah. Namun, ini bukan berarti tidak ada cara untuk mengembangkan kemampuan literasi siswa dengan gaya belajar kinestetik. Pendidik bisa memanfaatkan sumber informasi dalam format audio visual maupun media lain yang sesuai dengan preferensi siswa. Dalam hal ini, audiobook atau siniar bisa digunakan sebagai alternatif buku bacaan.
Baca juga Sekolah Penjara Kreativitas
Satu lagi tantangan dalam pengembangan literasi baca-tulis siswa, yakni kegiatan pengembangan literasi tidak meninggalkan kesan pada diri siswa. Tidak ada umpan balik dari guru selama siswa berproses mengembangkan kemampuan literasi. Alhasil, siswa mengikuti kegiatan pengembangan literasi sekadar untuk menggugurkan kewajiban atau menghindari hukuman saja.
Jika pembiasaan baru bagi orang dewasa saja membutuhkan pendekatan yang menyenangkan dan sesuai dengan preferensi individu yang bersangkutan agar berhasil, maka pembiasaan baru untuk siswa juga sama halnya. Guru sebagai fasilitator harus mampu melayani dan memberi kemudahan bagi siswa dalam mengembangkan kemampuan literasi dasar dengan memaksimalkan potensi belajar masing-masing siswa.
Sekarang ini, siswa yang duduk di institusi pendidikan dasar meliputi Generasi Z dan Generasi Alpha yang sangat lekat dengan penggunaan gawai dan menyukai cara hidup serbapraktis. Dalam kaitannya dengan kemampuan literasi baca-tulis, guru dapat memanfaatkan gawai untuk mencari informasi agar sesuai dengan preferensi, minat, dan potensi siswa.
Pandemi Covid-19 adalah suatu kondisi tak terelakkan yang semakin mendorong siswa untuk hidup berdampingan dengan teknologi dalam proses pembelajaran. Dengan mencari informasi melalui media digital, siswa dapat berlatih untuk bersikap bijaksana dalam memilah informasi. Melalui langkah ini, guru dapat memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan literasi digital dan literasi baca-tulis.
Baca juga:
Sebelum menuntut siswa memiliki kemampuan literasi dasar yang mumpuni, guru harus memastikan bahwa dirinya juga telah atau tengah berproses menjadi individu literat. Guru harus bisa jadi contoh bagi siswa dengan sama-sama mengembangkan berbagai kemampuan literasi, misalnya dengan menulis.
Menulis, secara langsung maupun tidak, membuat guru harus membaca, mengolah informasi, serta berpikir kritis, dan membuat analisis. Kesemuanya berkontribusi secara positif untuk meningkatkan kemampuan literasi dasar para guru yang menempati garda terdepan dalam usaha mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
Editor: Emma Amelia