Kalau hanya membaca judulnya saja, mungkin kita akan menyimpulkan bahwa novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja hanya sekadar menceritakan seseorang yang tidak percaya pada Tuhan. Namun, novel ini tidak sesederhana itu. Atheis adalah tentang ketidakmandirian pikiran sehingga seseorang dapat dengan mudah terjerumus paham yang bahkan dia sendiri tidak memahaminya.
Novel ini menggunakan dua sudut pandang yaitu dari Hasan dan dari seorang rekan yang menerima naskah autobiografi dari Hasan. Hasan lahir dan besar di dalam keluarga yang taat beragama. Kedua orang tuanya berguru pada kyai Mahmud yang seorang guru tarekat. Sedari kecil, Hasan sudah didongengkan tentang siksa neraka bagi mereka para pendosa.
Setelah dewasa, Hasan mengikuti jejak kedua orang tuanya dengan berguru pada kyai Mahmud. Apapun yang diucapkan oleh gurunya itu, Hasan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Dia tidak berani meragu apalagi membantahnya. Dirinya juga merasa bahwa baktinya kepada Tuhan sudah sempurna. Perasaan sempurna itu pula yang terkadang membuatnya benci kepada orang-orang yang dianggapnya kurang beriman. Setidaknya itu yang dipikirkannya sebelum bertemu Rusli, Anwar, dan Kartini.
Terombang-ambing
Hidup yang dilalui Rusli cukup berliku. Dia pernah gabung di sebuah partai politik, namun parpol tersebut akhirnya dilarang dan dirinya kabur ke Singapura. Empat tahun di Singapura, dia banyak bergaul dengan kaum pergerakan dari segala bangsa. Dia juga banyak belajar terkait ideologi-ideologi politik terutama marxisme.
Kartini sendiri sewaktu remaja dipaksa kawin dengan rentenir Arab tua oleh ibunya . Perkawinannya itu pula yang membuatnya harus putus sekolah. Selepas ibunya meninggal, Kartini kabur dari rumah dan bertemu dengan Rusli. Dari Rusli, dia belajar politik dan menjadi wanita berideologi tegas serta radikal.
Pada awal kunjungannya di rumah Rusli, Hasan terkejut melihat Kartini yang baginya tampak begitu bebas dan berbeda dengan mayoritas wanita lainnya di zaman itu. Meskipun begitu, paras Kartini yang cantik membuatnya jatuh hati. Alhasil, wajah Kartini terus terbayang-bayang dalam sujud dan zikirnya.
Melihat kenyataan bahwa Rusli dan Kartini jauh dari agama. Hasan ingin membawa mereka ke jalan agama yang diyakininya sebagai kebenaran. Maka dia memutuskan untuk berkunjung kembali ke kediaman Rusli. Sayangnya, bukannya berhasil mengislamkan Rusli, Hasan justru dibuat geram dengan Rusli yang ternyata tidak percaya pada Tuhan atau atheis.
“Agama dan Tuhan adalah bikinan manusia. Akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan ekonomi pada sesuatu jaman yang tidak sempurna.” – Hal. 75
Dalam pandangan Rusli, mereka yang percaya pada Tuhan memiliki pikiran yang kolot. Baginya, akal dan pikiran manusia tidak boleh dikaburkan oleh fanatisme dan dogma agama. Rusli beralasan bahwa ada banyak persoalan hidup di masyarakat yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan beribadah saja. Kepandaian Rusli dalam berbicara membuat Hasan sulit membantahnya meskipun dirinya tidak setuju dengan pemikiran Rusli.
Sementara itu, pertemuan Hasan dengan Anwar terjadi saat dirinya beserta Rusli dan Kartini singgah makan di sebuah restoran. Rusli memperkenalkan Anwar sebagai seniman anarkis dari Jakarta. Sedari awal, Hasan tidak menyukai Anwar yang dianggapnya terlalu cerewet dan sering mencuri tatap ke wajah Kartini. Di pertemuan ini pula Hasan mengetahui bahwa Anwar juga tidak percaya pada Tuhan. Anwar sependapat dengan Marx yang menganggap bahwa Tuhan (agama) itu madat (candu).
Pemikiran dan keyakinan Hasan terhadap Tuhan mulai berubah seiring dengan semakin seringnya dia berdiskusi dengan Rusli dan rekan-rekan Rusli yang lain. Rusli seolah menjadi gurunya yang baru menggantikan kyai Mahmud. Dia mendasarkan kepercayaannya pada pengetahuan dari Rusli, bukan dari proses mencari tahu sendiri.
“Aku (seperti kata Rusli) mengelakkan hidup yang nyata. Lari ke alam baka, ke alam gaib, ke Tuhan. itu (kata Rusli pula) hakekat mistik: lari dari dunia yang nyata. … itulah maka (menurut pendapat Rusli pula) nonsens orang mengatakan bahwa orang Indonesia itu ‘mistisch aangelegd’.” – Hal. 127
Hasan sekarang hanya melakukan salat ketika sedang tertimpa kesedihan yang mendalam. Puasa pun sudah dianggapnya sebagai suatu perbuatan yang sesat. Perbuatan Hasan itu mengaminkan sebuah pepatah Belanda yang dikutip di autobiografinya sendiri, “in de nood leert men bidden” yang artinya kesusahan hidup mendorong kita untuk sembahyang.
Hubungan Hasan dengan kedua orang tuanya pun hancur setelah dirinya mengaku sudah tidak percaya kepada Tuhan lagi. Pengakuannya tersebut berawal dari cemoohan Anwar yang menganggapnya menipu diri sendiri saat melaksanakan salat di depan orang tuanya. Hasan memang terpaksa salat untuk sekadar menyenangkan hati kedua orang tuanya.
Ketidakmandirian berpikir dari Hasan membuatnya mudah terombang-ambing oleh arus pemikiran orang lain. Ketidakmandirian itu pula yang menjauhkannya pada orang tua, bahkan Tuhannya sekali pun. Kelemahan Hasan ini juga diamini oleh rekannya setelah membaca naskah autobiografi dari Hasan.
“Sambil memutar kunci laci itu, yakinlah saya, bahwa saya pun sanggup mempengaruhi Hasan yang bimbang itu. Saya sanggup mempengaruhinya seperti orang-orang yang diceritakannya dalam naskahnya itu. Saya sanggup membimbingnya ke arah sesuatu tujuan menurut faham saya sendiri.” – Hal. 183