Sejauh yang bisa kuingat, sepanjang hidupku, aku tidak pernah menemukan sebuah toilet umum yang bersih. Selalu ada lumut di dindingnya, yang berwarna kuning benar-benar membuatku mual, bahkan salah seorang temanku pernah sampai muntah ketika melihatnya sehingga potongan semangka, nasi, sate kambing, dan acar keluar dari perutnya bersama dengan cairan berwarna merah muda seperti jus jambu yang begitu kental. Airnya keruh, seringkali ada aroma bacin yang menusuk hidung. Lantainya licin sehingga dalam beberapa kali kesempatan aku mendengar suara orang terjatuh dari dalam sana ketika kebetulan sedang mengantre. Yang paling menyebalkan dari fasilitas yang demikian adalah pemakai tetap dikenakan tarif sebesar dua ribu rupiah. Beberapa toilet umum di suatu tempat bahkan lebih mahal seribu rupiah hanya untuk kencing.
Apakah suatu saat di masa depan akan ada sebuah toilet umum yang bersih? Aku tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Pertanyaan itu barangkali sama sukarnya dengan pertanyaan kapan korupsi menghilang dari segala tingkat pemerintahan.
Memang, hal ini hanya kutemui di kota asalku saja. Sebuah kota kecil yang sering dijuluki sebagai salah satu kota satelit karena letaknya berdekatan dengan ibu kota provinsi. Memang, aku begitu jarang pergi ke luar kota. Seingatku, aku pergi ke luar kota hanya ketika rekreasi sekolah. Toilet yang kumasuki, tentu saja, toilet di penginapan dan di rumah ibadah. Kondisinya memang tidak seburuk toilet-toilet umum yang pernah kukunjungi, tetapi tetap tidak dapat disebut sebagai toilet yang bersih. Ada satu indikator pasti yang bisa digunakan untuk mengukurnya, yakni berapa lama seseorang bisa tahan berada di dalam sana. Toilet yang bersih akan membuat pengunjungnya merasa betah berlama-lama di dalamnya. Toilet yang bersih akan dapat menjadi tempat rehat sejenak dari kehidupan yang terus berputar di luar sana. Air bersih dan segar tanpa aroma apa pun yang digunakan untuk membasuh muka akan dapat mengembalikan semangat untuk kembali lagi pada kehidupan yang terus bergerak dengan cepat di luar sana, seperti seseorang yang baru saja bangun di suatu pagi yang jernih dengan udara subuh yang begitu sejuk.
Aku pernah mendengar seseorang berbicara tentang kebersihan sebuah toilet, “Jika toilet dalam sebuah rumah bersih, berarti para penghuninya adalah orang yang suka menjaga kebersihan. Begitu juga sebaliknya. Kau bisa melihat kepribadian seseorang dari toilet yang mereka miliki.” Mari kita tarik pendapat semacam itu ke skala yang lebih luas, yakni toilet umum. Jika sebuah toilet mencerminkan para penggunanya, berarti hampir keseluruhan para penduduk di kota ini benar-benar orang yang kurang memperhatikan kebersihan kalau memang tidak boleh disebut sebagai orang yang jorok. Mungkin aku adalah salah satu dari mereka. Bagaimanapun, aku juga penduduk kota ini. Jika kalian melihat E-KTP-ku, kalian akan mendapati bahwa aku lahir dan bermukim di kota ini.
***
Seorang kawan mengajakku berkendara dengan mobilnya. Dia perempuan. Aku duduk di kursi penumpang dan dia yang mengemudi. Kalau aku bisa mengoperasikan kendaraan beroda empat dan memiliki lisensi resmi yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian, mungkin aku akan menawarkan diriku untuk mengemudi. Tapi, aku tidak memilikinya, juga tidak bisa sedikit pun mengoperasikan kendaraan roda empat ini.
Sebenarnya, dia tidak punya tempat tujuan. Dia hanya ingin berkeliling kota. Karena dia tidak suka sendirian, dia pun mengajakku yang dia ketahui tidak terlalu sibuk. Terlebih lagi karena aku adalah orang yang tidak bisa menolak permintaan. Dia hanya perlu mengirimiku pesan singkat. Kalau aku tak kunjung membacanya, dia hanya perlu meneleponku. Ketika dia berkata, “Ikut aku!”, secara otomatis aku akan mengiyakannya. Seseorang tidak suka jawaban tidak atau dalam bentuk penolakan. Mungkin karena hal semacam itulah ada cara menolak dengan halus yang telah diciptakan oleh para leluhur dan mereka wariskan secara turun-temurun secara lisan, bukan melalui mata pelajaran di sekolah-sekolah. Tapi, sialnya, aku tidak pernah sanggup untuk menolak ajakan seseorang, apalagi seorang teman dekat sepertinya.
Begitulah. Kami berdua, yang sama-sama hampir mencapai usia tiga puluh tahun dan masih lajang, berkendara tanpa tujuan di dalam kota satelit ini.
***
“Bicaralah sesuatu,” katanya. “Agak aneh kalau kita saling diam.”
Sebenarnya dia sudah memutar lagu di mobilnya yang terhubungan dengan telepon genggamnya melalui kabel USB. Lagu dari sebuah band asal negeri matahari terbit yang telah bubar tahun 2012 sejak dibentuk lima tahun sebelumnya, Stereopony, yang berjudul “Chiisana Mahou”. Mungkin, kurang lebih, bisa diartikan sebagai sedikit sihir. Temanku yang satu ini benar-benar tergila-gila dengan Jepang sejak masih berusia belasan. Dia bahkan pernah mengajakku dengan sedikit paksaan untuk menemaninya menonton film pertarungan antar-robot di luar angkasa dengan sinar laser dan pedang cahaya. Dengan musik yang sedang berputar sekarang, semestinya tidak perlu ada obrolan apa pun, setidaknya begitulah menurutku. Kami berdua hanya perlu menikmati suara vokal dari penyanyi kelahiran Okinawa yang bernama Haraguni Aimi itu.
Kono machi wo tsutsumu kaze wa
Doko ka sukoshi tsumetakutte
Boku wa itsumo hitori datta
Sore de ii to omotteta n da¹.
“Ayolah! Bicaralah tentang apa pun,” katanya lagi.
Aku akhirnya menurutinya.
“Kau pernah berpikir tentang toilet umum?”
Tawanya pecah saat itu juga. Tawanya mengalahkan suara vokal Haraguni Aimi untuk beberapa saat. Aku yakin, dia tidak sedang menghinaku. Kurasa, siapa pun akan segera tertawa ketika diajak berbicara tentang topik semacam itu. Mungkin, baginya, aku adalah orang pertama yang mengajaknya berbicara tentang toilet umum.
Setelah tawanya reda, suara vokal Haraguni Aimi terdengar jelas lagi beriringan dengan deru kendaraan. Jendela kami sedikit terbuka. Dia berkendara sambil merokok dan membuang abunya keluar jendela begitu saja. Aku tidak setuju dengan yang dilakukannya karena hal semacam itu bisa mengganggu pengendara lain. Tapi, dia mengabaikan peringatanku itu. Aku tidak bisa terus menekannya.
“Maaf.”
“Tidak masalah.”
“Kau benar-benar berpikir tentang toilet umum?”
“Ya. Aku sungguh-sungguh.”
“Ada apa dengan toilet umum?”
“Mereka kotor. Aku telah berkali-kali menggunakan toilet umum di berbagai tempat di kota ini, mereka semua kotor.”
Dia diam dan mengamati jalanan. Beberapa kendaraan mendahului kami seperti sedang diburu waktu, salah satu ciri manusia modern. Secara hati-hati dia memindahkan perseneling. Aku tidak punya banyak pengalaman berkendara dengan mobil sehingga tidak bisa benar-benar merasakan perpindahan giginya. Dia melihat ke kaca spion. Setelah memastikan kendaraan di belakang kami masih jauh, dia menyalakan lampu sein sebelah kiri dan secara perlahan menggerakkan mobil ke lajur kiri. Setelah berada di lajur kiri, dia menurunkan kecepatannya.
“Namanya juga jalan-jalan, harus pelan-pelan agar bisa menikmati pemandangan,” katanya.
Aku mengangguk. “Benar.”
“Omong-omong, aku tidak pernah benar-benar memikirkan soal toilet umum yang kotor. Kautahu, aku juga sering menggunakan toilet umum. Tapi, tidak seperti kau, aku tidak pernah repot-repot untuk memikirkannya.”
“Mungkin aku punya banyak waktu luang.”
“Mungkin.” Kemudian, dia menirukan suara vokal Haraguni Aimi, “Tsutaite KOTOBA atsume/ Chiisa na mahou wo kakete/ saa KIMI no moto e to okuru².”
“Chiisana Mahou” telah selesai, kemudian berputar dari awal lagi. Dia sepertinya mengaturnya demikian, seolah tidak ingin mendengarkan lagu lainnya. Sebenarnya, aku tidak terkejut sama sekali. Memang begitulah kebiasaannya. Dia senang memutar lagu yang sama berulang kali. Hebatnya, dia tidak pernah bosan akan hal itu.
“Apa menurutmu suatu hari nanti di dunia ini, … sepertinya terlalu luas, … di kota ini akan ada toilet umum yang bersih?” tanyanya.
“Terkadang aku coba membayangkannya. Tapi, selalu saja gagal. Tapi, ketika aku mencoba berpikir positif sepenuhnya, aku dapat membayangkannya. Mungkin, suatu hari nanti, di tahun 2400-an, kota satelit ini akan memiliki toilet umum yang bersih. Itu pun kalau kota satelit ini tidak terkena serangan udara atau luluh lantak karena bencana alam yang tidak pernah diduga sebelumnya.”
“Sayang sekali, saat itu tiba, kita sudah berupa tulang dan tanah dan dikubur jauh di dalam tanah.”
“Ya.”
“Apa menurutmu keturunan dari masing-masing kita akan ada saat hari itu tiba?”
“Mungkin. Tapi, aku sangat yakin, mereka tidak akan pernah mengenal kita sebagaimana kita tidak mengenal leluhur kita. Kita akan dilupakan seperti kita melupakan leluhur kita.”
“Rasanya sedih sekali.”
“Memang. Tapi, setidaknya, toilet umum sudah bersih. Sebuah dunia dengan toilet umum yang bersih mungkin akan lebih indah. Mungkin.”
“Kau terlalu banyak menggunakan kata mungkin.”
“Mau dengar kemungkinan lagi?”
“Boleh,” katanya sambil mengangguk.
“Mungkin,” kataku, “kita perlu sedikit sihir sebagaimana yang dikatakan Haraguni Aimi dalam lagu ini untuk membuat hari ketika dunia ini memiliki toilet umum yang bersih tiba lebih cepat.”
“Pertanyaan berikutnya adalah, ‘Siapa?’” katanya dengan nada riang.
“Ya, siapa yang akan mengeluarkan sedikit sihir agar sebuah dunia dengan toilet umum yang bersih hadir lebih cepat? Aku tidak bisa memikirkan jawabannya. Mungkin memang tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu.”
“Omong-omong soal toilet umum, aku jadi ingin ke sana.”
“Sepertinya di depan ada pom bensin.”
“Oke.”
Dia menambah kecepatan mobil agar bisa segera sampai di pom bensin untuk menumpang toilet umum yang ada di sana.
Aku bisa membayangkan pemandangan toilet umum itu sejak dari pintu masuknya. Di dinding luar akan ada tulisan “Kebersihan Sebagian dari Iman”. Kemudian, di bawahnya akan ada tulisan “Buang Air Kecil Rp. 2000” dan di bawahnya lagi akan ada tulisan “Buang Air Besar Rp. 3000”. Sebuah kotak kecil dengan sebuah lubang pipih akan diletakkan di atas meja atau kursi plastik di sana. Setelah mendorong pintu, seseorang akan dapat melihat lumut pada tegel dan dinding dan keran air. Hidung yang masih berfungsi dengan normal akan sanggup mencium aroma tidak sedap yang memenuhi ruangan.
Terakhir, air keruh beraroma bacin yang ada di dalam tong atau yang mengalir dari keran mau tidak mau harus digunakan untuk membersihkan hadas kecil. Tidak banyak pilihan atau bahkan sebenarnya tidak ada pilihan sama sekali. Kami harus menggunakan yang tersedia, tanpa bisa meminta yang lebih baik.
(Mojokerto, 26 April—22 Juni 2022)
*****
Catatan:
¹ Kota ini dikelilingi oleh angin
Dan terasa sedikit dingin di suatu tempat
Aku selalu merasa sendiri
Namun bagiku itu tidak masalah.
² Mengumpulkan kata-kata yang ingin kukatakan padamu/ mengeluarkan sedikit sihir/ Dan aku akan mengirimkannya ke tempat kau berada.
Seluruh lirik lagu beserta terjemahannya dikutip dari laman www.kazelyrics.com.
Editor: Moch Aldy MA