IG: @mhrkmnv

Benarkah Etika Membatasi Kebebasan?

Muhammad Harkim Novridho

4 min read

Kebebasan adalah hal yang marak disuarakan sekaligus disalahgunakan. Kebebasan sering dimaknai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Banyak orang cenderung menerima mentah-mentah pengertian tersebut, sehingga menimbulkan pemikiran bahwa orang dikatakan bebas jika dapat berbuat sesuka hatinya. Kebebasan dan kesewenang-wenangan seakan menjadi pasangan satu sama lain.

Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak bisa melepaskan diri dari interaksi dengan sesama. Mulai dari mata terbuka hingga tidur kembali, kegiatan manusia selalu melibatkan peran orang lain; entah untuk meminta pertolongan atau memberi pertolongan. Bayangan untuk hidup sendiri tanpa manusia lainnya dirasa mustahil terwujud.

Baca juga:

Berbicara tentang interaksi, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu terikat dengan norma-norma atau etika, baik tertulis maupun tidak tertulis yang seakan membatasi kebebasan berkehendak. Dalam berbicara, makan, minum, berjalan, bertamu, berinteraksi dalam ruang publik dan masih banyak lagi contoh lainnya, semua itu diatur sedemikian rupa dengan harapan menghadirkan perilaku yang dianggap baik.

Sebagai contoh, dalam hal pinjam meminjam, kita diharuskan mengembalikan sesuatu yang kita pinjam. Begitu juga dalam hal jual-beli; kita diharuskan membayar sesuatu yang kita beli. Dalam dua hal tersebut, disaksikan orang atau tidak, keharusan itu tetap ada. Jika kita tidak mengembalikan barang yang kita pinjam atau tidak membayar barang yang kita beli, artinya kita telah mencuri. Lantas, apakah etika menjadi pembatas bagi kebebasan manusia?

Sebelum melanjutkan ke pembahasan yang lebih mendalam, sebaiknya kita mengulas terlebih dahulu mengenai etika itu sendiri. Menurut Kamus Filsafat karya Lorens Bagus, secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, serta tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan, dan perbuatan yang baik.

Aristoteles memakai istilah etika untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika ada yang mengatakan etika, berarti ia sedang berbicara tentang moral. Dalam konteks ini, etika juga dapat dimaknai sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral. Filsafat moral ini masuk dalam ranah filsafat aksiologi.

Menurut Franz Magnis Suseno, ditinjau secara historis, lahirnya etika merupakan salah satu bentuk usaha filsafat dalam melihat perihal keambrukan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2.500 tahun silam. Pemicunya adalah munculnya pandangan-pandangan yang tidak memercayai adanya baik dan buruk.

Para filsuf kala itu mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi perilaku manusia. Dalam hal ini, terdapat banyak tokoh yang membahas mengenai nilai-nilai atau hal-hal yang membuat satu tindakan dianggap baik dan buruk. Namun, pada tulisan ini kita akan membahas setidaknya pemikiran tiga tokoh filosof yaitu Plato, Aristoteles, dan Epikuros.

Menurut Plato, terdapat kebaikan tertinggi dalam perbuatan manusia yang ia sebut dengan arethe, yakni kemampuan manusia dalam mengontrol dirinya. Diri manusia terdiri dari tiga kekuatan, yaitu akal, afeksi, dan nafsu. Plato berpandangan bahwa manusia yang baik moralnya bukanlah ia yang membunuh nafsunya atau mempertautkan diri pada afeksinya, tetapi ia yang mampu untuk mengontrol antara keduanya dengan menggunakan akal.

Aristoteles berpendapat bahwa di dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi dorongan dalam bertindak, yaitu dorongan untuk kesejahteraan, kebaikan, dan kenikmatan atau kesenangan. Namun, menurutnya, ketiga hal ini tidak terlalu berkaitan dengan substansi dari perbuatan itu sendiri. Sebab, tidak ada yang tahu mana dorongan yang lebih dominan dalam diri manusia.

Dalam bukunya, Nicomachean Ethics, Aristoteles menyebutkan bahwa perbuatan etik yang paling baik adalah perbuatan yang pada hakikatnya sudah baik, bukan berasal dari dorongan-dorongan di luar itu. Sementara itu, menurut Epikuros, dorongan etis perbuatan manusia yang paling utama didasari oleh kenikmatan atau kesenangan.

Etika dalam ranah ilmu tentang moralitas memiliki tiga pendekatan. Pertama, etika deskriptif, yaitu penggambaran dan penelaahan secara utuh dan kritis tentang tingkah laku moral manusia secara universal yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Etika deskriptif mempelajari moralitas yang berkaitan dengan adat istiadat, kebiasaan, anggapan baik dan buruk, tindakan boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kebudayaan, serta kebudayaan dan subkultur tertentu yang terjadi dalam satu periode sejarah. Pendekatan ini dipakai dalam ilmu-ilmu sosial seperti, Antropologi, Budaya, Psikologi, Sosiologi, Sejarah dan sebagainya. Contoh kasus yang dianalisis menggunakan etika deskriptif adalah tata krama terhadap orang yang lebih tua dalam budaya Jawa.

Kedua, etika normatif yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki manusia sebagai sesuatu yang bernilai. Berbeda dengan etika deskriptif yang hanya menganalisis, etika normatif memberi penilaian dan norma sebagai dasar tindakan yang akan diputuskan. Pendekatan ini mengandung argumentasi-argumentasi tentang latar belakang sesuatu dianggap baik atau buruk, serta analisis moral tentang benar dan salah. Contoh etika normatif adalah sikap menolak, alih-alih sekadar menganalisis kasus penggunaan narkoba.

Ketiga, metaetika, yakni pendekatan filsafat analitik yang membahas hasil kajian etika deskriptif dan etika normatif. Metaetika menjelaskan istilah dan ciri-ciri tindakan moral seperti kebaikan, kejahatan, tanggung jawab, dan kewajiban. Pendekatan ini juga merupakan suatu bentuk analitis-kritis asal prinsip-prinsip etika dan penggunaannya.

Perlu disadari bahwa banyak orang yang masih salah kaprah dalam memahami makna etika. Kesalahpahaman yang tidak diluruskan ini menjadikan kekeliruan terus berlanjut. Alhasil, orang kerap menyamakan istilah etika dengan etiket. Meskipun keduanya menyangkut perilaku manusia, tetapi bidangnya berbeda.

Perlu ada penjernihan makna terlebih dahulu supaya kedua istilah tersebut dapat dimengerti dan dibedakan dengan jelas. Berdasarkan buku yang berjudul Etika karya K. Bertens, terdapat empat perbedaan antara kedua istilah tersebut.

Pertama, etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia, sedangkan etika tidak terbatas pada cara dilakukannya perbuatan. Lebih dari itu, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.

Kedua, etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada kehadiran orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, tidak tergantung pada hadir atau tidaknya orang lain.

Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan etika jauh lebih absolut. Keempat, apabila kita berbicara tentang etiket, maka kita hanya melihat manusia berdasarkan segi lahiriahnya saja. Lain halnya dengan etika yang menyangkut pedalaman atau batin manusia.

Selain itu, perlu dibedakan juga antara amoral dengan imoral. Amoral sering disalahartikan sebagai “tidak bermoral”. Padahal, kata amoral memiliki arti tidak berhubungan dengan moral, netral dari sudut moral, serta tidak mempunyai relevansi etis. Sementara itu, untuk merujuk sifat tidak bermoral, bertentangan dengan moralitas, atau tidak etis, penggunaan kata imoral lebih tepat.

Kembali ke pembahasan awal mengenai etika dalam kebebasan. Seperti yang sudah kita singgung di awal, makna dari kebebasan ini sering disalahgunakan. Banyak orang mencampuradukkan antara kebebasan dengan merasa bebas sehingga yang ada justru kecenderungan bersikap sesuka hati dengan dalih kebebasan.

Perlu digarisbawahi bahwa manusia tidaklah terlepas dari segala bentuk keterikatan dengan sesamanya. Dengan demikian, pastilah ada norma atau etika yang mengikat dan menjadi tanggung jawab manusia tersebut. Hal ini menimbulkan pandangan bahwa etika atau moral itu membatasi kebebasan manusia. Namun, benarkah demikian?

K. Bertens juga pernah menjelaskan bahwa kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak dibenarkan jika kita begitu bebas sehingga tidak ada kebebasan lagi untuk orang lain. Inilah alasan utama diperlukannya suatu tatanan moral antarmanusia. Kehendak harus membatasi dirinya sendiri agar seseorang bisa mengakui kebebasan dan menghormati hak orang lain secara konkret.

Baca juga:

Adanya etika atau norma-norma memang untuk membatasi kebebasan. Sebab, kebebasan sejatinya perihal mengandaikan keterikatan oleh norma-norma.

Ironisnya, kebebasan semakin ramai disuarakan karena semakin banyak pula oknum-oknum yang menyalahgunakan kebebasan. Oleh karena itu, etika atau nilai-nilai moral hadir dan penting diterapkan dalam kehidupan agar manusia menjadi makhluk dengan kebebasan yang tetap bertanggung jawab.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Harkim Novridho

One Reply to “Benarkah Etika Membatasi Kebebasan?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email