Dalam kelompok-kelompok kecil, kegiatan bergosip sering kali menjadi bagian dari obrolan kala bertemu. Namun, tak jarang perpecahan di dalam suatu kelompok maupun antarkelompok disebabkan oleh gosip. Gosip yang belum jelas kebenarannya ternyata memiliki daya untuk mempengaruhi individu atau kelompok dalam merespons dan bertindak. Lantas, bagaimana sebenarnya fenomena bergosip terjadi?
Bergosip merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk membicarakan seseorang yang cenderung berkaitan pada hal-hal atau perasaan negatif. Biasanya gosip dapat menjadi salah satu sumber informasi yang dapat digunakan oleh seseorang untuk melakukan proses justfikasi. Namun, gosip sendiri tidak sepenuhnya berdasarkan informasi yang bersifat faktual dan akurat. Dengan demikian, gosip dapat kita generalisasi sebagai obrolan asumsi-asumsi negatif tentang seseorang. Asumsi negatif ini dapat muncul akibat rasa tidak senang seseorang, hubungan sosial dalam masyarakat, motif ekonomi, dan hubungan personal yang kurang baik.
Norma Sosial
Manusia memiliki kebebasan yang bersifat mutlak dan ini merupakan hak yang sudah ada sejak mereka lahir ke dunia. Upaya untuk menyebarkan dan memberikan sebuah pandangan buruk merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kegiatan ini termasuk cara berekspresi dan bentuk kontribusi sosial yang keliru dalam masyarakat.
Masyarakat membentuk kesatuan sosial pada tempat tertentu. Mereka memiliki budaya dan nilai-nilai sosial yang wajib untuk diikuti oleh setiap anggotanya. Kumpulan budaya dan nilai sosial tersebut membentuk norma-norma masyarakat yang berlandaskan etika dan moral sebagai manusia. Nilai-nilai tersebut dapat berupa peraturan tertulis atau berbentuk kebiasaan yang melekat di suatu masyarakat.
Dalam filsafat moral, kata “etika” memiliki arti: etika dengan artian nilai-nilai moral; etika dalam arti peraturan atau norma moral; dan etika sebagai filsafat dan keilmuan. Nilai tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat agar menciptakan kehidupan yang saling berintegrasi sehingga nilai-nilai tersebut tetap diterapkan dengan baik. Rantai integrasi sosial tersebut berupaya untuk menciptakan keserasian dalam masyarakat. Namun, upaya yang dilakukan tidak mungkin terhindar dari masalah-masalah sosial yang sering timbul dari upaya integrasi tersebut, salah satunya adalah yang ditimbulkan dari gosip.
Lembaga masyarakat memiliki peran penting untuk melaksanakan dan mengawasi perkembangan integrasi sosial tersebut hingga sampai pada tahapan kehidupan yang aman dan nyaman. Namun, lembaga sosial tidak dapat secara efektif mengatasi masalah sosial yang bersifat tak kasat mata. Gosip akan selalu ada di dalam masyarakat hingga akhirnya gosip tersebut menjadi akar masalah dan memicu perpecahan dalam kelompok masyarakat. Bergosip sendiri adalah tindakan keliru yang tidak sesuai dengan nilai moral sehingga membuat kualitas manusia tidak utuh.
Cara pandang moral selalu merujuk pada nilai tertentu hingga manusia dapat menjadi manusia yang baik. Sebagai filsafat, etika mempelajari moralitas. Seseorang yang menyebarkan gosip tidak memperhatikan etika normatif yang sudah menjadi standar kehidupan. Perkembangan gosip dan asumsi negatif yang belum memiliki landasan kuat menciptakan disintegrasi dan memicu perpecahan secara emosional. Proses tersebut membutuhkan dorongan-dorongan destruktif hingga individu dapat bertindak secara konkret untuk melakukan klarifikasi terkait gosip yang beredar atau melakukan serangan balik dengan menyebarkan gosip tentang seseorang yang menggosipkan dia.
Sifat egois manusia membuat kejernihan berpikir dan juga etika seseorang lemah atau bahkan berkurang. Hal ini dapat diukur dengan memperhatikan sikap seseorang ketika berbicara dan juga respons yang diberikan ketika berada dalam kegiatan sosial di dalam kelompoknya. Pemicu ini dapat menyebabkan masalah yang panjang dan semakin kompleks. Tidak jarang kita mendengar ada perkelahian yang diakibatkan oleh gosip. Permasalah tersebut dapat mempengaruhi hierarki etika yang sudah tersusun dengan baik secara sistematis.
Hierarki Etika
Hirarki etika sendiri terdiri dari empat bagian yang dilihat dari skala mikro hingga makro: moralitas pribadi, etika profesi, etika organisasi, dan etika sosial. Apabila kita analisis lebih lanjut, masalah gosip dan tindakan bergosip dimulai pada titik mikro yaitu moralitas pribadi. Pemahaman tentang moralitas sangat penting dan harus ditanamkan sejak dini oleh orang tua. Hal ini dapat memengaruhi perkembangan seseorang dan rasio-rasio psikologis individu.
Gosip bertolak dari rasa ketidakpuasan secara fisik atau mental hingga membuat disintegrasi sosial. Seseorang yang bergosip berupaya untuk memberikan gambaran negatif terhadap seseorang yang digosipkan. Pelaku gosip memiliki rasa ketidakpuasan psikologis terhadap pencapaian seseorang yang terlihat bahagia. Mereka akan menyadari tindakannya sebagai bentuk penyelamatan diri dari masalah ketidakpuasan yang mereka rasakan. Mereka akan merasa puas ketika melihat orang yang digosipkan mendapat masalah akibat gosip yang tersebar dalam kelompok masyarakat. Tindakan ini dapat mengancam keamanan, kenyamanan, dan terhambatnya perkembangan seseorang untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Baca juga:
Sanksi Pelaku Gosip
Moralitas memandang gosip sebagai tindakan yang keliru dan menyalahi etika normatif. Penekanan dan sanksi sosial diperlukan untuk membuat pelaku gosip berubah menjadi manusia yang lebih baik. Gosip dapat terjadi di mana saja dan kapan saja karena lembaga sosial sebagai pengawas kehidupan masyarakat terbatas. Peraturan yang mengikat para pelaku gosip untuk tidak melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral belum maksimal. Lembaga sosial sering kali hanya mengatasi kasus-kasus yang sudah menyebar luas dan menimbulkan konflik secara fisik, sementara kasus-kasus yang bersifat konflik verbal belum dapat diatasi.
Bergosip masih menjadi masalah klasik dan dianggap remeh oleh sebagian orang. Ketika tumbuh dewasa, seseorang dapat mempelajari lebih lanjut permasalahan etika dan moral untuk terhindari perilaku bergosip. Manusia tidak akan bisa menjadi individu yang manusiawi jika mereka masih berupaya untuk melakukan disintegrasi sosial. Rasa ikhlas dan kemampuan menerima kenyataan diperlukan agar tidak menimbulkan permasalah yang membawa manusia menjadi sosok yang amoral.