Interaksi pertama seorang anak dengan dikotomi buku biasanya terjadi saat guru sekolah dasar mereka menerjemahkan istilah fiksi sebagai tulisan imajinatif dan nonfiksi sebagai tulisan berdasar fakta. Kemudian, mulai dilakukan penggolongan beberapa literatur: novel pasti fiksi, sementara koran itu nonfiksi. Walaupun terjadi pada usia yang belia, sering kali definisi tersebut tidak berubah sampai si anak tumbuh dewasa. Pemahaman soal kesadaran literatur seolah-olah mandek sampai sana, tidak bisa dibagi lagi.
Sebagai seorang anak yang tinggal di lingkungan penggiat ilmu eksak—kebanyakan tidak peduli sastra—saya termasuk segelintir orang yang beruntung: bisa mengenal dikotomi buku, atau mungkin sastra, di umur yang cukup awal. Saat itu, saudara dari pihak ibu, seorang kakak sepupu, memamerkan buku-buku koleksinya. Ada tulisan-tulisan dari Gabo, María Domínguez, dan satu-satunya novel yang ditulis Juan Rulfo. Sejak saat itu, saya mengenal ada yang namanya sastra Amerika Latin. Ternyata sastra bisa digolongkan berdasarkan letak geografis.
Baca juga:
Di lain hari, dia membawa Of Grammatology tulisan Derrida. Bukan sastra, tapi katanya itu buku postmodern. Dari Of Grammatology itu saya dapat informasi baru, kalau selain penggolongan lewat letak geografis, buku bisa dibedakan menurut cabang dialektika—yang identik lewat pembabakan waktu kontemporer.
Seakan kurang ruwet, kepala saya jadi lebih sakit, saat selanjutnya dibawakan Saman dari Ayu Utami. Menurutnya, Saman itu hasil dari sastra wangi. Kelompok sastra yang diklasifikasikan lewat ideologi, zaman, dan gender penulisnya, sekaligus. Sekurang-kurangnya, karena buku itu, kami berdua jadi tidak yakin karya tulis yang mengangkat isu feminisme lewat cerita yang berani—dibuat tanpa pasemon—tapi ditulis oleh laki-laki, dapat masuk dalam kelompok sastra wangi.
Model dikotomi buku semacam ini paling banter dimanfaatkan awam dalam pengarsipan buku dan dokumen. Sisanya hanya sedikit membantu pembaca agar dapat memiliki preferensi bacaan berdasarkan genre tertentu. Hal yang sama juga saya rasakan pada masa-masa itu: rak buku di kamar rasanya jadi rapi sekali, tapi tidak ada yang istimewa di luar itu.
Semakin Masifnya Pendikotomian Buku
Konsep dikotomi buku justru menjadi diskursus yang lebih menarik, bersamaan dengan topik kurasi buku yang semakin mencuat dengan pudarnya batasan genre. Dalam kondisi semacam ini, kurasi buku berubah menjadi lebih radikal. Misalnya, dalam bidang sastra, hanya mengenal sastra populer dan sastra murni—yang, mirip dengan konsep diglosia. Sastra murni menjadi ragam sastra bernilai tinggi (T), sedangkan sastra populer bernilai rendah (R).
Bagi sebagian pembaca, penerapan dikotomi radikal semacam ini jelas dirasa terlalu kasar. Kurasi serta rekomendasi buku yang pantas haruslah berasal dari golongan yang bernilai tinggi. Tidak ada ruang untuk buku-buku jelek dalam lingkungan sastra yang baik. Namun, bagi saya sendiri, bentuk dikotomi radikal justru menjadi opsi yang paling masuk akal. Dalam lingkungan dengan interaksi budaya yang begitu tinggi, dikotomi di luar bentuk-bentuk radikalnya tidak akan bermakna banyak.
Sebagai contoh, saya sangat yakin bahwa novel Cantik itu Luka dapat sepenuhnya dinilai sebagai sastra Amerika Latin, apabila pertama kali ditulis dalam Bahasa Spanyol. Bagaimana Eka Kurniawan bertutur jelas sangat mirip dengan yang dilakukan Gabo dalam Seratus Tahun Kesunyian, sehingga nyaris tidak bisa dibedakan hanya dari model narasi. Padahal, penikmat sastra Amerika Latin, jelas tidak memiliki preferensi khusus hanya karena kesamaan letak geografis. Apa yang mereka nikmati tetap terletak pada muatan: entah itu kesamaan ragam cerita, latar sosio-kultural, atau penggayaan bahasa dari penulis dalam lingkup geografis tersebut.
Sebaliknya, terdapat pula penulis dengan karangan yang terlalu umum, sehingga sering kali diabaikan dalam kelompok sastra tertentu. Masih dengan lingkup geografis yang sama, Paulo Coelho menjadi contoh yang paling ideal. Penulis Sang Alkemis tersebut sangat jarang terdengar namanya pada diskursus-diskursus sastra Amerika Latin. Bahkan bila dibandingkan dengan Jorge Amado, penulis Brasil sezaman yang buku-bukunya kalah laris—secara komersial—dengan milik Coelho. Benar saja, berapa pakar sastra Amerika Latin mengomentari fenomena ini dengan pernyataan bahwa tulisan Paulo Coelho terlalu universal, bisa saja ditulis oleh orang dengan latar belakang budaya mana pun.
Interaksi pertama saya dengan dikotomi buku radikal terjadi melalui esai Mario Vargas Llosa, peraih nobel kesusastraan tahun 2010, dengan judul La civilización del espectáculo—dalam Bahasa Indonesia menjadi Peradaban Tontonan. Dalam esai tersebut, Vargas Llosa mengkritik peradaban yang ia sebut sebagai peradaban tontonan. Pada peradaban ini, kesenangan dan pemenuhan hasrat berdiri sebagai puncak kebudayaan, dan berimbas pada munculnya bentuk literatur yang dibuat semata-mata untuk menghibur.
Dalam lingkungan semacam ini, bentuk sastra yang ringan, enteng, dan remeh akan menjadi hasil kebudayaan paling representatif. Demokratisasi kebudayaan yang dimaksudkan untuk membawa budaya dan sastra bernilai tinggi ke dalam masyarakat inklusif, justru berakhir dengan terseretnya wujud budaya dan sastra tersebut ke bentuk paling rendah: hanya diciptakan untuk kepuasan penikmatnya. Demikianlah dalam esai singkat tersebut, Vargas Llosa mengutuki sastra dari peradaban populer yang nirnilai, lengkap dengan penikmatnya: orang-orang yang menyandingkan opera Verdi dan filsafat Kant, sama dengan konser Rolling Stones.
Sastra Nirnial
Ketidakpercayaan Vargas Llosa pada kesetaraan sastra jelas brutal. Namun, tulisannya menjawab semua keresahan saya saat itu. Serasa didukung oleh seorang penulis besar, saya mengolok-olok banyak buku populer yang, menurut saya, sebenarnya hanyalah jahitan kertas bertuliskan omong kosong. Banyak di antaranya adalah buku-buku populer lokal yang terkenal, seperti tulisan-tulisan Tere Liye atau Pidi Baiq.
Bagi saya, walaupun sastra tersebut tidak nirnilai, nilai di dalamnya hanya dibuat karena pembaca di negara kita keranjingan pesan moral; padahal muatannya tidak kreatif sama sekali. Tidak hanya pada ranah sastra, buku populer lain juga jadi sama jeleknya. Apalah Robert Kiyosaki, James Clear, atau Henry Manampiring yang menulis hanya untuk kebutuhan pasar.
Bila mau dikata kejam, bagi saya kurasi buku tetap sah dan harus dilakukan. Kalau sinefil memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk melabeli film dengan jelek atau bagus, pembaca buku juga sepantasnya memiliki kesempatan yang sama. Akan tetapi, bersama dengan kian ketatnya kurasi, nurani saya juga jadi terusik: apakah semua buku populer itu jelek?
Pertanyaan itu akhirnya terjawab melalui suatu wawancara kepada Eka Kurniawan, oleh suatu media populer. Dalam narasi yang disajikan, pewawancara sempat bertanya mengenai tanggapan Eka saat novelnya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dianggap sebatas tulisan mesum yang dibalut sastra. Di luar dugaan, Eka justru senang karena merasa telah berhasil membuat pembacanya terhibur, bahkan menyamakan tulisannya dengan novel populer era 90-an. Seperti tertampar, penulis yang karangannya masuk dalam kurasi saya, ternyata menyamakan dirinya dengan penulis dari buku-buku yang dianggap sampah.
Fenomena yang sama juga terulang kembali, saat saya menghadiri diskusi buku dengan penulis kawakan, Okky Madasari. Dalam narasinya, Okky sempat menyinggung kelompok novel roman picisan yang tidak ia sukai, tetapi mau-tidak-mau penting dibaca untuk memahami pembabakan sastra Indonesia.
Baca juga:
Kedua peristiwa tadi membuat saya sempat yakin bahwa dikotomi buku yang intinya adalah pengelompokkan berdasar kemiripan makna, tidak dapat diradikalkan dengan membuat ada atau tidaknya makna sebagai pemisah. Meleburnya batasan antar genre sastra, yang juga menandai era postmodern, hanya dapat direspons dengan dua sikap: (1) menjadi seorang strukturalis, yang merasa bahwa segala sesuatu harus memiliki makna, sehingga buku yang hanya bersifat menghibur akan selamanya dikategorikan sebagai buku jelek; atau (2) menjadi seorang poststrukturalis, yang yakin bahwa—tanpa dibuat sekali pun—suatu narasi akan memiliki jutaan makna di dalamnya, sehingga buku jelek, masih dapat diberdayagunakan—sebagaimana dilakukan oleh Okky Madasari.
Masalahnya—menggunakan analogi sinema—kenikmatan saat menyaksikan film kelas A jelas tidak bisa dibandingkan dengan film kelas B, bahkan bila memiliki pesan dan makna yang sama. Yang menjadi pembeda bagi keduanya bukan muluk-muluk soal struktur. Namun, lebih sederhana, bagaimana struktur tersebut disampaikan.
Sama halnya dengan kasus dikotomi buku: pengelompokkan dengan label buku jelek tetap perlu dipertahankan. Buku-buku dalam kelompok ini dapat dipisahkan melalui bagaimana cara penulisnya menyampaikan makna atau realita kepada pembaca. Tanpa dikotomi semacam ini, kesusastraan akan hanyut dalam gelombang selera pasar, yang bahkan tidak dapat didefinisikan dengan mutlak. Padahal, standar estetika dan kepenulisan tidak selamanya dinilai berdasarkan preferensi mayoritas.
Akan tetapi, kelompok buku jelek juga harus dipisahkan sepenuhnya dari kelompok buku populer. Menulis dengan selera pasar tidak selalu mematikan kreativitas dan kemampuan bernarasi. Mempertahankan keduanya justru menjadi aspek yang menantang serta layak dieksplorasi. Buku populer tidak harus selamanya menjadi buku jelek. Yang paling tepat hanyalah: ada buku populer yang jelek dan ada yang tidak.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Memahami Kurasi dalam Dikotomi Sastra Radikal”