Kabinet Balas Budi ala Prabowo

Durohim Amnan

4 min read

Daftar orang-orang yang dipanggil ke kediaman presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai calon menteri memberi gambaran suram kinerja pemerintahan baru ke depan. Daripada membebaskan diri dan memilih tokok-tokoh berprestasi, punya reputasi dan track record yang teruji dan tak tercela, Prabowo memanggil orang-orang yang diaragukan publik atau tak diketahui prestasinya oleh masyarakat, anggota kabinet Joko “Jokowi” Widodo, presiden outgoing, wakil-wakil partai politik atau orang-orang yang diasosiasikan dengan partai politik tertentu tanpa jelas apa sebenarnya kompetensi mereka.

Kabinet yang katanya kabinet zaken (kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu) yang digaung-gaungkan ternyata hanya isapan jempol semata.

Tanda-tanda terpampang sangat jelas bahwa pemerintahan Prabowo Subianto hanya perpanjangan saja dari rejim Jokowi dan memilih bagi-bagi jabatan untuk balas jasa dari pada menunjuk orang-orang yang sudah membuktikan berhasil di bidangnya.

Berdasarkan list nama sebanyak 59 orang calon menteri yang datang ke kediaman Prabowo Subianto di Kartanegara, Jakarta Pusat, terhitung 90% berasal dari partai politik. Hanya ada 7 calon yang berada dari jalur independen (teknokrat) seperti Sri Mulyani (Menkeu), Satryo Sumantri (Ketua AIPI), Nasaruddin Umar (Imam besar Masjid Istiqlal), Rachmat Pambudy (Akademisi), Hanif Faisol (Dirjen Planologi Kemen LHK), dan Veronica Tan (Aktivis Perempuan). Sebanyak 52 orang sisanya hanyalah orang-orang yang dipersepsikan muncul dari hasil politik transaksional.

Ironisnya lagi, ada 16 menteri Jokowi yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju turut dipanggil oleh Prabowo. Dengan kata lain, hampir dari setengah menteri Kabinet Indonesia Maju dipanggil oleh Prabowo.

Partai-partai politik pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berebut menempatkan kadernya menduduki pos-pos menteri. Betapa tidak, pos-pos kementerian yang akan diduduki itu akan mengurusi proyek dengan nilai ribuan triliun per tahun. Tidak ada partai politik yang tak tergiur dengan jumlah nominal uang sebesar itu.

Jika melihat peta politik mutakhir, praktis hanya PDIP yang belum menentukan sikap secara resmi untuk bergabung/tidaknya dalam gerbong kabinet yang menamakan diri “Indonesia Maju”. Persis seperti rezim sebelumnya yang menamakan diri Kabinet Indonesia Maju, tampaknya rezim pemerintahan mendatang hendak menjimplak ideologi politik lama yaitu dengan mengusung tema politik persatuan.

Ideologi politik persatuan diusung dengan asumsi bahwa negara Indonesia memiliki keberagaman pandangan sekaligus cakupan wilayah yang amat besar sehingga harus dan memang harus merangkul semua kalangan termasuk partai politik. Resonansi tersebut serupa dengan narasi yang dibangun Jokowi-Ma’ruf Amin ketika pidato pelantikan Presiden terpilih 2019-2024 di gedung DPR. Apakah benar tema persatuan sebegitu penting sehingga melupakan basis utama ideologi demokrasi yaitu oposisi.

Demokrasi membutuhkan oposisi

Terbaca dalam banyak forum bagaimana narasi persatuan oleh Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih, tanpa hentinya terus-menerus didengungkan. Bila dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensil yang dianut Indonesia, sepenuhnya hak prerogatif itu melekat ditubuh Presiden. Sangat beralasan pula mengapa Prabowo Subianto merasa dirinya yang paling mempunyai kuasa atas pembentukan kabinet.

Namun demikian, terdapat hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sistem demokrasi yang juga dijadikan prinsip dalam bernegara, pengisian kabinet haruslah sejalan beriringan dengan ide pengawasan. Logikanya: bila koalisi gemuk terbentuk dan mayoritas partai bergabung dalam kabinet pemerintahan maka postur oposisi di parlemen akan semakin mengecil. Bukankah oposisi merupakan harga mati dalam demokrasi. Lantas, siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan secara kelembagaan bila seluruh anggota parlemen merupakan mitra koalisi Presiden.

Ilustrasi diatas sudah pasti mengandung problem secara teoretis sebagaimana konsep Montesquieu (1689) dalam bukunya the Spirit of the Laws bahwa dalam sistem demokrasi mekanisme pengawasan merupakan condition sine qua non. Bukankah kiblat reformasi 1998 ialah meniadakan praktik eksesivitas yang terkenal dengan istilah executive heavy. Belajar dari pengalaman sejarah Orde Baru bahwa ideologi mayoritarianisme dalam politik mengakibatkan praktik penyelewengan yang kolosal.

Meminjam istilah Rocky Gerung (2024) dalam bukunya “Filsafat Untuk Republik Sehat”, mengumpat sisi-sisi gelap Orde Baru ketika politik dihegemoni atau dalam terminologi lain, formalisme politik yang menunggalkan Pancasila sebagai ideologi bernegara bermuara pada tirani mayoritas. Begitupun narasi persatuan yang dianggap oleh Prabowo Subianto menjadi satu-satunya model yang bisa menghalangi potensi perpecahan. Kedua praktik itu sebetulnya memiliki kesamaan hanya saja bersalin rupa dari narasi “Pancasila sebagai asas tunggal” menjadi “isu persatuan”.

Dalam batas penalaran yang wajar, demokrasi justru ditumbuhkan dan dirawat oleh ide perbedaan bukan persatuan. Konteks ini yang gagal dipahami sehingga bermuara pada pandangan yang menanggap bahwa persatuan-lah yang paling mungkin. Padahal tidak demikian. Demokrasi bukan memaksakan persatuan. Demokrasi ialah tentang merawat perbedaan.

Jika belajar dari pengalaman masa lalu khususnya periode demokrasi liberal (1955-1959), kita bisa melihat bagaimana percakapan politik diramu lewat pertengkaran ide. Hal itu bisa terjadi karena sejak awal partai politik punya semacam kematangan ideologi yang kemudian diucapkan lewat forum-forum resmi seperti badan konstituante. Walaupun naskah rancangan UUD dibatalkan oleh Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959, perdebatan pada saat itu sungguh memukau karena kedalaman pengetahuan politisi yang melampaui zaman.

Perseteruan ideologis antara kaum islamis-nasionalis-komunis benar-benar terbaca dari perdebatan konstituante yang menghasilkan –meminjam ucapan Jimly Asshidiqie- naskah konstitusi terbaik di dunia. Kondisi seperti itu bisa terjadi karena kecukupan pengertian politisi tentang demokrasi itu sendiri. Jika konsisten dan jujur dengan dalih ancaman perpecahan, medio abad ke-20 itu probabilitasnya lebih tinggi. Namun mereka tetap mengambil jarak ideologi supaya politik pertama-tama harus terisi oleh intelektualitas bukan oportunitas.

Koalisi gemuk menghasilkan kabinet transaksional

Kembali pada realitas politik hari ini, dimana penyusunan kabinet yang masih menggunakan rumus persatuan sebetulnya tidak lagi relevan. Dalam minggu ini publik akan dihindangkan dengan pemberitaan tentang bagaimana kasak-kusuk penyusunan kabinet itu terjadi. Membaca berita Harian Kompas (15/10/2024) mempertegas sinisme publik perihal pembentukan kabinet yang dilakukan bukan atas dasar meritokrasi melainkan politik balas budi.

Meritokrasi dilakukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang dalam memanajemen suatu lembaga. Kemampuan, skil, track record, dan kualitas seseorang lah yang paling menentukan untuk dipilih bukan atas dasar tukar tambah kepentingan. Sudah banyak contoh-contoh bagaimana seorang menteri dipilih dari kalangan partai bukan karena kemampuannya melainkan titipan yang haru segera dipenuhi karena menunaikan politik balas budi.

Tersisa satu partai (PDIP) yang masih mungkin menjalankan politik oposisi di parlemen nantinya dan sangat mungkin juga bergabung dalam pemerintahan mendatang. Apabila PDIP bergabung, praktis tidak ada satu pun partai politik yang menjadi oposisi dan situasi seperti ini yang membuat publik khawatir mengenai masa depan demokrasi. Kekhawatiran ini adalah imbas dari ideologi persatuan yang diusung selama satu dasawarsa terakhir yang meruntuhkan bangunan oposisi sebagai pondasi demokrasi.

Terbukti selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, tidak terdengar sedikitpun suara kritis yang lantang menyuarakan aspirasi publik. Semua partai mengonsolidasikan diri dalam gerbong yang disebut koalisi gemuk demi mengais remah-remah kekuasaan. Inilah kondisi yang disebut Samuel P Hutington (1965) sebagai pembusukan politik (political decay) bahwa oportunisme politik mendahului kepentingan publik.

Pada akhirnya koalisi gemuk hanya menyisakan sedikit atau bahkan tidak ada harapan bagi rakyat. Rekrutmen menteri yang didasari kepentingan jangka pendek selalu meniadakan rakyat dalam proses pembentukan kebijakan. Definisi partai politik dalam arti sesungguhnya yakni pelantang suara rakyat rela dinihilkan demi tukar tambah politik yang basisnya patrimonial. Tidak ada benang merah antara koalisi gemuk dengan kualitas demokasi.

Hal ini semakin membuktikan bagaimana pemerintahan selanjutnya merupakan duplikat dari rezim sebelumnya yang hanya bersalin rupa dengan ide bagi-bagi kekuasaan. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa rakyat skeptis bahkan apatis dengan masa depan demokrasi. Seperti rezim Joko Widodo yang selama 10 tahun ini memerosotkan indeks dari segala aspek mulai dari demokrasi, korupsi, kebebasan sipil, penegakan hukum dan sebagainya. Tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa rakyat optimis dengan masa depan jika sejak awal patron pemerintahan dibangun diatas infrastruktur demokrasi yang rapuh.

Sebagai saran penutup, bila memang Prabowo Subianto ingin membentuk postur kabinet yang benar-benar berkualitas, harusnya diberlakukan mekanisme publik, Misalnya dengan melakukan survei tentang daftar nama calon menteri yang berkompetensi sehingga publik merasa diikutsertakan dalam proses pembentukan kabinet. Proses tersebut dapat dianggap sebagai uji kepatutan dan kelayakan yang biasanya dilakukan di parlemen supaya menteri yang terpilih merupakan mereka yang teruji dari segi pengalaman, kualitas, dan kapasitasnya. Sangat mudah cara seperti itu dilakukan bila sejak awal pembentukan kabinet memang menjaring sosok yang berkualitas.

Durohim Amnan dapat dihubungi di @DurohimA (Instagram), @DurohimA (Twitter)

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email