Pelbagai gulana dibalut daging.

Ketika Demokrasi Berjalan Tanpa Oposisi

Salma Nida

4 min read

Sebagai keberlanjutan dari tulisan “Hati-Hati Sesat Pikir dalam Berdemokrasi!“, saya akan memperjelas korelasi antara demokrasi dan pentingnya eksistensi oposisi dalam konstitusi.

Dalam karyanya, Politika, Aristoteles menganggap bahwa keseimbangan dalam pemerintahan sangat penting. Suara-suara yang berbeda akan membantu memastikan pemerintah tidak menyimpang dari tujuannya. Demokrasi yang sehat dan berjalan sesuai pada hakikatnya adalah demokrasi yang mengandung pluralisme atau keberagaman sehingga keseimbangan yang dimaksud oleh Aristoteles eksis dengan mestinya.

Jika dalam tubuh konstitusi negara demokrasi nihil oposisi, waspadalah! Itu merupakan indikasi bahwa ada kecacatan atau penyelewengan makna serta niat dalam sistem tersebut. Manakala kita mulai merasakan adanya nirfungsi dalam siasat demokrasi, diperlukan antitesis dalam tubuh konstitusi sebagai imun agar keberlangsungan pemerintahan tidak dibajak untuk kepentingan kalangan tertentu. Antitesis tersebut salah satunya adalah oposan yang objektif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Baca juga:

Nasib bangsa terancam selama lima tahun ke depan apabila oposan sama sekali absen dalam penyelenggaraan konstitusi, sebab tak ada fungsi check and balance dari oposisi yang bisa memperkaya sudut pandang dalam pembuatan suatu kebijakan. Salah satu pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, berpendapat bahwa demokrasi tanpa oposisi adalah otokrasi. Patutnya kita renungkan perkataan pakar, apakah jangan-jangan kita sudah berjalan di atas marabahaya otokrasi tersebut tanpa kita sadari?

Nihilnya oposisi dalam pemerintahan yang demokrasinya rawan dibajak akan semakin mempermudah elit yang tidak pro rakyat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok. Tanpa oposisi, tidak ada yang mengoreksi atau menginterupsi penyelewengan tersebut secara sah dalam tubuh konstitusi, sebab apalah daya suara yang hanya menggema di ruang-ruang media sosial, bukan di gedung-gedung Senayan apalagi Istana? Apakah menajamnya daya kritis masyarakat mampu menanggulangi tumpul dan melempemnya daya kritis pejabat di pemerintahan?

Upaya Mereduksi Oposisi di Kabinet Merah Putih

Bukan asumsi buram belaka, amat nyata bahwa kabinet Merah Putih Presiden Prabowo berupaya keras mereduksi oposisi. Prabowo beralasan bahwa pemerintahannya harus dibangun di atas kerja sama yang inklusif. Ia beranggapan bahwa oposisi bukanlah budaya Indonesia dan merupakan gangguan-gangguan yang merongrong serta ingin memecah-belah.

Posisi-posisi stategis dalam kabinet gemuk Prabowo ini bertabur nama-nama yang dulu menjadi lawan politik, lawan pandangan, atau bahkan pengkritik ulung Prabowo, seperti Cak Imin yang saat Pemilu 2024 lalu menjadi cawapres dan berpasangan dengan Anies Baswedan. Cak Imin dirangkul dan diamanati posisi Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat pada periode ini. Selain itu, Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, dan Faisol Riza, yang dulu dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang menentang Soeharto (termasuk Prabowo) pada tahun 1998, kini juga ada dalam jajaran kabinet Merah Putih.

Artinya, sebisa mungkin Prabowo mendekap erat-erat orang-orang yang dulu pernah atau bahkan berpotensi menjadi oposisinya di masa depan di sisi kanan dan kirinya. Selain itu, ada beberapa partai yang dengan sendirinya menyatakan dukungan penuhnya untuk Prabowo walau tidak diajak melebur ke dalam kabinetnya. Maka dari itu, kabinet ini dirasa sudah cukup bersih dari ancaman oposisi.

Baca juga:

Potensi Munculnya Rezim Otoriter

Dengan pelbagai gejala yang telah kita rasakan sejauh ini, potensi kemunculan rezim otoriter tentu saja ada, walau belum bisa kita takar seberapa besar kemungkinannya. Mari kita sedikit bernostalgia dengan sejarah. Negara-negara yang identik dengan fasisme, diktator, dan rezim otoritarianisme modern, seperti Jerman pada era Hitler atau Italia pada era Mussolini, lahir dari sistem partai tunggal dan konstitusi yang anti akan oposisi dan kebebasan berpendapat.

Pemerintahan Rusia saat ini di bawah Vladimir Putin secara formil menganut sistem demokrasi dan memiliki oposisi cangkang yang lemah, yang hanya dijadikan formalitas untuk menunjukkan konstitusi yang adil dan utuh. Bisa dikatakan oposisi hanya menjadi pajangan atau pelengkap, sebab pada fungsi nyatanya keberadaan oposisi sangat dibatasi haknya secara de facto. Oposan menjadi tidak efektif dan tidak kredibel sehingga hadirnya oposisi tetap tidak bisa menyeimbangkan rasionalitas dalam pembuatan kebijakan di rezim tersebut.

Indonesia pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto juga bisa menjadi cermin kondisi negara ketika tidak ada oposisi dalam tubuh pemerintahan. Sejak awal memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia secara formil menganut sistem pemerintahan yang demokratis, namun dalam implementasinya terkadang demokrasi hanyalah ilusi. Hal tersebut kental terasa pada rezim Soeharto. Kekuasaan dalam pemerintahan tersentralisasi hanya pada partai-partai tertentu yang dikehendakinya (Golkar, PDI, PPP) yang menjadi penyelenggara pemerintahan dan membatasi kemunculan serta fungsi dari partai-partai lain yang ada pada masa itu.

Selain itu, ada pengekangan dan pengendalian media serta pers yang amat kuat. Kritik terhadap pemerintah hampir tidak mungkin dilakukan secara terbuka karena sensor ketat. Media yang kritis dibredel, dan para aktivis serta tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah sering diintimidasi atau bahkan dipenjara. Puncaknya terletak pada sentralisasi kekuasaan di fungsi militer (dwi fungsi ABRI) yang terlalu over power sehingga mengarah kepada tindakan represif aparat yang menghilangkan banyak nyawa pada penghujung pemerintahan Soeharto. Lalu bagaimana indikasi dan potensi yang bisa muncul pada pemerintahan Prabowo yang secara historis melekat dengan kiprah Soeharto di masa lalu?

Dalam pemerintahan Prabowo, setidaknya ada dua indikasi. Pertama, tidak adanya kontrol yang seimbang terhadap kekuasaan. Dalam Kabinet Merah Putih tidak terdapat delegasi dari oposisi sama sekali karena Prabowo menganut kepercayaan bahwa oposisi memecah belah, maka fungsi check and balance nihil dalam kabinet ini. Pengisi kursi eksekutif didominasi oleh kader-kader dari partai Koalisi Indonesia Maju dan Independen.

Kedua, pengelolaan media yang cenderung terpusat. Pemerintahan otoriter sering kali mengendalikan media untuk menjaga citra pemerintah dan mencegah kritik atau perlawanan terbuka dari masyarakat. Media yang kita lihat hari ini sangat terarah walaupun terdapat polarisasi dan pengelompokan kubu berdasarkan jenis media sosial. Misalnya, X (Twitter) adalah media di mana masyarakat cenderung kontra dengan pemerintah. Pengguna X cenderung lebih kritis karena longgarnya policy komunitas yang ada di sana.

Baca juga:

Sementara itu, TikTok adalah media sosial yang tampak rawan disusupi doktrin serta gerakan-gerakan terorganisir. Aplikasi ini juga dibanjiri buzzer yang bisa kita lihat melalui template komentar. Selain buzzer, banyak juga influencer bayaran yang cenderung memiliki narasi pro-pemerintah untuk menyudutkan pihak-pihak di pengkritik pemerintah melalui framing yang cukup seragam.

Di Instagram banyak bertebaran media berita atau politik yang kehilangan netralitasnya. Media tersebut condong ke pihak the ruling power dan menjatuhkan pihak di luar itu secara masif dan terbuka.

Perbedaan kemampuan literasi media menjadi salah satu alasan mengapa gerakan media yang terorganisir terpusat di platform tertentu. Jika gejala-gejala tersebut terus berkembang dan mendarah daging, kita akan semakin dekat dengan rezim otoriter yang dikemas dengan lebih modern dan sopan.

Gerakan Gugatan Rakyat Semesta sebagai Pertahanan Terakhir

Pertahanan terakhir yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan marwah demokrasi dan mencegah negara ini terjerembab dalam kegelapan rezim korupsi, kolusi, nepotisme seperti dulu adalah suara rakyat itu sendiri.

Apabila oposisi hilang dalam penyelenggaraan konstitusi, maka suara kita, suara gugatan rakyat semesta, menjadi jalan terakhir agar penyelenggaraan negara berpihak pada rakyat. Setiap revolusi besar dalam sejarah yang kita kenal lahir dari gerakan perlawanan rakyat yang marah dan  tercerdaskan. Kita harus menjadi rakyat yang melek, objektif, dan partisipatif.

 

 

Editor: Prihandini N

Salma Nida
Salma Nida Pelbagai gulana dibalut daging.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email