Skeptisisme dan Empati Karl Marx

Cahyono Anantatoer

2 min read

“Marx menemukan fakta yang sederhana, bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memikirkan tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni, dan agama.” – Friedrich Engels, “Speech at the Graveside of Karl Marx

Menyelami khazanah pemikiran Karl Marx dari ia muda hingga matang melalui buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis Suseno membuat saya berkali-kali mengernyitkan dahi. Marx yang skeptis sekaligus Marx yang selalu menaruh empati pada masyarakat yang tengah berjuang. Barangkali ini benang merah yang saya temukan pada setiap argumentasi kritis Marx atas ketimpangan kelas antara masyarakat borjuis dan proletar.

Empati Marx disalurkan melalui teorinya, yang berkontribusi secara praktis dalam bentuk gerakan sosial. Fakta sosial yang ia jumpai pada komunitas masyarakat Eropa adalah fenomena yang mendorongnya membangun sebuah argumentasi kritis atas perjuangan masyarakat kaum buruh dengan teori yang kita kenal sebagai sosialisme.

Baca juga:

Pemikiran Marx bukan saja menjadi inspirasi dasar Marxisme sebagai ideologi perjuangan kaum buruh, dan bukan saja menjadi komponen inti dalam ideologi komunisme. Pemikiran Marx juga menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis. Ada satu unsur yang khas bagi pemikiran Marx, pemikirannya tidak tinggal dalam wilayah teori, melainkan, juga menjadi sebuah kekuatan sosial dan bahkan politik. Marx mengembangkan pemikiran yang pada dasarnya filosofis, namun kemudian menjadi teori perjuangan sekian banyak generasi pelbagai gerakan pembebasan. (hal.3).

Konteks dasar yang menentukan arah perkembangan Marx sesudah menyelesaikan sekolah gymnasium adalah situasi politik represif di Prussia, negara yang menguasai sebagian besar Jerman Utara (salah satu dari puluhan negara berdaulat di tanah Jerman waktu itu) yang telah menghapus kembali hampir semua kebebasan yang diperjuangkan oleh rakyat dalam perang melawan Napoleon.

Di Universitas Berlin, Jerman, Marx dengan segera terpesona oleh filsafat Hegel. Dari Hegel, ia mencari jawaban atas pertanyaan yang menggerakkannya, bagaiman membebaskan manusia dari penindasan kekerasan politik reaksioner. Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenalan dengan filsafat Feurbach. Marx mengartikan bahwa ciri reaksioner negara Prussia sebagai ungkapan sebuah keterasingan manusia dari dirinya sendiri, (hal.9).

Di Rusia, Marx berhasil menarik Vladimir Lenin, kekuatan utama di balik Revolusi Rusia tahun 1917, yang menghancurkan kekaisaran dan mengguncangkan dunia. Kemudian, di tahun 1940an, guncangan serupa terjadi di Cina ketika tokoh Marxis yang lain, Mao Tse-Tung, memimpin tentara beranggotakan petani miskin untuk mendapatkan kemenangan yang dahsyat. (Daniel L. Pals, 2001: 208).

Pada akhir tahun 1843 Marx harus melarikan diri dari wilayah kekuasaan Prussia. Marx mencari suaka di negara yang paling liberal dan terbuka waktu itu, Prancis. Ia pergi ke Paris, pusat pemikiran sosialisme waktu itu. Marx menjadi yakin bahwa keterasingan paling dasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Sejatinya pekerjaan adalah kegiatan di mana manusia justru menemukan identitasnya, tetapi sistem hak milik pribadi kapitalis menjungkirbalikan makna pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Melalui pekerjaan, manusia tidak menemukan, melainkan mengasingkan diri.

Di Paris, Marx bertemu Proudhon dan orang-orang sosialis radikal lainnya. Ia menemukan posisinya dari seorang liberal radikal menjadi seorang sosialis. Cerminan pertama perkembangan pemikiran Marx ini adalah anggapan bahwa emansipasi manusia seutuhnya akan dilaksanakan oleh proletariat. Berkat rangsangan sebuah karangan Friedrich Engels, Marx mulai secara sistematis memperhatikan perkembangan-perkembangan ilmu ekonomi. Ia membaca Adam Smith, Ricardo, Say, James Mill, dan banyak penulis lainnya, (hal.91).

Ada beberapa unsur yang dirasa penting dalam teori kelas Marx yang perlu diperhatikan. Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan buruh dan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Kedua, kelas-kelas bawah (proletar) berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka, setiap perubahan mesti berupa pembebasan. Ketiga, bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat dicapai melalui revolusi. Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan.

Cahyono Anantatoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email