Kalo kebetulan, bisa ditemui di mana-mana. Kadang tulis-temulis lalu dikirim ke mana aja. Kadang suka tiduran. Kadang, sering khawatir sama makan. Tapi, tentunya selalu semangat.

Nasi Basi Kategorisasi Sastra

Ahmad Zulkarnaen

3 min read

Jika ada sebuah pertanyaan seperti “Mana yang lebih menggairahkan antara karya sastra serius dan karya sastra populer?” tentu jawabannya akan sedikit membingungkan. Membingungkan, mungkin dalam maksud ‘setiap orang memiliki seleranya masing-masing’. Berdasarkan selera tersebut, setidaknya kita telah mengetahui bahwa karya sastra telah terbagi dua, yaitu sastra serius dan sastra populer.

Agak lebih jauh lagi, seperti yang telah diketahui, keduanya memiliki pembeda, misal sastra serius lebih menampilkan peristiwa kehidupan secara mendalam, sedangkan sastra populer hanya menampilkan peristiwa kehidupan secara ringan. Artinya, di sini, keduanya memiliki karakter masing-masing bahwa karya sastra populer tidak memiliki intensitas penulisan seperti karya sastra serius.

Sastra serius dapat dikatakan lebih ajeg, lebih kukuh, dan lebih dewasa ketimbang sastra populer. Tentu dalam hal ini, sastra serius kerap menjadi sebuah perhatian para pakar, tokoh, serta orang-orang yang bergerak dalam bidang ilmu susastra lainnya. Maka, tidak heran jika sastra serius menjadi anak kesayangan yang tumbuh-kembangnya diperhatikan sampai ke bagian karakteristik dan periodisasi.

Dalam perkembangannya di Indonesia, jika ada perbincangan mengenai sastra populer, yang sering diperbincangkan di dalamnya cenderung hanya bagian karakteristik saja. Perbincangan tersebut tidak sampai pada bagian periodisasi. Padahal, selain periodisasi sastra serius, periodisasi sastra populer pun perlu kita ketahui untuk seminimal-minimalnya dapat menghargai perkembangan sastra populer itu sendiri, atau mungkin dapat mengapresiasi penulis-penulis yang karyanya berada dalam wilayah sastra populer.

Nenden Lilis dalam Adakah (dan Perlukah) Periodisasi Sastra Populer? (2008) mengemukakan bahwa perumusan periodisasi sastra ini dilakukan karena melihat bahwa sastra Indonesia telah berkembang dalam beberapa kurun waktu, dan setiap kurun waktu diisi oleh konvensi, norma, standar, dan tema karya sastra tertentu yang dominan, yang kemudian membentuk kekhasan periode tersebut. Kekhasan periode inilah yang kemudian membentuk angkatan-angkatan sastra. Upaya penyusunan ini antara lain telah dilakukan H.B Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Ajip Rosidi, Rahmat Djoko Pradopo, dan Korrie Layun Rampan.

Baca juga: Kritik Sastra: Menilik Duet Arief Budiman dan Goenawan Mohamad

Yang dimaksud Nenden di atas  mengarah pada periodisasi sastra Indonesia yang adiluhung, atau sastra yang bernilai tinggi. Sedangkan pandangan sastra adiluhung sendiri mengarah pada sastra serius. Cara pandang ini seolah seperti meniadakan keberadaan sastra-sastra lainnya, termasuk sastra populer, sehingga dalam anggapan pemikiran modernisme, sastra populer ditiadakan dalam sejarah sastra Indonesia yang dimulai dari Angkatan Pujangga Lama sampai Angkatan 2000-an.

Secara tidak langsung, susunan dari beberapa tokoh sastra di atas menjelaskan bahwa sastra populer tidak memiliki telaah, deskripsi, dan rangkuman secara jelas. Gejalanya yaitu sastra populer tidak memiliki korpus yang mendasar—yang menggambarkan karya sastra adiluhung.

Dengan kecenderungan seperti ini, agaknya perlu sedikit membuka kembali ring tinju untuk mendamaikan antara sastra serius dan sastra populer, termasuk dalam hal periodisasi ini, agar sastra tidak terlihat kaku dan hierarkis, seperti yang dapat dilihat sekarang ini, berdasarkan pandangan modernisme, yang nampaknya sastra populer dan sastra serius berkembang dalam hegemoninya masing-masing.

Perlu diberikan jalan untuk sastra populer sesuai dengan penetrasi yang ada berdasarkan kurun waktu dan ciri khas tertentu yang dimilikinya. Maka, berdasarkan bacaan-bacaan yang ada, sastra populer sebetulnya sudah tumbuh dan bergerak dalam kurun waktu tertentu dengan ciri khas yang berbeda-beda, dimulai dari tema seksualitas yang terdapat pada tahun 60-an sampai saat ini yang kebanyakan mengangkat tema urban dan perjalanan. Maka, secara historis, tidak menutup kemungkinan akan adanya periodisasi dalam sastra populer.

Hal di atas menunjukkan bahwa sastra populer sebetulnya memiliki kemiripan dengan sastra serius. Seperti tema-tema yang ada di dalamnya selalu berubah dari waktu ke waktu. Hanya saja, dalam segi tulisan, sastra populer cenderung lebih ringan. Yang membedakan hanya formulasinya. Ini dapat dirasakan ketika membaca kedua karya tersebut. Salah satunya yaitu, sastra serius akan membawa imajinasi lebih jauh, sedangkan sastra populer sebaliknya.

Dengan itu, perlu adanya tindakan afirmatif terhadap pengkotak-kotakkan kedua jenis sastra ini yang dimaksudkan untuk memersatukan antara sastra dengan sastra, atau sastra adalah sastra itu sendiri—melalui penetrasi sastra populer—berdasarkan kurun waktu dan ciri khas yang telah ada.  Ditinjau dari tulisan yang ditulis oleh Nenden (2008) bahwa dari pustaka yang ada, saya melihat sastra populer telah tumbuh dan telah menempati kurun-kurun waktu tertentu, yang setiap kurun waktu itu menunjukkan ciri-ciri yang khas. Dari kekhasan kurun waktu itu dapat saya deskripsikan periodisasi sastra populer, yaitu: 1) Periode Zaman Kolonial; 2) Periode 1950-1968-an; 3) Periode 1970-1990-an; 4) Periode Era Reformasi.

Jika dilihat dari temuan Nenden di atas, jelas bahwa sastra populer pun memiliki periodisasinya, yang berada di luar hegemoni yang ada. Kemudian, jika memang sastra populer tumbuh pada abad-19, maka yang dapat dibayangkan adalah bahwa tulisan-tulisan terdahulu yang menggunakan bahasa Melayu pasar termasuk ke dalam sastra populer. Misal, novel-novel yang mengisahkan para nyai atau kehidupan percintaan pada masa kolonial yang mencampuradukkan lebih dari satu kebudayaan pun merupakan sastra populer pada masanya, seperti Student Hidjo-nya karya Marco Kartodikromo yang di dalamnya, secara sederhana, menceritakan kisah cinta anak muda pada masa itu. Maka, kemungkinan besar, jika Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan berada pada masa itu, karya sastra tersebut akan tergolong dalam karya sastra populer.

Dengan itu, dalam hegemoni antara sastra serius dan sastra populer bergerak dan tumbuh secara bersamaan, mulai dari periodisasi hingga tema, meski periodisasi antara sastra serius dan sastra populer memiliki wilayah serta kemapanannya masing-masing. Kedua-duanya tidak ada yang baik atau buruk, pun harus didamaikan di ring tinju. Seminimal-minimalnya adalah perdamaian bahwa karya seni, termasuk sastra, berfungsi sebagai suatu hiburan sebelum karya-karya dari jenis kedua karya sastra itu terkenal dan laris di pasaran.

Maka, jika saat ini masih ada yang beranggapan bahwa persoalan sastra populer merupakan proyek ideologis—itu sama saja seperti memakan nasi hari kemarin. Sebab, puncak antara karya sastra serius dan populer adalah keterkenalan dan komersialisasi. Artinya dengan itu semua, antara sastra serius dan sastra populer tidak ada yang lebih adiluhung. Pada akhirnya, semua akan dipersatukan oleh keterkenalan dan komersialisasi.

Namun, Pierre Macherey memiliki definisi yang bijaksana menyoal proyek ideologis yaitu dengan harapan agar seseorang dengan mudah menulis dan pembaca mengerti dan perlahan ter-ideologis. Di samping itu, ada pernyataan yang lebih realistis yang disampaikan oleh W.S. Rendra dalam Skandal Sastra (2016) ia menyatakan bahwa sastra tidak bisa keluar dari jejaring bisnis. Tanpa bisnis seni bagaimana ada penerbitan buku-buku? Bagaimana bisa diproduksi film-film untuk gedung-gedung bioskop? Lebih lanjut lagi, kalau seni tidak bisa dibisniskan, bagaimana seorang seniman bisa hidup?

Ahmad Zulkarnaen
Ahmad Zulkarnaen Kalo kebetulan, bisa ditemui di mana-mana. Kadang tulis-temulis lalu dikirim ke mana aja. Kadang suka tiduran. Kadang, sering khawatir sama makan. Tapi, tentunya selalu semangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email