Istilah politik masih dianggap mencerdaskan dan memancing gairah pengetahuan mungkin terlalu berlebihan. Derap perubahan wacana-wacana dunia perpolitikan kerap kali dipenuhi dengan kenyataan klise. Barangkali perbedaan generasi menjadi penyebab kenyataan itu terjadi. Generasi politik hari ini jauh tertaut dari generasi pada masa lalu. Politik kemudian menjadi hal yang penuh absurd tanpa landasan yang jelas. Politik menjadi runtutan perpindahan saja.
Barangkali tepat ketika kita kembali membaca Mochtar Prabottinggi melalui kolomnya, “Politik tanpa Imajinasi”, di Majalah Tempo Edisi 22 Mei 1993. Ia memberi penekanan makna politik harus didasari dengan imajinasi. Tulisnya: “Politik justru bertumpu pada imajinasi tentang kebersamaan manusia, atas dasar kemampuannya menerobos tembok-tembok kepicikan. Sebab tujuan tertinggi politik tak bisa lain dari pembangunan jembatan kemanusiaan, pembangunan persaudaraan sebangsa dan sedunia.”
Tanpa perlu menunggu tuntutan untuk menampilkan dirinya kepada publik, pejabat seharusnya inisiatif dalam menyadari segala tanggung jawab dan amanah kepada rakyat dalam sistem perpolitikan. Komunikasi harus dibangun dengan dasar bagaimana kapasitas diri, kapabilitas, dan pengetahuan kepada masyarakat. Dialog yang dimunculkan kemudian menjadi pertukaran gagasan yang dinamis dan mendukung antara satu dengan lainnya.
Walakin, seturut dengan lanskap dunia digital, politik terkadang menjadi sarana yang membabi buta dan terkooptasi dalam hal seperti perebutan kekuasaan dan egoisme kolektif. Puncaknya, situasi kejumudan yang lahir kemudian diwarnai dengan kelompok pendengung yang dengan tersistem ditugaskan untuk memecah belah publik. Tujuannya tentu satu, tak lain adalah berebut pengaruh.
Minim Literasi
Secara sekilas, saya rasa satu hal yang luput dilakukan oleh para aktor politik adalah kemampuan bernalar yang disokong dengan kekuatan literasi. Gagasan demi gagasan tertulis untuk mengisi ruang-ruang media, baik cetak maupun daring terasa sepi. Media yang dalam sejarah memiliki kait kelindan terhadap perjuangan panjang—bersemanyamnya pikiran besar untuk perbaikan bangsa dan negara—telah berbanding terbalik, justru kini yang terkadang muncul adalah lanskap media yang terkooptasi untuk kepentingan politik.
Sementara itu, dunia semakin berubah. Banyak pengetahuan yang terbengkalai hingga akhirnya memperkuat ketimpangan dalam banyak hal. Kita kemudian teringat pernyatan dari KH. Saifuddin Zuhri. Dulu ia gandrung menulis, salah satunya terkait persoalan politik hingga kemudian kumpulan tulisannya diterbitkan menjadi buku berjudul Kaleidoskop Politik sebanyak dua jilid. Tulisan demi tulisan tetap penting dan perlu dibaca pada situasi saat ini.
Dalam sebuah tulisannya, ia memberi penegasan bahwa politik memerlukan improvisasi. Politik berkaitan dengan pidato. KH. Saifudin Zuhri menulis: “Suatu pidato akan menjadi hidup jika si pemberi pidato membuat dirinya bersambung dengan hadirin/pendengar, menyentuh lubuk hati mereka, bermanunggal dengan mereka. Tatapan mata yang menembus menjadi anak kunci pembuka hati dan pikiran hadiran/pendengar, maka bersambunglah hati dengan hati dan pikiran dengan pikiran.”
Baca juga:
Kemampuan Beretorika
Ketertautan antara pikiran dan tindakan sebagai dialog publik mengingatkan kita pada konsep mengutarakan argumen dan retorika. Keduanya itu berurusan dengan debat sebagai metode pengujian segala hal untuk mengetahui kelayakan hinga relevansi. Kita teringat sebuah buku garapan Arthur Schopenhauer, Seni Berdebat: 38 Jurusan Memenangkan Argumen (Circa, 2019).
Kita tak perlu menjadikan buku itu rekomendasi bagi para aktor politik. Lebih baik menyimak dan memahami apa hakikat berdebat dan pentingnya dalam kehidupan. Schopenhauer memberi ujaran bahwa sebuah debat terlaksana sekalipun ia tak menjamin kebenaran. Kebenaran tidak pernah dapat ditentukan atau dipastikan hingga perdebatan usai. Situasi itu mengingatkan kita pada salah seorang sosiolog, Ignas Kleden.
Kleden pernah mengutarakan perkara debat dalam kebudayaan di kalangan intelektual dan tokoh publik. Ia menyebutnya dengan “on going debate” untuk memberi gambaran bahwa apa saja yang telah menjadi pembicaraan maupun wacana sebelumnya berujung tak melakukan apa-apa. Agaknya situasi itu turut menggejala dalam dinamika politik kita, dan justru yang terjadi kemudian adalah situasi pascakebenaran menunggang wacana yang berkembang. Ketakutan semakin muncul ketika terjadi banyak hal yang melenceng dari norma maupun etika.
Kita masih berada dalam keraguan demi keraguan yang akut akan masa depan politik. Politik semakin kehilangan rohnya dalam matra kehidupan banyak orang. Absurditas itu semakin menjadi saat perhelatan perebutan jabatan politik yang digelar dengan dalih pesta rakyat dan mengatasnamakan bangsa dan negara. Kita sebagai generasi zaman sekarang semakin kehilangan imajinasi politik itu sendiri. Percepatan dalam peradaban harusnya diimbangi dengan percakapan intim akan harkat dan martabat umat manusia.